Manusia Ruang, Manusia yang Menampung Segalanya


Bangbang Wetan (BBW) April 2018 terasa hangat setelah guyuran hujan membasahi Kota Surabaya dan sekitarnya. Setelah dua kesempatan bertempat di Balai Pemuda, bulan ini kita bergeser ke Taman Budaya Cak Durasim. Seperti biasa, acara dimulai dengan bacaan ayat suci Al-Qur`an. Surah An-Nur melantun yang kemudian berlanjut Shalawat dan Wirid Maiyah.
BBW April 2018 kali ini mengambil tema “Insecuricious, Was-was ra Wis-wis”. Mas Yassin dan Mas Mustofa, dua pemuda yang tak asing lagi di antara jamaah membuka acara rutinan bulan ini dengan menyapa jamaah. Jamaah diajak membuka prolog melalui layar smartphone-nya masing-masing sebelum membahas lebih lanjut tema malam hari ini.
Mas Rio membantu menyampaikan beberapa hal untuk membedah tema. Dilihat dari kata dasar insecure artinya adalah tidak aman. Insecuricious adalah rasa tidak aman berlebihan yang saat ini merebah di masyarakat. Dengan tambahan Was-was ra wis-wis yang mengekor di belakangnya menambah arti menjadi rasa tidak aman yang berkelanjutan. Kita tidak tahu apa penyebab Insecuricious ini, sehingga akhirnya rasa tidak aman ini menjadi kronis.
Mas Rio menyampaikan bahwa secara sederhana kebutuhan dasar manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. Setelah kebutuhan primer itu terpenuhi maka dia akan meningkatkan pemenuhan aktualitas diri dengan pemenuhan rasa aman.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang tema malam hari ini, Mas Amin kembali mengingatkan bahwa forum pencerahan BBW bukan tontonan. Lebih dari sekadar tontonan, forum ini untuk sama-sama belajar mencari kebenaran sejati dengan diskusi dua arah.
Mas Ahid memulai dengan mentadabburi tema lewat Surah An-Naas ayat 5: “Alladzi yuwaswisu fii shuduurinnaas” yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

Satu pola mendasar bahwa ada rekayasa besar yang diciptakan agar kita merasa tidak aman. Mungkin kita tidak sadar bahwa kebudayaan kita perlahan diubah oleh modernitas. Salah satu contohnya saat membeli fast food, kita diharuskan membayar dahulu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebudayaan ‘warung’ kita yang tak pernah berprasangka buruk kepada siapapun. Makan dahulu, setelah itu membayar.
Produk dari rasa aman adalah saling percaya dan menyelamatkan. Bukan hanya keselamatan pribadi tetapi keselamatan bersama. Yang harus dibangun adalah integritas pribadi untuk menciptakan rasa aman untuk diri sendiri maupun orang lain.
Peralatan Hidup
Malam hari itu pukul 00.12 WIB Mbah Nun tiba di panggung dengan diiringi lantunan shalawat dari Shohibul Qohwa ITS. Beliau menyampaikan beberapa peralatan hidup untuk dielaborasi lebih dalam. Saat ini banyak orang yang berani nikah karena cinta segi tiga dengan bermodal bismillah. Kita tidak perlu takut tidak bisa makan karena Allah bertanggung jawab atas hidup kita. Tetapi kita tetap harus berusaha dan ikhtiar. Dapat dianalogikan dalam kehidupan ini, jika bertemu mangga kita punya pisau untuk mengirisnya, jika bertemu kayu kita punya gergaji dan paku untuk dijadikan kursi dan meja, jika ada asap kita punya masker, jika ada hujan kita punya payung. Jadi, kita sebagai Orang Maiyah diharapkan memperbanyak kemungkinan–kemungkinan di mana kita bisa menjawab berbagai tantangan kehidupan yaitu: di sekolah belajar Ilmu, di masjid belajar agama, di Maiyah belajar kehidupan.
Di Maiyah kita belajar hidup sebagai manusia yang benar, yang baik, yang kreatif, yang seimbang. Kita belajar mencicil menjadi manusia. Maiyah adalah satu forum seribu podium. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berbicara. Berbeda dengan forum lain di mana hak bicara mutlak dimiliki pancer-nya, kyainya, ataupun panutannya. Di Maiyah siapapun boleh berbicara, karena semua orang mempunyai podiumnya masing-masing.
Lingkaran Energi Alam Semesta
Mbah Nun kembali menceritakan resume Padhangmbulan sehari sebelumnya melaui contoh kisah pesawat yang akan jatuh tetapi Allah menyuruh Malaikat Mikail untuk menjaga pesawat itu agar tidak jatuh. Pesawat itu tidak jadi kecelakaan karena ada salah satu penumpang yang menurut Allah hatinya tulus, hidupnya baik, ikhlas tanpa mengharap banyak hal yang bersifat keduniaan. Sehingga Allah sayang dan kasihan padanya. Satu pesawat diselamatkan karena ada satu orang yang sangat dikasihani Allah.

