CakNun.com

Manusia-Manusia Ketuhanan

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Kita lanjutkan. Formula-formula teologis disampaikan, sayangnya, dalam cara dan metode yang tidak mengaitkannya dengan dimensi-dimensi lainnya. Itu menjadikan ketuhanan hanya sebatas formula teologis itu sendiri. Ia tidak nyambung dengan kenyataan bahwa manusia atau individu-individu adalah subjek, pelaku, atau agency dalam ranah ketuhanan yang kemungkinan pengalamannya beragam dan lebih luas dari formulasi teologis aliran-aliran kalam.

Oh ya, agency itu istilah yang saya pinjam dari Sosiolog yang penah menjadi Rektor LSI (London School of Economics) bernama Anthony Giddens. Dia gelisah terhadap ilmu-ilmu sosial yang terjebak pada dualisme, yakni berposisi-mengunggulkan satu kutub seraya tidak memberi tempat kepada kutub lain. Realitas sosial tak bisa dilihat dalam cara simplistis begitu.

Contohnya fungsionalisme. Ini teori sosial yang melihat masyarakat punya kebutuhan terhadap (dan terdiri atas) fungsi-fungsi, dan individu-individu akan mengisi fungsi-fungsi itu. Dengan kata lain, masyarakat atau sistem sosial mendominasi, menguasai, dan mengendalikan individu seakan individu adalah subjek yang tak punya peran, geliat, kritisisme, kemauan yang lain, menawar, dan lain-lain.

Maka, sekaitan dengan teori yang disusunnya, Giddens memasukkan dan memperkenalkan agency ini sebagai faktor penting dalam melihat terbentuknya realitas dan praktik sosial. Agency menunjukkan bahwa individu adalah semesta yang luas dengan segala kehendak dan pengalamannya. Banyak kejadian yang penjelasannya menjadi lebih memotret realitas dan memadai dengan menggunakan pendekatan agency ini.

Dalam hal teologi atau ketuhanan pun, saya rasa demikian. Individu bukan sekadar “penerima pasif” formulasi teologis. Individu adalah agency-agency ketuhanan yang kaya ragam pengalamannya. Di sinilah, teologi harus disandingkan dengan konsep-konsep lain seperti psikologi agama. Selain berisi persepsi dan rumusan logis mengenai Tuhan, apa yang dimaksud ketuhanan juga berisi pengalaman ketuhanan. Bahkan tidak hanya itu, ia juga mesti kita hubungkan dengan bahwa ketuhanan (dalam hal ini kehadiran Tuhan) dalam hidup manusia salah satunya dijembatani oleh manusia itu sendiri.

Pada titik paling sempurna manusia tersebut adalah Nabi dan Rasul yang mendapatkan wahyu untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada umat manusia. Lebih daripada itu, para Nabi dan Rasul memerankan diri sebagai teladan yang memancarkan sifat-sifat baik–kasih sayang–kepada manusia lain. Suasana kehidupan karenanya menjadi diwarnai oleh interaksi yang penuh kasih sayang pula.

Sudah jelas tentunya bahwa buat saat ini, bukan Nabi atau Rasul yang kita maksudkan, melainkan orang-orang yang dalam kadar yang jauh di bawah Nabi dan Rasul tetapi tetap memiliki kemampuan buat menghadirkan suasana ketuhanan di dalam masyarakat. Atau jika diambil secara lebih ke bawah lagi dan lebih umum, sesungguhnya kita membutuhkan bahwa setiap orang sebaiknya mampu memancarkan sifat dan suasana ketuhanan.

Sinau Bareng dengan segala muatan dan dimensi yang dikandungnya, dapat dipahami dan dirasakan sebagai proses membentuk manusia-manusia ketuhanan. Kalau kita sebut manusia ketuhanan janganlah diserem-seremkan pula. Manusia-manusia ketuhanan di sini dimaksudkan sebagai individu yang tidak hanya memiliki pemahaman teologis, melainkan merasakan lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman ketuhanan, dan memancarkan sifat-sifat baik dalam kehidupannya. Sinau Bareng adalah proses mentransformasi manusia menuju manusia ketuhanan tadi.

Dalam perapektif itulah, kita melihat bagaimana Sinau Bareng yang dipandu Mbah Nun membuka kesempatan yang luas buat jamaah sebagai agency ketuhanan mengekspresikan diri. Rasa yang dihasilkan oleh dzikir, shalawat, musik, lagu, olah berpikir, kemesraan, kedekatan satu sama lain, ketulusan, kegembiraan, kegemetaran karena merasakan kekhidmatan, serta rasa-rasa lainnya, dan lain-lain fenomena yang teman-teman bisa rasakan serta lihat sendiri, adalah komposisi dan aransemen yang oleh Mbah Nun dibangun (kadangkala terjadi ketakterdugaan di dalamnya) untuk membekali jamaah bertransformasi mengolah diri menjadi manusia ketuhanan. Sinau Bareng mengembangkan jamaah dan generasi masa kini menuju ketersambungan-ketersambungan teologis, di antaranya nyambung dengan pengalaman dan keluasan hidup.

Demikian, teman-temanku. Teologi, Sinau Bareng, dan Manusia-Manusia Ketuhanan.

Yogyakarta, 11 Juli 2018

Lainnya

Exit mobile version