Manusia Puasa
Apa yang ada di pikiran dan benak kita ketika mendengar istilah ‘Manusia Puasa’? Apakah ‘Manusia Puasa’ itu manusia yang seumur hidupnya dihabiskan dengan menjalankan ritual puasa? Tidak makan dari waktu imsak sampai waktu magrib?
Apakah puasa kita maknai hanya sesempit itu?
Apabila kita lacak dari akar bahasa, puasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Upawasa yang bermakna ritual untuk mendekatkan diri, agar sampai pada perjumpaan agung dengan Sang Maha Agung. Ada juga istilah selain Upawasa yaitu Pasa. Kemudian berkembang menjadi Puasa. Selaras dengan makna Shaum atau Shiyam di dalam bahasa Arab Sho–wa–ma berarti menahan, berhenti, tidak bergerak. Menahan di tengah-tengah kebiasaan melampiaskan keinginan. Keinginan sejak bangun tidur hingga menjelang tidur. Ingin makan, ingin minum, ingin jalan-jalan dan ingin-ingin seterusnya yang tiada habisnya jika dituruti.
Bahkan mungkin keinginan itu mewujud merasuk dalam rupa mimpi saat tidur. Di mana hidup kita dalam berbagai hal terkait apapun itu, lebih banyak digas dari pada direm. Nah, di sini adanya puasa dalam rangka menahan, mengendalikan, mengingatkan bahwa hidup itu tidak cuma digas tapi juga butuh direm.
Manusia disebut sebagai Khalifah (objek). Tidak dikatakan objek apabila tidak punya keinginan. Dan keinginan ini perlu diolah, puasa ini dalam rangka mengolah keinginan-keinginan kita. Yang pada dasarnya keinginan itu bukan berasal dari diri akan tetapi berasal dari fantasi-fantasi yang menyertai keinginan tersebut. Semisal dalam puasa di bulan Ramadhan ini, kenapa kaum Muslim mendadak berlomba-lomba datang ke masjid, beribadah, dzikir, tadarus, dll?
Karena ada sebuah fantasi, keinginan, anggapan yang sudah menjadi pemahaman di kalangan masyarakat kita, ketika di bulan Ramadhan itu seluruh amal ibadah kita digandakan oleh Allah. Orang shalat, shadaqah, jihad, haji karena fantasinya terhadap surga, bidadari. Orang berebut jabatan, kursi karena fantasinya yang meyakinkan diri ketika sudah tercapai keinginan ini keinginan itu, hidup akan lebih bahagia, kaya, eksis, dikenal banyak orang, dihormati, dll.
Oleh karena itulah, puasa Ramadlan sebulan penuh ini hanya sebatas madrasah, sekolah di mana kita diwajibkan, dituliskan (Kutiba) dalam Al-Qur`an untuk menjalankan puasa, dalam rangka mengolah, mengendalikan, menahan keinginan-keinginan baik yang bersifat duniawi maupun bersifat ruhani.
Lalu apakah puasa itu hanya untuk diri? Atau puasa itu untuk-Ku (Allah) seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits itu? Kita harus berhati-hati, karena di sisi lain bulan puasa ini juga memiliki efek halusinasi, yang dapat menyebabkan kita sudah merasa menjalani puasa. Padahal kita puasa atas apa? Apa memindahkan jam tayang makan itu yang kita sebut puasa?
Godaan orang memberi itu merasa bahwa dirinya sudah dermawan, godaan orang yang terlalu senang berbicara di depan publik itu merasa dirinya lebih tahu, merasa lebih pandai, menggurui, dll. Dan godaan bagi manusia puasa ini justru lebih rumit lagi: merasa dirinya sudah berpuasa itu godaan, merasa dirinya belum puasa itu juga godaan. Malah justru dalam bulan Ramadlan ini terkadang puasa itu bukan terletak pada menahan rasa laparnya. Namun pada kesabaran hati untuk menahan selama sebulan penuh mendengar suara bising para tukang ceramah, para penjaga barisan moral. Baik di masjid, mushalla dan televisi yang sibuk mengobral pahala, surga, serta mitos-mitos semacamnya. Dan godaan menahan diri terhadap orang-orang yang terlalu menteatrikalkan puasa di bulan Ramadlan ini.
Padahal esensi puasa tidak hanya sebatas untuk mengolah diri. Tapi mampu menjadi menejemen di setiap rumah, lingkungan masyarakat, negara, kebudayaan dan peradaban. Apabila kita proyeksikan puasa dan tidak puasa dalam kehidupan nyata, negara ini puasa sejak kapan? Di era sekarang ini lebih banyak buka atau puasanya? Sistem demokrasi seperti sekarang ini lebih banyak berbuka atau puasanya? Bukankah di era hoax ini manusia lebih berlomba-lomba melampiaskan dari pada menahan?
Sehingga pada akhirnya dapat dengan mudah digiring oleh sebuah arus berita-berita, info-info picisan dan murahan yang dibuat oleh para penjahat negeri. Walaupun mau tidak mau kita akui bahwa latihan (madrasah) selama sebulan ini tidak mudah, karena budaya konsumerisme sebagai anak kapitalisme sudah menunggangi dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat kita, baik dalam puasa Ramadhan, haji, dll. Sehingga jalan satu-satu nya untuk meng-counter kapitalisme dan budaya konsumerisme ini dengan cara berpuasa, menjadi manusia puasa dari setiap individu di antara kita.
Karena hidup di dunia ini hanya sebatas mampir ngombe, hanya sebatas ngabuburit sampai pada waktu berbuka itu tiba. Bahwa hidup kita ini ibarat hanya sebatas menunggu saat-saat waktu berbuka puasa/perjumpaan agung dengan yang Maha Agung. Di mana secara hikakat baik hewan, tumbuhan, alam jagat raya seisinya dan Tuhan pun berpuasa. Lantas apakah manusia puasa itu? Entahlah…
Masih adakah manusia puasa di era seperti sekarang ini? Minimal apakah kita bersedia untuk mentadaburi walau sedikit saja perihal jalan sunyi manusia puasa? Yang bertepatan pada bulan ini salah satu dari tiga Marja’ Maiyah lahir di Bumi Nusantara. Mari kita melingkar dan melepas rindu bersama-sama di riungan Majelis Maiyah Bandung, 23 Mei 2018. Pukul 20.00 WIB. Di Pondok Pesantren Anak Jalanan At-Tamur, jalan raya Cibiru Hilir No.04, RT 01/RW01, Cileunyi Bandung. Di ruang rindu, di kedalaman kalbu, mari kita bertemu…