CakNun.com

Mantra Peradaban Zaman Now itu Bernama Maiyah

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (3)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 9 menit
Poster pementasan KiaiKanjeng di Teramo.

Meskipun dalil alamiah dasarnya tetap sama, kehancuran adalah prasyarat untuk sebuah kelahiran kembali yang lebih baik. Bukankah bubur ayam spesial yang sering terhidang di meja makan kita untuk sarapan bisa menjadi senikmat itu karena melewati fase demi fase penghancuran? Tidak saja berasnya, tetapi seluruh bumbu, ayam suwir, bahkan kerupuknya, yang kemudian dihancurkan lagi dengan lebih sempurna di dalam duodenum (usus dua belas jari) kita, dan akhirnya harus diserap bumi untuk menumbuhkan kehidupan baru.

Pun dalam ranah peradaban manusia, tak satupun tanpa terkecuali di muka bumi ini, dari generasi Adam (yang tak memiliki nama depan maupun nama belakang, dan semua Nabi juga demikian, meski amat jarang orang mempertanyakannya) di zaman paling old, sampai generasi Adam Lavine di zaman now, yang bisa luput dari siklus dihancurkan, kemudian diganti dengan generasi yang baru.

Persoalan terbesarnya bukan pada kehancuran itu, karena tidak ada sunatullah yang buruk, bahkan keburukan itu diciptakan untuk melengkapi sudut pandang kita tentang yang kita sebut kebaikan. Persoalan paling mendasar terletak pada ketidaksungguhan mempelajari mengapa yang ini dihancurkan lebih cepat, yang itu diulur lebih lambat, dan formula apa yang Tuhan ajarkan untuk bernegosiasi menunda kehancuran itu sehingga kita lebih siap menyongsong kelahiran kembali, dan sebagainya.

Pementasan teater Mantra#2019 tanggal 26 Maret di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ternyata memberikan satu jawaban untuk menyikapi dan menyiapkan siklus kehancuran-penggantian-kelahiran kembali itu. Meskipun Cak Nun tidak secara langsung terlibat dalam penggarapan naskah dan proses produksinya, namun sebagai supervisor, beliau memiliki penjelasan yang sangat realistis dan masuk akal. Karena dunia modern ini sudah sangat jauh mengagungkan materialisme, dan semua kehancuran peradaban manusia di masa lalu ditandai dengan fenomena serupa, padahal warning Tuhan di atas sangat jelas untuk mencintai Tuhan agar tidak dihancurkan atau minimal tidak disegerakan kehancurannya.

KiaiKanjeng diminta untuk ikut mengisi pertunjukan bertajuk “GRAZIE ITALIA” di Teatro Communale, Teramo.

Jika cinta dan Tuhan itu sifatnya rohani, sementara seluruh formula peradaban modern digerakkan dengan orientasi wani piro (materi dan transaksi), dan letak segala hal yang jasmani adalah pada kutub lain dari letak rohani, maka orang-orang yang berikhtiar dan setia pada frekuensi rohani itulah yang sebenarnya berjasa dalam bernegosiasi dan mengulur penghancuran-penghancuran itu.

Bukankah agama itu sendiri adalah ajaran untuk merohanikan materi, sehingga mantra, yang oleh Cak Nun ditegaskan sefrekuensi dengan doa dan wirid, adalah metode untuk melandasi ajaran itu. Karena orang yang bermantra, berdoa, dan berwirid dengan benar, sepertinya akan kecil kemungkinan untuk curang, serakah, dan jahat (tiga penanda pemuja materialisme), dan besar kemungkinan untuk menemukan frekuensi cinta, atau paling tidak tanda-tanda cinta Tuhan.

Jika istilah Maiyah diambil dari mantra yang diucapkan Rasulullah kepada sahabatnya Abu bakar ketika mereka bersembunyi di dalam gua dan akan dihancurkan oleh kaum Quraish, “La tahzan Innallaha ma’na”, maka ihtiar dan ijtihad ber-maiyah itu sepertinya bentuk konkret dari melanjutkan mantra tersebut untuk menegosiasikan kepada Tuhan agar sudi menunda kehancuran yang diramalkan tahun 2030, bahkan tahun 2019.

Orang juga menyangka bahwa hari kiamat adalah hari kehancuran, padahal kata kiamat (qiyamah), bentuk gerund dari kata qooma/yaquumun itu harfiahnya bermakna berdiri, bangkit, sehingga fokusnya seharusnya pada bangkitnya atau lahirnya kembali, dan siapa yang Tuhan bangitkan kembali dengan yang baru adalah mereka yang mencintai dan Beliau cintai. Mungkin karena alasan inilah salah satu forum maiyah dinamakan Kenduri Cinta.

Mbah Nun, Ibu Via, dan KiaiKanjeng menyapa civitas akademika Università degli Studi di Roma “La Sapienza”.

Terakhir, karena gerakan Maiyah letaknya adalah di lembah, sebagaimana hampir semua pusat peradaban dunia berpusat di lembah sungai, antara gerakan spiritual Thoriqot dan gerakan sosial, tetapi juga bukan berarti keduanya, diantara materialisme dan mistisisme, semoga kiprah nyatanya mampu menjadi mantra pemersatu sekaligus jimat untuk bernegosiasi menunda kehancuran Anak Asush Bernama Indonesia.

Roma, Akhir Maret 2018

Lainnya

Grand Prix Merde-kah?

Grand Prix Merde-kah?

Alhamdulillahirobbil’alamin. Awalnya hanya kalimat ini yang menjadi fokus perhatian saya menjelang genap usia satu tahun Mafaza yang sudah di-tumpeng-i awal Agustus lalu.

Ahmad Karim
Ahmad Karim