Man Yu’alliqul Jaros?
8 Mei 1998, Cak Nun merilis “Selebaran Terang Benderang: Tentang 11 Mei, Dewan Negara, dan lain-lain”. Selebaran ini bisa dibaca pada buku Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto – 2,5 Jam di Istana. Dalam selebaran tersebut, Cak Nun mengawali dengan sebuah kalimat yang lugas; ABRI Segera Memihak Rakyat, atau dibentuk “Dewan Negara”, atau Korban terus berjatuhan.
Melalui selebaran ini, Cak Nun menganjurkan agar seluruh rakyat Indonesia bersegera mempersolid kekuatannya, karena waktu terus berjalan, sementara diperlukan keputusan yang segera harus diambil untuk meminimalisir jatuhnya korban.
Hari-hari itu, hampir semua aktivis membicarakan tentang reformasi. Tentu saja yang dimaksud adalah menurunkan Soeharto, kemudian membentuk Pemerintahan yang baru. Persoalannya adalah, bahwa mekanismenya tidak semudah yang diomongkan. Tidak jelas dibicarakan bagaimana caranya Soeharto mundur. Kemudian apakah Soeharto mundur sendirian atau satu paket dengan Wakil Presiden, serta seluruh jajaran Menteri dalam Kabinet yang disusun 2 bulan sebelumnya. Bagaimana dengan DPR dan MPR yang juga merupakan produk dari rezim Orde Baru saat itu? Yang diteriakkan hanya satu: Soeharto mundur.
ABRI yang merupakan garda terdepan militer di Indonesia saat itu, masih dibawah kendali Soeharto. Sama sekali tidak berani mengambil langkah yang progresif untuk menenangkan massa yang semakin brutal saat itu. Kerusuhan dan penjarahan yang terjadi tak bisa dihindarkan. Yang tentu saja akan semakin banyak nyawa yang dikorbankan. Dan juga akan lebih banyak lagi fasilitas publik yang dirusak. Sementara, dollar pun semakin kuat terhadap nilai tukar rupiah. Secara ekonomi, kondisi Indonesia benar-benar sangat lemah.
Bagi Cak Nun, proses pergantian penguasa dengan usaha mengatasi krisis adalah dua hal yang berbeda. Turunnya Soeharto tidak lantas menjamin keadaan ekonomi di Indonesia akan membaik. Ada banyak kalkulasi yang harus diperhitungkan saat itu. Sementara waktu semakin genting. Indonesia tidak memiliki waktu yang banyak untuk segera mengambil keputusan. Cak Nun juga menyoroti pergerakan massa yang saat itu tampak akan didorong pada pengumpulan kekuatan rakyat; people power .
Seberapa solid pengorganisasian pergerakan massa saat itu? Seberapa tinggi kemungkinan keberhasilannya? Siapa yang kemudian ditunjuk menjadi Pemimpin untuk menghitung segala kemungkinan tersebut? Berapa banyak korban yang akan gugur? Juga apakah Pak Harto akan mudah ditaklukkan dan bersedia mundur? Serta apakah ABRI juga bisa dipastikan pro rakyat? Sementara, Soeharto tetap bergeming. Tak ada tanda-tanda ia hendak meletakkan jabatan.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan, bertempat di Hotel Regent, Jakarta, Cak Nun bersama Cak Nur, Utomo Dananjaya, Ekky Syachruddin dan Fahmi Idris berkumpul. Disusunlah sebuah naskah surat untuk kemudian disampaikan kepada Soeharto. Inti dari surat itu adalah Soeharto diminta untuk legowo mundur dari kursi kepresidenan. Lengser Keprabon. Oleh Cak Nur, naskah itu diberi judul Husnul Khatimah. Isi dari naskah tersebut adalah tentang niat, kesadaran dan konteks substansi husnul khatimah. Di mana Soeharto adalah pelaku utama dari husnul khatimah tersebut.
Singkatnya, dalam naskah tersebut Soeharto diberi Empat pilihan Husnul Khatimah. Keempat formula tersebut adalah: Pertama, reformasi dalam kerangka sistem Orde Baru seperti yang pernah diungkapkan oleh Soeharto sendiri di depan pimpinan fraksi di DPR. Kedua, reformasi dalam kerangka sistem yang sama sekali lain dari sistem Orde Baru. Di mana Soeharto sebagai presiden akan digantikan oleh orang lain melalui cara yang konstitusional.
Ketiga, reformasi melalui proses pergantian kekuasan politik radikal (kudeta). Dan Keempat, reformasi yang dipimpin oleh Seoharto sendiri dengan melibatkan seluruh Warga Negara Indonesia, setelah sebelumnya Soeharto harus mengakui kesalahannya atas terjadinya krisi moneter dan krisis ekonomi. Ada 12 poin yang terangkum pada opsi keempat ini. Pada 17 Mei 1998, naskah Husnul Khatimah dikonferensiperskan di Hotel Wisata, Jakarta.
Seperti sebuah cerita dalam khasanah muthola’ah–buku cerita anak-anak dalam bahasa Arab–dikisahkan sekelompok Tikus teraniaya dengan kehadiran seekor Kucing yang terus mengganggu kehidupan mereka. Dalam sebuah rapat diputuskanlah untuk mengalungkan sebuah kalung lonceng untuk dikaitkan ke leher Kucing. Solusi didapatkan. Kemudian persoalan lain muncul: siapa yang akan mengalungkan kalung tersebut di leher Kucing? Man yu’alliqul Jaros?
