Majelis Para Awam, Satu Forum Seribu Podium
“Orang sekarang banyak yang menuhankan dirinya atau tokoh-tokohnya” sehingga segala versi pemikiran dihukumbakukan. Agamawan sudah seperti “Mungkin merasa besanne Gusti Allah, Allah kok nduwe besan”. Lam yalid walam yuulad, ternyata tidak semudah itu aplikasinya.
Di panggung, workshop singkat dilakukan. Penuh tawa, dan tak lupa Mbah Nun memberi masukan-masukan. Workshop asosiasi kata membuat kita sadar bahwa kadang kita kurang terlatih berpikir tangkas dan tampaknya susah membatasi diri. Ini juga melatih kita mau mengingat ke belakang serta presisi memprediksi kedepan, seperti surah Al-Hasr yang dibacakan oleh qori’ di awal acara. Istri saya berbisik, katanya dia mendapat ilmu konseling baru dari Ngaji Bareng ini.
Latihan-latihan berpikir memang sebaiknya disemarakkan, di tengah masyarakat kita yang jauh lebih gandrung dengan permainan-permainan atau olah raga yang lebih mementingkan kecepatan refleks otot, minim refleksi permenungan. Semua ada bagusnya, hanya perlu diseimbangkan.
Capaian bagaimana lagi yang diharap? Tawa bahagia dalam Ngaji Bareng, itu juga capaian kan? Brilian, malah kalau menurut saya pribadi. Menghalau serbuan gelombang kecemasan yang disebar-sebar dengan fatwa, titah, dawuh, perpres dan macam-macam hal di dunia yang jauh dari membikin tenang hati manusia. Masa begitu bukan capaian?
Musikalitas KiaiKanjeng tentu berperan sangat besar. Seorang pemuda saya perhatikan, sambil saya latihan membaca profil secara cepat. Pemuda itu berpeci hitam, kemeja hijau lengan pendek, menyelempangkan sorban hijau di pundak. Sepanjang acara, hanya dia yang kurang banyak tertawa. Wajahnya khusyuk menatap panggung, posisi duduknya tegak hampir tak bergeming, postur tubuhnya methekel. Saya mulai berpikir dia orang militer atau anggota perguruan silat. Eh pas lagu “Sayang” dilantunkan KiaiKanjeng sebagai bagian dari Medley Era, paling heboh dong Mas ini jogetnya, kaget saya. Temonholic kayaknya. Keren Mas.
Mbah Nun memberi terminologi baru, bahwa Ngaji Bareng adalah “Satu forum, seribu podium”. Untuk yang punya bekal sejarah komunikasi agama podium sampai forum halaqoh, rasanya kalimat itu akan bermakna sangat dalam dan luas. Di luar sana orang tergila-gila berebut podium tunggal. Dalam Ngaji Bareng, relasi kuasa podium dilempar, disebar ke seluruh hadirin. Tak ada fatwa-dawuh tunggal.
Sekali lagi, ini menghalau segala serbuan kecemasan. Dan kalau, yang namanya wali-wali Allah itu adalah orang yang tak ada ketakutan dan kecemasan dalam hatinya, bukankah ini juga berarti Ngaji Bareng adalah upacara pelantikan kekasih-kekasih Allah? Siapa yang melantik? Ya tawa dan kebahagiaan itu sendiri. Karena, masa kekasih Allah Swt yang melantik manusia? Memangnya yang melantik itu besannya Gusti Allah?
Semakin banyak manusia yang berdaulat cara pikirnya, mandiri hidupnya, peka batinnya dan rasional akalnya. Maka kita semakin tidak perlu mencemaskan siapa-siapa mau bicara apa. Yang menjadi masalah selama ini tiap kubu yang bertikai saling menyerang orang yang bicara di podium sebelah sehingga mereka harus merebut podium lagi, bikin fatwa saingan lagi dan kalau bisa mencegah tokohnya kubu sebelah untuk bicara di podium. Begitu itu apa coba?
Ngaji Bareng konsentrasinya pada hadirin, selama yang mendengar mau berpikir, “Biar saja ustadz ini bilang tahlilan bid’ah sementara yang sebelah bilang tahlilan sunnah, atau kiai ini bilang ini haram, seblahnya bilang itu halal. Toh mereka semua sama-sama manusia juga.”
Kami awam, tapi kami manusia. Kami punya martabat. Tawa dan pengalaman hidup kami nyata. Kami bukan sekadar angka penambah jumlah massa kumpulan dan ormas. Kalau kami awam dan kami tak bercita-cita jadi khos-intelek-ningrat-komrad seperti junjungan-junjungan para kubu di luar sana memang kenapa? Kami awam, lantas kenapa? Tawa kami berharga, hanya di Ngaji Bareng tawa kami dihargai. Dalam majelis para awam yang satu forum dengan seribu, bahkan berjuta-juta tak berhingga jumlah podiumnya. Di sini kami betul-betul jadi manusia. (MZ Fadil)