CakNun.com

Manaraturrahmah Mamak Cammana

Catatan Perjalanan Manaraturrahmah, 10 April 2018
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Sayyang Pattu`du` sudah tiba di depan rumah Mamak Cammana. Tetabuhan berhenti. Orang-orang berkerubung di sekeliling kuda itu. Sebelum turun, seorang Bapak menyambut kedatangan Mbah Nun dan rombongan KiaiKanjeng dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Mandar. Menyampaikan selamat datang penuh kegembiraan. Kemudian Mbah Nun turun, dan Mamak Cammana segera memeluknya, mengajak naik ke rumah panggungnya, menggandengnya. Sampai di dalam, KiaiKanjeng segera bershalawat. Mbah Nun membaca beberapa bagian dari Maulid Simtud Duror.

Baru beberapa kata, terdengar suaranya terhenti karena bercampur dengan perasaan yang tak kuat ditahannya terhadap Kanjeng Nabi Muhammad dan Mamak Cammana sendiri yang juga amat mencintai Kanjeng Nabi. Mamak Cammana di sebelahnya terlihat membasuh kedua matanya dengan jilbab yang dikenakannya.

Mamak Cammana kini berusia lebih dari delapan puluh tahun, mungkin delapan puluh lima. Seperti kebanyakan orang-orang tua kita dulu banyak yang tak tahu persis tanggal lahirnya, Mamak Cammana pun demikian. Tetapi Mamak ingat, sejak usia lima tahun sudah suka kepada shalawat. Teks shalawat, doa dan pepujian itu Mamak dapatkan dari ayahnya yang berguru langsung kepada Waliyullah Imam Lapeo.

Sedangkan untuk urusan lagu, Mamak mengatakan tidak berguru kepada siapa-siapa. Mamak mendapatkan langsung anugerah dari Allah Swt. Dari dalam perutnya ilham itu terasa, dan Mamak tak bisa menggambarkan lebih jauh kecuali di tangannya ada rebana. Dengan rebana, Mamak bisa memberikan contoh dan mengeluarkan suaranya. Maka, rebana adalah bagian tak terpisah dari sehari-hari Mamak Cammana. Di banyak sudut rumahnya selalu ada standby rebana, bahkan saya sempat lihat, di bawah kolong tempat tidur Mamak pun, beberapa rebana disimpan.

Allah mencintai Mamak Cammana. Energinya melebar ke kanan kirinya. Kalau Mamak bershalawat, biasanya didampingi beberapa perempuan yang turut memukul rebana dan melantunkan shalawat. Semacam backing vocal. Menurut saya yang awam, kalau pas giliran mereka bersuara, suara mereka tiba-tiba seperti sama atau menyatu dengan karakter suara Mamak Cammana. Padahal, kalau diminta bersuara satu per satu tanpa Mamak Cammana di situ, ya jadinya beda-beda.

Setelah bershalawat dengan khidmat tadi, Mbah Nun meminta Mamak Cammana untuk berdoa, lebih tepatnya mendoakan semua yang hadir dan mendoakan KiaiKanjeng. Mamak pun memanjatkan doa. Satu awalan yang sakral pada puncak perjalanan Manaraturrahmah, yang kemudian disambung dengan persembahan untuk Mbah Nun dan KiaiKanjeng dari anak-anak asuh Mamak Cammana. Mungkin ada sekitar 20 anak, mengenakan seragam. Mereka mengambil formasi setengah melingkar, menghadap kepada Mamak dan Mbah Nun.

Terlebih dahulu Dik Rahma–masih kelas 1 SMA–yang bertugas memimpin, menyampaikan selamat datang dan hormat kepada Mbah Nun. Lalu ia baca beberapa ayat dari al-Qur’an, shalawat Nabi, dan ia bersama timnya yang terdiri dari anak-anak usia SD mempersembahkan satu nomor berisi sifat-sifat wajib Allah. Di tengah-tengah persembahan ini, mata saya tertuju ke seorang anak yang tidak ikut dalam tim ini, mungkin masih terlalu kecil, sekira kelas 1 SD. Dari luar ia melongok masuk, melihat persembahan ini, dan bibirnya ikut serta mengikuti pepujian Allah Wujud Qidam Baqa’, walau tak sampai terdengar.

Pemandangan kecil itu mewartakan satu hal. Mamak Cammana berhasil mengenalkan anak-anak kepada shalawat dan lagu-lagu yang mengandung unsur pendidikan keagamaan kepada anak-anak sejak sedini-dininya. Rahma, juga anak-anak kecil di kampung ini, semuanya belajar ngaji kepada Mamak Cammana. Dan untuk semua itu, Mamak tidak memungut bayaran sedikit pun. Mamak mengatakan kepada saya, “Saya senang dan bahagia bisa mendidik anak-anak.” Dan itu sudah Mamak lakukan sejak dahulu. Orang-orang tua mereka, kebanyakan juga belajar kepada Mamak Cammana.

Totalitas keseluruhan hidup untuk mendidik dan membantu masyarakat serta limpahan anugerah unik-otentik kepada Mamak Cammana menjadikan Mamak Cammana sebagai wujud Manaraturrahmah itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, yang selalu siap menebarkan kasih-sayang kepada siapa saja. Kasih sayang yang dimensinya lebih luas dan yang menunjukkan terdapatnya nilai yang lebih tinggi dalam hidup ini, yang bersifat abadi.

Tak heran jika kemudian sebelum KiaiKanjeng bershalawat, Mbah Nun menyebut rumah Mamak Cammana ini sebagai rumah abadi. Sepanjang mengikuti shalawatan ini, semua yang hadir memasuki kekhusyukan. Beberapa rekan jamaah Maiyah Mandar terlihat menangis. Mamak Cammana juga demikian, meski kemudian banyak tersenyum tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya atas kedatangan Mbah Nun untuk kesekian kalinya. Sebenarnya Mamak Cammana tidak hanya menganggap Mbah Nun sebagai anaknya, tapi pada diri Mbah Nun, Mamak melihat sesuatu yang lain yang tak perlu saya sebut di sini.

Kita berterima kasih kepada Mbah Nun karena telah memperkenalkan kepada kita-kita praktik dan contoh mengenai tingkat kasih sayang yang bisa digapai manusia, salah satunya melalui hubungan rohaniah kepada Mamak Cammana ini.

Selepas persembahan anak-anak tadi, telah bersiap-siap ibu-ibu Majelis Ta’lim Sohibu Baity untuk juga mempersembahkan shalawat kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Tunggu catatan selanjutnya.

Yogyakarta, 12 April 2018

Lainnya

Exit mobile version