Majelis Para Awam, Satu Forum Seribu Podium
Kalau ditanya, orang macam apa yang paling merasakan manfaat dari digelarnya Ngaji Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di berbagai tempat, rasanya saya akan menjawab ya orang-orang awam seperti saya dan beberapa kawan dan… Tak terhitung-hitung banyaknya manusia lain.
Pada acara Ngaji Bareng dalam rangka ulang tahun ke-70 Desa Sardonoharjo, Ngaglik Sleman yang diadakan di halaman balai desa di jalan Kaliurang KM 9,8 malam tanggal 19 April 2018 kali itu juga sangat terasa kegembiraan, tawa dan tularan kebahagiaan kepada seluruh hadirin. Apa Gelaran Ngaji Bareng kosong dari intelektualitas, keilmuan dan capaian spiritualitas? Oh sebentar dulu, kita mesti tarik jarak sedikit dari dunia serba capaian ini.
Lihat, namanya Mbak Lulu. Suaranya sedikit bergetar kalau bicara. Entah memang suaranya serenyah itu atau getarannya dihasilkan oleh kekhawatiran sebab: “Saya pernah dengar ada ustadz bilang…”. Dan mengalirlah pertanyaan-pertanyaan gimana kalau ketinggalan sholat sedangkan katanya sholat tidak bisa diganti, tambah berapa ratus tahun di neraka. Terus gimana caranya supaya nanti pas sakaratul maut mulut kita melafalkan kalimat tahlil? Kalau ndak ucap tahlil kan katanya ndak sempurna. Semua pertanyaan Mbak Lulu based on miturut ustadz ini-itu.
“Mbak Lulu sebaiknya berguru dengan benar pada agamawan dengan sanad ilmu yang jelas dan nasab suci. Jangan sekadar mendengarkan ustadz-ustadz tivi.” Hmmm… Itu rasanya adalah jawaban yang kemungkinan besar Mbak Lulu dapatkan kalau menanyakan hal serupa di banyak majelis pengajian. Belakangan orang makin mudah diprediksi aksi-reaksinya. Tapi Ngaji Bareng kan tidak se-mainstream dan se-ngepop itu.
Sering kita temui begini ini, orang diajak jangan ikut yang orang begitu-begitu. Ikuti orang yang benar saja. Dan yang benar yang bagaimana? Yang begini! Intinya yang benar sesuai konsep pemahaman nilai kelompoknya. Itu sama saja orang disuruh keluar dari satu doktrin menuju doktrin lain kan? Kapan mulai mikir? Kapan hidup? Ah dasar, awam kok mau mikir? Itu kan tugas dewa-dewa agamawan di kayangan? Awam tidak usah rewel. Dasar awam!
Saya menyoroti wajah Mbak Lulu yang tampak penuh kekhawatiran raut wajahnya. Saya agak berani memprediksi Mbak Lulu ini tingkat intelegensinya cukup tinggi. Jadi sayang kalau potensinya terusik dengan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebih, walau tentu itu nilai lebih juga insyaAllah, karena berarti pencariannya sangat tidak main-main.
Pertanyaan-pertanyaan Mbak Lulu memang diberi jawaban dengan versi Mbah Nun sendiri. Tapi nampaknya, paling utama yang dilakukan oleh Mbah Nun bukan memberj jawaban praktis dari pertanyaan, namun bagaimana agar Mbak Lulu tentram dulu hatinya dari rundungan kecemasan dan kekhawatiran.
Kita berada pada dunia yang tiap kubu saling mengancam dan menuntut. Saya dan Mbak Lulu, maksudnya kami yang awam-awam ini cuma jadi kayak massa rebutan untuk banyak-banyakan followers tiap kubu saja. Orang seperti kami itu biar sudah bersyahadat formal (soal kualitas syahadat lain bahasan), ketemu kubu ini masih dituntut: “Apakah anda sudah berjuang demi tegaknya khilafah? Sudahkah anda membela agama Allah? Sudah amar ma’ruf nahi munkar? Ini negara thogut, maka belum sempurna iman anda kalau belum bla bla blaaaa…”. Tengok ke kubu sebelah ketemunya: “Sudah punya mursyid? Sudah ikut thoriqot belum? Ingat, thoriqotnya yang mu’tabaroh lho ya. Jangan lupa wajib membela negara, hubbul wathon minal iman. Karena sesungguhnya sempurnanya iman adalah bla bla blaaa…”
Wuih, dunia bising dengan tuntutan aneh-aneh, seperti jalanan macet di siang hari yang gerah dan orang saling klakson sana klakson sini padahal sama-sama mandek jalur pikirnya. Kami yang awam ndak punya kendaraan kok ikut diklakson? Kami cuma lewat kok, mau nyeberang jalan kaki. Ketemu beginian saya memang agak gemes. Maaf.
Konon ada bedanya bunyi klakson untuk minta jalan, untuk ucapan terima kasih, menyapa, sampai klakson untuk keadaan urgent. Di jalanan sekarang, sepertinya rata-rata yang kita dengar klakson dengan panjang nada menandakan kondisi darurat. Ada apa dengan kondisi batin kita sebenarnya?
Kalau orang-orang Maiyah insyaAllah sudah selesai dengan beginian. Terhadap tuntutan, jadikan tantangan kehidupan. Terhadap godaan, berjuang menahan. Jalanan bising? Mlipir ke jalan sunyi, beres. Banyak kubu saling bertentangan? Tinggal ambil saja baiknya dari semua pihak, asyik. Negara thogut? Ya iyalah, kita ndak ikut bikin, ndak ikut mendirikan tau-tau ikut nyaur utangnya, kurang ajar betul. Tapi suruh ikut meruntuhkan sistem dan menggantinya dengan ide khilafah versi situ? Ih males. Apa kami nihilis? Ah ndak juga, kami berjuang cuma ndak kayak begitu saja, dan tidak diakui pejuang juga ndak masalah. Santai kita mah.