Makmum Abu Bakar Baasyir dan Pengagum Mbah Nun
Sudah banyak buku, makalah, seminar bahkan penelitian para akedemisi. Hingga kemudian berbagai cara diajukan untuk mencegah berkembangnya radikal bebas berujung pada aksi sadis terorisme. Tapi rasanya itu semua selalu mentah. Selalu saja manakala eskalasi politik negeri seberang bernama Jakarta-NKRI sedang meningkat suhunya, kejadian berdarah selalu terulang. Artinya, mungkinkah ada yang salah dengan cara kita menghadapi aliran tafsir-tafsir keras? Tak sabaran dan haus darah begini?
Sekali waktu saya pernah mewawancarai seorang manajer band. Tak ada tanda-tanda radikalis Islamis pada dirinya. Namun dia mendaku sebagai “bermakmum pada Abu Bakar Baasyir”. Dan selain itu juga pengagum Mbah Nun. Saya tanya, kenapa bisa mengagumi dua sosok itu? Jawabnya sederhana. Jauh dari kesan ideologis atau soal kecocokan tafsir agama.
Yakni sebab menurutnya, hanya dua tokoh itu yang dianggapnya punya kesan “metal”.Mendobrak dan menghantam kemapanan itu. Dilanjutkannya, keduanya tidak lahir dari rahim ormas-ormas agama yang pernah dia kenal dan tarekat-tarekat yang pernah dia masuki. “Nyufi-nyufi mah nanti aja saya, masih muda gini pengen yang revolusioner lah”, katanya. Usianya jelas jauh di atas saya. Tapi soal merasa tua atau rumangsa muda itu hak masing-masing, kan? Kutipan tadi, hanya berdasarkan ingatan saya. Jadi kemungkinan tidak persis. Atau bahkan mungkin otak saya membikin-bikin dialog fiksi.
Maka, apakah memusuhi mereka yang menganut tafsir keras seperti Wahabi cukup solutif? Apakah berbusa-busa menunjukkan pada mereka bahwa tafsir mereka salah, tidak berdasar, bernuansa politis dlsb itu, bisa meredam potensi ke arah kekejaman dan kesadisan?
Perdebatan antara kawan-kawan Sunni vs Wahabi sejauh saya amati, di dunia fana fisik maupun fana netizen tak pernah selesai. Mungkin saya kurang objektif. Tapi rasanya teman-teman Sunni yang diwakili NU dengan Wacana Islam Nusantara selalu lebih unggul dalam keilmuan.
Kasarannya, kawan-kawan NU selalu lebih berdasar dan hampir memenangkan semua perdebatan yang pernah saya saksikan. Namun rupanya, itu juga tidak mengurangi peningkatan aksi kesadisan yang dituduh berdasar agama. Jadi, apakah memenangkan perdebatan tafsir dengan kaum Wahabi (di sini ambil sample Wahabi, sebagai contoh yang dianggap garis keras di masyarakat) bisa menyelesaikan masalah? Saya kurang melihat hasilnya di situ.
Saya khawatir, kita terlalu dramatis soal perbedaan tafsir terhadap dalil-dalil agama. Fenomena Maiyah sendiri, walau sering disebut akrab dengan NU, tapi tidak pernah juga menjadi kubu anti HTI atau anti Wahabi. Kalau ada kritikan terhadap sikap orang Wahabi, itu juga hal lumrah. Sebagaimana perlu ada kritik terhadap orang NU, Muhammadiyah, NKRI dan lain sejenisnya.
Salah satu yang membuat saya nyaman radikal di Maiyah adalah karena dia tidak terseret pada kubu anti ini atau anti itu. Anti wahabi, atau anti bid’ah? Tidak. Kita di sini mencari baiknya setiap tafsiran. Dan bagaimana panggonan konteksnya yang pas secara koordinat maqom ruang-waktu.
Artinya, perbedaan tafsir tidak pernah jadi masalah di Maiyah. Bahwa ada yang cocok dengan tafsir yang angkat senjata boleh saja. Ada yang sukanya tafsir adem ayem juga tentu baik. Yang dipersoalkan oleh manusia lain tinggal bagaimana akhlaq dan perilakunya. Dan itu selesai di personnya.
Ambil contoh ekstrem. Misal ada orang yang sangat meyakini secara letterlijk ayat-ayat qital atau perang. Apakah salah? Keyakinannya belum tentu salah. Kalau dia mulai mengangkat senjata menyerang kita, baru kita membela diri. Dan tentu dia harus menerima ganjaran yang dia perbuat.
Selain itu semua, juga kemampuan meletakkan kebenaran versi pencarian sendiri di dapur adalah juga sangat penting. Saya punya kawan, seorang mantan Wahabi keras yang sekarang masih Wahabi tapi lebih dewasa. Alumni 212. Dia tidak sepakat dengan tradisi-tradisi macam ziarah kubur dan sejenisnya. Tapi dia memanfaatkan seluruh kemampuannya untuk ikut aktif memugar makam yang diyakini makam seorang waliyullah di desanya. Makam itu rusak karena gempa.
Dia sendiri, tidak mau mengeramatkan makam itu. Saya tanya kenapa dia mau melakukan itu semua. Dia bilang, “Kebenaran dan aqidah saya, biar saya dan Allah. Akhlaq yang saya sajikan, saya usahakan yang terbaik yang bisa membahagiakan orang di sekitar saya”. Saya tidak sempat bertanya, apakah pendapatnya itu dipengaruhi, oleh kebiasaanya membaca tulisan-tulisan Mbah Nun sejak usia belia dulu?
Tidak perlu diperlebar orang menjadi begini-begitu karena ikut pengajian ini-itu. Atau penganut Wahabi atau thoriqot tertentu. Itu bisa ada hubungannya. Tapi secara data mungkin baru bisa diklasifikasikan sebagai hubungan asosiatif. Alias bukan (belum) hubungan sebab-akibat. (bersambung...)