Contoh berikutnya ketika di kantor ada acara doa bersama dan Allah mengabulkan doa itu. “Pertanyaannya itu yang dikabulkan yang membaca doa atau yang mengamini?”, Mbah Nun bertanya kepada jamaah. Ada dua kemungkinan, yang dikabulkan adalah yang membaca doa karena karakter kemanusiaannya baik atau yang mengamini karena jumlahnya banyak. Misalnya di antara seratus orang yang mengamini, pasti ada satu yang dikabulkan aminnya. Yang dipilih Allah apakah orang yang paling tekun, atau orang yang paling miskin, atau orang yang paling rajin shalat?
Intinya adalah jadilah manusia yang sekiranya Allah tidak tega untuk tidak mengabulkan harapan dan doamu. Caranya adalah dengan berperilaku baik kepada sesama manusia, kepada hewan, tumbuhan dan seluruh makhluk Allah. Jadilah manusia yang kira-kira Allah tidak tega tidak menyayangimu, dan tidak tega untuk tidak mengabulkan doa kita.
Kalau kita berthawaf di Ka’bah dan tidak berhenti, secara fisika tercipta kumparan energi. Energi yang tercipta oleh orang yang thawaf akan terhubung ke yang menciptakan energi yaitu Allah Swt. Bumi ini tidak segera kiamat karena ada penciptaan energi oleh orang haji dan umroh. Jangan-jangan Ka’bah yang dithawafi itu sebenarnya adalah penyangga keseimbangan tidak hanya bumi tetapi seluruh alam semesta. Kita ini juga thawaf, mengumpul, melingkar. Di Maiyahan sebenarnya ada penciptaan energi positif yang luar biasa. Di Maiyah yang dihadirkan secara rohaniah sebagai kesadaran utama adalah Allah dan Rasulullah. Berarti energi kita manunggal dengan energi Allah dan Rasulullah. Energi positif kita tidak pernah berpisah meskipun setelah acara pulang ke rumah masing-masing. Maka dari itu, anak-anak Maiyah di manapun tetap raket seduluran sak lawase.
Mbah Nun kemudian mengajak jemaah mentadabburi Surah Al-Isra’ ayat 1: ”Alladzi barokna haulahu linuriyahu min ayatinaa, innahu huwas sami’ul bashir“ (yang telah kami berkahi sekelilingnya untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Semoga di manapun berada kita senantiasa percaya berada di lingkaran alam semesta yang dikelilingi keberkahan Allah.
Meniadakan Eksistensi
Kembali lagi ke contoh peristiwa pesawat yang tidak jadi jatuh. Bisa jadi karena Allah sayang terhadap kita sehingga Indonesia tidak jadi bubar. Masih ada orang orang yang disayang Allah, masih ada anak-anak yang mau maiyahan berkumpul tiap bulan dengan niat yang ikhlas tidak mengharapkan keduniaan. Jadikan Indonesia tetap bebas dari adzab Allah karena masih ada anak maiyah yang hatinya sunggu-sungguh.
Apakah orang-orang di dalam pesawat itu tahu bahwa pesawat tidak jadi jatuh karena satu orang yang disayang Allah itu? Jawabannya adalah tidak.

Mbah Nun kembali menegaskan kepada jamaah bahwa di Maiyah ini kita harus siap untuk tidak diakui siapa-siapa. Jasa yang tidak kelihatan itu beribu-ribu kali lipat lebih berarti dari pada jasa yang terlihat. Karena suatu hari nanti Allah punya jadwal sendiri untuk mengumumkan kepada orang-orang atas apa yang telah kita perbuat. Kita tidak perlu nafsu untuk diketahui, tidak perlu dipuji orang lain. Kita harus siap untuk tidak diketahui, yang penting kita manfaat terhadap orang lain dan tak perlu jasa kita dipertontonkan. Biarlah Allah yang melihat apa yang telah kita perbuat. Yang utama dalam hidup adalah Allah, asal urusan kita dengan Allah beres InsyaAllah hidup kita baik. Mengadu boleh kepada Allah boleh asal tidak boleh sambat.
Kalah adalah Kemenangan Sejati
Malam semakin larut, jamaah masih antusias menyerap apa yang disampaikan oleh Mbah Nun. Kembali ke tema awal dengan membacakan surat Al-Quraisy. Kemudian mentadaburi bersama yaitu Allah menjanjikan 2 hal yang pasti dikabulkan-Nya: memberi makan kepada mereka yang lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan
Ada poin penting yang harus dicatat oleh jamaah dalam hidup ini yaitu: jangan salah jalan, jangan salah tujuan, jalan salah memilih kendaraan, jangan salah memilih supir.
Mari kita lihat hidup kita masing-masing. Kalau kita tidak bisa memperbaiki Indonesia, minimal kita bisa memperbaiki diri. Karena rumusnya jelas dalam Al-Qur`an Surat Al-Quraisy: “Falya’buduu rabba hadzaal bait. Al-ladzii ath’amahum min juu’iun wa aamanahum min khauf” yang artinya “Maka hendaklah mereka menyembah Rabb, Pemilik rumah ini (Ka’bah) yang telah memberi makanan kepada mereka, untuk menghilangkan lapar, dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Kalau kita sudah menemukan jalan maka jangan dipaksakan kepada orang lain karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jadilah manusia yang punya visi masa depan dan tidak mudah tergoda dengan apapun. Kita harus belajar mencari sebenarnya kita di dunia ini ditakdirkan untuk menjadi apa dengan selalu memohon kepada Allah apa yang terbaik untuk hidup kita.

Mbah Nun sering menyampaikan bahwa kebenaran ada tiga yakni kebenaran sendiri, kebenaran orang lain, dan kebenaran orang banyak. Tujuan ditentukan tidak oleh keinginanmu. Beliau meminta jamaah Maiyah agar menjadi manusia ruang yang bisa menampung siapa saja karena hidup begitu luas. Selain itu, harus mengerti siapa musuh kita dan siapa yang sedang kita hadapi supaya kita tahu bagaimana kita harus bertindak. Di samping itu, kita juga harus menjadi orang yang siap kalah, karena orang yang siap kalah adalah pemenang sejati. Di akhir majelis, Mbah Nun memberikan PR untuk jemaah untuk mempelajari 19 rakaat-rakaat kapitalis.