CakNun.com

Mantra untuk Kemurnian dan Harga Diri Manusia

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 5 menit

Rumah Maiyah dipadati oleh para wartawan dan jurnalis dari berbagai media pada pagi menjelang siang, pukul 10:00 WIB hari Jumat tanggal 23 Maret 2018. Sedang ada konfrensi pers menjelang pementasan MANTRA #2019 yang akan digelar di Concert Hall TBY, tanggal 26 Maret 2018.

Perlu diingat, pentasnya tetap pada 2018. Hanya namanya memang ada 2019 nya. Ada apa 2019? Entah itu mungkin akan kita dapati ketika pementasan telah berlangsung, atau ketika nanti tahun 2019 sudah kita alami sendiri. Memang begitu MANTRA itu, ada dimensi pelipatan waktu.

Namun kenapa pentas yang, selain didukung oleh Rumah Maiyah dan disupervisori oleh Mbah Nun sendiri, ini perlu diadakan konfrensi pers? Kalau memang pertanyaan seperti itu muncul, maka jawabannya mungkin bisa ditemukan ketika Mbah Nun dipersilakan berbicara, bahwa pentas ini adalah bentuk nyengkuyung, srawung, silaturrohim. Menyapa hati manusia.

Wartawan, kaum pers, bagaimanapun walau terdapat degradasi kualitas, masih dikerjakan oleh manusia juga bukan? Memang pada era ini segalanya mengalami degradasi pemahaman dan kualitas. Sempat Mbah Nun menggambarkan bagaimana “aji sirep” pada era ini hanya diambil satu dimensi saja. Seolah sirep hanya untuk membuat orang yang dikenainya tertidur. Padahal sirep sesungguhnya untuk membuat orang berlaku sesuai keinginan pihak yang mengirim. Orang yang kuat bentengnya akan sulit disirep. Nampaknya bangsa Indonesia tidak punya pertahanan yang kokoh menghadapi sirep global sehingga kita selalu jadi bangsa yang kena sirep. Maka itu, era ini kita butuh MANTRA.

Kenapa pentasnya harus pukul 19:38 Wib? Kenapa harus lebih 8 menit dari 19:30? Itu adalah kesempatan baik untuk bertanya, tapi tak muncul dan tak apa juga. Respons yang muncul (dan yang tidak muncul) adalah apa yang dibutuhkan manusia. Sejauh apa kebutuhan manusia bergantung pada kesadarannya. Maka itulah MANTRA.

Baik Pak Puntung yang sutradara, Mas Gaung sang koreografer, maupun Pak Joko Santosa dan seluruh tim yang terlibat menyampaikan bahwa berlangsungnya pentas, teknis, maupun respons dan resonansi diserahkan seluruh utuh-utuhnya pada proses itu sendiri.

“Karena ini konfrensi pers, maka kita akan memberikan apa yang dibutuhkan teman-teman pers”, ujar Mbah Nun.

Di hadapan hadirin-hadirat, pembicara maupun peserta terpampang gambar sosok gempal dengan rambut berkuncung yang oleh manusi Jawa akan dengan segera ditangkap sebagai gambar Ki Lurah Semar. Tapi Kiai Semar ini ada sedikit beda dengan mainstream-nya. Kain polengnya mungkin sama. Tapi selain Semar ini berselempang kain putih, tangannya berjumlah empat. Satu menunjuk tangan sebelahnya yang sedang menunjuk ke atas, sementara sepasang tangan lain dengan posisi menengadah. Apa makna simboliknya? Nah itu bergantung pada pemahaman dasar yang meresapinya. Jangan lupa, selain dilatarbelakangi oleh backdrop hitam, di atas gambar itu juga terpasang kain poleng betulan, bukan gambar kain poleng.

Awal acara, penyambut tamu membagikan selembar makalah, bersama pengantar pementasan plus sebuah koran Jawa Pos. Maksudnya mungkin  dibagikan koran tersebut adalah karena berita mengenai akan diadakannya pementasan beserta kelengkapannya, termasuk tulisan Mbah Nun sendiri terdapat di dalamnya. Namun menjadi jenaka juga ketika MC membacakan makalah yang berisi optimisme kebangkitan Nuswantoro, kejayaan-kejayaan para leluhur namun di koran itu yang tampak malah Setya Novanto, presiden, NKRI, gubernur, politik ekonomi serta kelucuan-kelucuan lain di dunia. Duh, kita memang butuh MANTRA.

Mbah Nun pun sedikit membabarkan, “Pertama pentas MANTRA sebagai peristiwa budaya dan mantra itu sendiri”. Zaman dulu kalau ada pementasan itu berarti dari grup mana yang sedang mengadakan pentas apa. Sedangkan pentas ini tidak atas nama satu grup teater tertentu. Tidak dari grup mana-mana. Sayang pertanyaan soal ini juga tidak muncul dari jurnalis yang hadir.  Saya agak menanti tanya yang tak kunjung datang, tapi rupanya jawabannya datang sendiri dari Mbah Nun, “Ndak ada urusan jokowi-jokowian atau prabowo-prabowoan, anis-anisan atau ahok-ahokan. Yang ada seniman nyengkuyung bebarengan gawe apik”.