Begitulah kira-kira yang dihadapi oleh Cak Nur dan kawan-kawan. Setelah menyusun naskah Husnul Khatimah. Sosok Soeharto saat itu begitu kuat seperti macan. Diperlukan diplomasi khusus untuk menyerahkan naskah tersebut. Bahkan untuk sekadar menyerahkan sebuah surat usulan agar mundur dari jabatan presiden. Tokoh-tokoh tersebut tidak gegabah untuk memilih orang yang tepat untuk menyerahkannya kepada Soeharto. Pilihan jatuh kepada Saadilah Mursyid, yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Negara. Esoknya, 18 Mei 1998, isi dan pokok-pokok naskah tersebut oleh Saadillah Mursyid disampaikan kepada Soeharto.
Saadillah Mursyid alladzi yu’alliqul Jaros! Saadillah Mursyid memiliki peran yang besar. Ia membawa naskah Husnul Khatimah untuk disampaikan kepada Pak Harto pada 17 Mei 1998, setelah dikonfrensiperskan siang harinya. Pada malam hari di tanggal 18 Mei 1998, Pak Harto menghubungi Cak Nur dan menyatakan kesediaannya untuk mundur dari jabatan Presiden.
Kebetulan, malam itu Cak Nun sedang ada acara di sebuah kampung di Jakarta. Bu Via kemudian menerima sambungan telepon dari Cak Nur yang mengabarkan bahwa rekomendasi Husnul Khatimah diterima oleh Pak Harto. Dan ia bersedia untuk mundur. Pak Harto kemudian meminta para inisiator naskah Husnul Khatimah itu datang ke Istana Negara keesokan harinya (19/5).
Tak banyak orang yang mengetahui hal ini. Sejatinya, pada 18 Mei 1998 inilah “akad nikah” turunnya Soeharto dari jabatan Presiden. Malam itu, secara substansi Soeharto telah mengalah dan bersedia untuk Lengser Keprabon. Hanya saja, Soeharto perlu memastikan bahwa proses perpindahan kekuasaan itu tidak menimbulkan konflik baru. Dan ia meminta agar ditemani dalam proses peletakan jabatan Presiden yang ia emban itu.
Seorang Raja tidak akan mudah mengalah apabila ia ditaklukan dengan cara kekerasan fisik. Apalagi seorang Raja Jawa yang dikenal sebagai Macan. Macan yang buas bukan tidak bisa ditaklukkan. Tetapi ada teknik khusus yang hanya dimiliki oleh seorang Pawang untuk menaklukkan Macan. Tidak sembarangan. Diperlukan perhitungan yang tepat serta momentum dan nuansa yang pas untuk menjinakkan Macan.
Sementara di jalanan, para aktivis dan mahasiswa terus melakukan demonstrasi. Kerusuhan dan penjarahan terus terjadi. Ada tokoh-tokoh bangsa yang juga tetap memikirkan bagaimana agar didapat jalan keluar yang paling arif. Sehingga keputusan yang diambil tidak merugikan banyak pihak.
Dalam sebuah wawancara, ketika wartawan bertanya mengapa dalam pertemuan tanggal 19 Mei 1998, Cak Nun menunduk ketika bersalaman dengan Soeharto? Cak Nun menjawab karena saat itu Soeharto sudah Madeg Pandito.
Cak Nun menyebut pergolakan batin Pak Harto pada malam hari di 18 Mei 1998 itu sebagai sikap Madeg Pandito. Saat itu, sangat jelas Soeharto masih memiliki kekuatan untuk berkuasa. Militer masih di bawah kendalinya. Maka akan sangat mudah baginya untuk menggebuk demonstran di jalanan. Terlebih, sudah disiapkan pula 8 titik bom yang bisa diledakkan sewaktu-waktu untuk mengisolir Jakarta dalam waktu sekejap. Tetapi, Soeharto telah mampu mengalahkan dirinya, ia Madeg Pandito terlebih dahulu sebelum Lengser Keprabon.
Madeg Pandito, artinya Soeharto sudah bersedia untuk mengakui kesalahan-kesalahannya. Bersedia untuk diadili dan dihukum. Ia sumeleh, pasrah, dan beriktikad baik kepada dirinya sendiri, maupun bangsa Indonesia. Maka bagi Cak Nun, tidaklah pantas seandainya kepada orang yang sudah Madeg Pandito seperti Soeharto saat itu, kita kemudian masih mencaci-maki dan mengutuk-ngutuknya. Sangat tidak etis ketika seorang yang sudah mengaku salah dan bersedia diadili, kita masih menguar-uar kebencian kepadanya.
Tidak mengutuk kesalahan seseorang itu tidak sama dengan menganggap bahwa kesalahan yang dilakukannya dianggap selesai sebelum dihukum. Menghormati manusia atau tidak mengutuk mertabat kemanusiaan justru dilakukan dengan mengkritik kesalahannya dan menghukumnya atas kesalahan yang ia lakukan. Kesalahannya tetap diperhitungkan untuk kemudian diadili dalam meja persidangan.
Tetapi, tidak kemudian kita memukul kepalanya, menendangi tubuhnya, apalagi menginjak-injak harga dirinya sebagai manusia. Karena menurut Cak Nun, ketika kita menginjak-injak martabat manusia yang merupakan ciptaan Tuhan, pada hakikatnya kita juga telah menginjak-injak seluruh kemanusiaan.
“Saya tidak bermusuhan dengan manusia. Sebab, permusuhan bagi saya adalah tindakan yang memusnahkan. Yang saya musuhi adalah nilai-nilai jahat, yang harus ditanggung oleh pemiliknya dengan cara dihukum. Ia sendiri (Seoharto), sebagai manusia, tetap saya cintai. Kalau tidak, Penciptanya marah”, ungkap Cak Nun.