CakNun.com

Mantra Peradaban Zaman Now itu Bernama Maiyah

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (3)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 9 menit
Regio Conservatorio Di Musica, tempat partitur yang berisi naskah notasi KiaiKanjeng berjudul Pambuko I, Pambuko II dan Demung dimuseumkan.

Tur ini oleh mas Ian L. Bets disebut sebagai titik kulminasi dari The Silent Pilgrimage-nya Cak Nun dan KiaiKanjeng, terutama yang paling spesial ketika mereka diminta ikut menjadi bagian dari prosesi penghormatan meninggalnya Paus Yohanes Paulus II di Vatikan, sehingga pentas mereka diberi judul Kiai Kanjeng’s Arrangement for Il-Papa. Bahkan, usai pentas, mereka mendapat sebutan baru sebagai Complimente Maestro, Grazia Maestro oleh para intelektual musik dan penggemar konser musik klasik di Italia.

Pemberian gelar maestro ini ternyata memang tidak main-main, apalagi setelah saya menyaksikan dan merasakan sendiri salah satu pementasan teater Giudizio Universale di Auditorium Conciliazione (terletak tidak jauh dari kompleks Istana Vatikan) yang berkisah tentang pelukis, pemahat, dan pujangga Michelangelo yang karya-karyanya menghiasi seluruh ruang di Kapel Sistina atau Istana Apostolik (kediaman resmi Paus di Vatikan).

Siapapun yang memasuki concert hall atau gedung-gedung teater di kota Roma dan kota-kota lain di Italia akan merasakan sendiri bagaimana serius dan totalnya para seniman di sana mementaskan hasil karya mereka, serta antusiasme maupun tradisi mengapresiasi masyarakat Italia terhadap sebuah karya atau pertunjukan seni.

Uniknya, salah satu hal paling sakral yang ada di dalam Istana Kapel Sistina adalah sebuah mantra yang dikenal dengan Bait Salomo atau Haikal Sulaiman yang diambil dari kitab Perjanjian Lama. Dari Kapel Sistina yang di dalamnya dipenuhi lukisan manusia telanjang karya Michelangelo yang berada di sebelah kiri Basilika Santo Petrus sampai seluruh bangunan megah di kawasan St. Peter’s Square di negeri Vatikan, semuanya mencoba mengesankan sebuah keagungan yang oleh para penganutnya barangkali dipersembahkan untuk Tuhan mereka. Karena yang menarik, di kawasan istana semegah itu, para gelandangan diizinkan oleh sang Paus untuk menggelar kasur, tikar, atau sekadar alas koran berjejer di pelataran halaman istana Basilika Santo Petrus, bahkan konon mereka yang jumlahnya banyak sekali dibandingkan dengan kota-kota utama lain di Eropa juga bisa mendapatkan akses subsidi dari pemerintah.

Tim Dokumentasi KiaiKanjeng berkesempatan ta’ziyah bersama jutaan umat Katholik yang terus hadir saat wafatnya Paul Johannes Paulus II di Vatikan.

Kontras dengan kemegahan istana Vatikan, sekitar 4 km dari Basilika Santo Petrus dan 650 meter dari Colosseo (Koloseum Roma), pengunjung kota Roma akan disuguhi pemandangan dan memori luar biasa, yaitu puing-puing dan reruntuhan pusat Imperium Romawi yang dikenal dengan Foro Romano (Forum Roma). Kawasan istana kuno yang terletak di lembah sungai Tiber (sebagimana pusat-pusat peradaban dunia lain yang berada di lembah sungai) ini kemudian menjadi simbol penyatuan Imperium Romawi karena lokasinya diapit oleh dua pusat kerajaan Romawi kuno Palatino (Palatine Hill yang dibangun oleh Romulus) dan Campidoglio (Capitoline Hill yang dibangun oleh Titus Tatius).