Mantra, seperti dijelaskan oleh Mbah Nun lahirnya kemungkinan pada era ketika manusia sudah mengenal konsep tauhid. Namun informasi mengenai tuhan masih dibatasi oleh-Nya. Maka manusia berinisiatif untuk meraba-raba keberadaan-Nya sesuai pemahaman yang murni dan otentik.

Bila memakai terminologi sedikit ke Arab dan Islam, maka urutannya adalah Do’a, Wirid, dan Hizib. Ini tidak dimaksud mana lebih baik dari mana. Hanya soal posisi saja. Do’a posisinya ketika manusia meminta tuhan turun tangan langsung pada urusan-urusannya, sementara wirid adalah ketika manusia mulai bernegosiasi dengan tuhan, sedangkan hizib adalah ketika tuhan dan manusia bekerja sama dalam kehidupan. Mantra posisinya seperti hizb, hanya bunyinya berbeda karena pengalaman literasi dan kultural yang berbeda.

Artinya, MANTRA lahir dari pencarian yang tulus dari manusia, tanpa kepentingan. Benar-benar keingintahuan dan pembelajaran yang murni. Dia di luar baik-buruk, benar-salah, maupun hitam-putih kehidupan. Mbah Nun melanjutkan, “Hidup memang tidak bisa sepadat itu. Tidak bisa hanya hitam dan putih. Dalam hidup ada hitam keputih-putihan, ada putih kehitaman atau putih memanfaatkan hitam atau hitam menunggangi putih”.

MANTRA hanya bisa dihasilkan ketika manusia masih betul-betul menghargai kata. MANTRA adalah runtutan kata yang lahir dari sunyi. Sedangkan kata yang lahir tidak dari kemurnian hanyalah rapalan kosong tanpa makna.

“Indonesia bikin Pancasila saja, tidak jelas maksudnya ketuhanan itu yang mana”, lanjut Mbah Nun. Kemudian runtutan logisnya ketika manusia serampangan menggunakan kata, adalah lahirnya generasi dan pemimpin yang ingah-ingih. Tidak punya kaliber. Itu berpuncak hingga saat ini.

Mbah Nun kembali mengingatkan bahwa sebentar lagi negara-negara Asia Pasifik akan bergeser jadi kelas dunia pertama. Baik atau burukkah? Apakah berguna menjadi negara dunia pertama (secara hitung-hitungan ekonomi makro) tapi manusianya malah bermental pengemis?

Salah satu hal yang sering ditegur oleh Rasulullah Saw pada sahabat-sahabat beliau adalah jangan sampai mengemis. Tapi hingga saat ini kita selalu bangga jadi bangsa pengemis. Nyuwun investor, manut dawuh ndoro funding, dslb.

Maka MANTRA bisa akan berefek pada kejayaan, tapi bisa saja tidak seperti kejayaan dalam konsep kita sendiri. Kalau ada yang bilang Indonesia akan bubar 2030, MANTRA bisa saja adalah trigger agar pembubaran itu disegerakan. Kalau rupanya itu mengundang hidayah karunia kecintaan dari Gusti Ingkang Moho Luhur, kenapa tidak?

Dan memang bisa saja tidak. MANTRA adalah kemungkinan di luar konsep kita. MANTRA berjalan sebagaimana MANTRA itu sendiri ingin berjalan, bergerak, berbunyi, mengalir, menyepi, bersunyi, bergetar dan menari. Bahkan saat MANTRA sendiri ingin berdiam, karena seperti kata Pak Joko Santosa, “Diam adalah musik yang paling dahsyat”.

Akan jadi dan seperti apa efek MANTRA nanti? Itu baru akan kita temukan nanti pada saat atau setelah MANTRA itu sendiri dipentaskan, dan tentu setiap yang datang akan menjadi bagian dari rapalan MANTRA kepada arus zaman tersebut.

“Kita ini sedang hidup pada arus MANTRA”, pesan Mbah Nun.

Dalam konfrensi pers ini, selain setiap pertanyaan ditanggapi dan dielaborasi secara serius, para jurnalis yang kebanyakan masih muda belia juga berkesempatan menimba ilmu jurnalistik bermartabat dari  Mbah Nun. Pada satu dimensi pandang, Mbah Nun kan juga adalah sesepuh mereka pada bidang yang mereka geluti.

“Teman-teman jurnalis, wartawan, saya minta juga ikut nyicil membangun kedaulatan dan harga diri manusia. Karena di Indonesia sekarang yang hilang bukan sekadar harta benda dan kekayaan, tapi harga diri”, kalimat Mbah Nun ini jadi sangu berharga bagi para jurnalis yang datang siang itu di Rumah Maiyah. Selain kemudian kesempatan untuk berfoto bersama Mbah Nun dan segenap tim MANTRA. Mereka juga adalah MANTRA harapan.

Ke depan kita akan menghadapi banyak kesalahpahaman. Tahun politik penuh klitih, kebohongan, kemunafikan, era kerusakan yang disangka kedahsyatan, kemajuan tanpa kemaluan, saling klaim jasa dan saling buka aib di antara para manusia. Makin terasa bahwa kita butuh MANTRA. (MZ Fadil)

Lainnya

Topik