Dari sini, tentu banyak hal yang bisa dijadikan refleksi dan menjadi bahan permenungan. Selain fakta bahwa bangsa Romawi secara eksplisit diabadikan di dalam Al-Qur`an, dan tentunya bukan sebuah kebetulan jika Cak Nun dan KiaiKanjeng diperjalankan untuk menyaksikan bukti-bukti autentik dari kisah-kisah kemasyhuran peradaban manusia di masa lalu, bahkan bersentuhan langsung dengan manusia-manusia keturunan masa lalu itu, tidak hanya di Roma tetapi di banyak pusat peradaban dunia lain yang disebutkan di dalam kitab suci.

Menyelami dimensi ruang yang sama, namun pada dimensi waktu yang berbeda, karena barangkali inilah salah satu pesan penting dari Tuhan “berjalanlah kamu di muka Bumi, dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan” (An-Nahl: 36). Pesan ini diulang persis di Ali ‘Imron: 137 dan Al-An’am: 11, serta berkali-kali ditegaskan dengan berbagai konteks di banyak ayat lain. Seperti Al-Mu`min: 82, An-Naml: 69, Al-Ankabut: 20, Al-Mulk: 15, dan wabil khusus pada ayat yang menceritakan kisah bangsa Romawi, yaitu Ar-Rum: 9.

Kaum homeless (gelandangan) yang mendapat tempat “mulia” di sepanjang halaman lobby kawasan negeri Vatikan (Foto: Karim 2018)

Dari refleksi persinggahan saya di Roma, meskipun besok paginya harus ketinggalan pesawat ke Paris karena kelelahan setelah malamnya menelusuri puing-puing kota Romawi kuno, dan terpaksa harus beli tiket baru, ada hal penting yang yang kemudian mengerenyutkan dahi saya. Ternyata dalam berbagai kesempatan, kerap kali Cak Nun mengutip ayat “…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya...”.

Penggalan ayat itu tak sepopuler ayat Al-Maidah yang lain, karena kebetulan mungkin belum ada kasus yang sampai menginspirasi gelombang protes jutaan orang dan gerakan nasional pengawal fatwa. Padahal, warning Tuhan melalui ayat tersebut jauh lebih keras, bahkan diulang dengan kalimat senada beberapa kali di ayat-ayat yang lain (semisal di Muhammad: 38, An-Nisa: 133, dan Ibrahim: 19).

Dan akhir-akhir ini, Tuhan mungkin sengaja mengirimkan “nota dinas” kepada para malaikatnya untuk disampaikan kepada para penghuni bumi Nusantara tentang kisah dan keniscayaan adegan penghancuran dan penggantian umat baru itu. Dua amsal kemudian muncul ke permukaan, pertama malalui pidato seorang capres terkuat (dalam arti paling kuat dan konsisten menyandang gelar capres) yang mengutip novel ‘Ghost Fleet’-nya Peter W. Singer dan August Cole meramalkan Indonesia bubar tahun 2030, dan kedua melalui pementasan drama nyeleneh bertajuk Mantra#2019 karya Joko Santosa yang bahkan meramalkan kehancuran Indonesia lebih awal, 2019.

Bedanya, jika yang pertama barangkali bisa dituduh banyak orang sebagai sebuah manuver politik untuk menghadapi “yang katanya pesta demokrasi” tahun 2019, yang kedua barangkali juga bisa dituduh oleh orang-orang di sebuah negara yang memang gemar sekali menuduh, sebagai sebuah klenik berkesenian yang mengada-ada.

Salah satu sisi reruntuhan bangunan Foro Romano (Foto: Karim 2018)

Yang jelas, pesan moral dari keduanya sama, “ayo siap-siap”, karena zaman berubah, teknologi berubah, dan orientasi berpikir berubah, jangan-jangan formula penghancuran-penggantian itu juga berubah. Bukan fisik materialnya yang hancur, tetapi mental dan karakter ke-martabat-annya yang berada di ujung kehancuran.

Lainnya

Grand Prix Merde-kah?

Grand Prix Merde-kah?

Alhamdulillahirobbil’alamin. Awalnya hanya kalimat ini yang menjadi fokus perhatian saya menjelang genap usia satu tahun Mafaza yang sudah di-tumpeng-i awal Agustus lalu.

Ahmad Karim
Ahmad Karim