CakNun.com

Maiyah, Umbah-Umbah

Catatan Majelis Ilmu Suluk Surakartan, 29 Juni 2018
Suluk Surakartan
Waktu baca ± 6 menit

Mas Aziz ‘Kenyot’ yang sehari-sehari menjadi guru bahasa Arab memberi dasar tentang arti susunan kalimat Maa adroka ma. Yang intinya menanyakan tentang sesuatu. Beliau sekaligus menjelaskan dimensi kata Suluk. Yang bisa berarti cara berjalan. Hampir semakna dengan kata Thariqah.

Duduk pula di depan, mas Wasis, selaku moderator, Pak Munir, dan mas Rendra. Mas Rendra, seorang filolog muda yang menggeluti dan bergelimang pengetahuan tentang Jawa, membeberkan beberapa temuannya terkait tentang Surakarta di masa lalu. Dari sejarah penamaan, kondisi geografis, psikologis manusianya, hingga falsafah ideologisnya, yang salah satunya dengan melakukan pembacaan fenomenologi keris. Keris dulunya menjadi penanda identitas seseorang. Semacam berlaku sebagai passport. Karena keadaan Surakarta dulu tata kelola pemerintahannya masih benar-benar keraton. Ketika pergi ke Madiun, umpamanya, itu sudah termasuk pergi ke mancanagara. Pemeriksaan identitas dilakukan di perbatasan-perbatasan. Begitu menunjukkan keris yang dibawa, citra diri sudah terbaca. Ini siapa, dari mana, jabatannya apa, keturunan siapa, kepentingannya apa. Bagi saya pribadi, ini bahasan yang cukup menarik daripada membahas kegagalan Jerman di Piala Dunia Russia 2018.

Entah kebetulan atau tidak salah satu wilayah yang dulunya merupakan tapal batas tempat pemeriksaan hilir mudik orang-orang di wilayah Surakarta adalah gapura yang berada tepat di depan Rumah Maiyah. Tempat dipasangnya spanduk mmt Suluk Surakartan. Konon wilayah Surakarta dulu membentang dari wilayah Aji Barang di barat sampai Blitar di timur.

Ada identifikasi bahwa Surakarta terdiri dari dua kata Sura yang artinya baik, bagus, dan Karta yang artinya makmur. Sama dengan Karta yang ada di Ngayogjakarta, Jakarta, atau Meikarta? Mas Rendra juga menceritakan karakteristik keunikan orang-orang Surakarta yang sekarang lebih dikenal dengan Solo ini, yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. Bahwa orang-orang Solo sangat potensial dalam bidang perniagaan. Namun karena itu pula, sangat sulit menjual sesuatu ke sesama orang Solo. Tetapi akan sangat berhasil ketika menjual barang dari luar Solo.

Solo juga mudah ditemukan jejak sejarah pergerakan di bidang apapun. Ekonomi, politik, jurnalistik, sampai militer. Boleh dicatat, salah satu yang membesarkan nama Via Vallen adalah Solo dengan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari-nya.

Sebenarnya cukup banyak khazanah tentang Surakarta yang diceritakan oleh mas Rendra. Dan itu cukup untuk membesarkan hati siapa saja yang masih memiliki garis keturunan manusia Jawa.

Malam itu maiyahan berjalan dengan beberapa selipan lagu milik Letto, Ruang Rindu dan Sandaran Hati, yang dilantukan oleh mas Aziz diiringi genjrengan mesra gitar oleh mas Gema Isyak. Vokalis grup band Soloensis. Mungkin grup band itu masih memiliki garis nasab dengan Homo Soloensis.

Hadir pula Pakdhe Herman. Menurut beliau memahami Surakarta bisa juga dilakukan dengan cara selalu berbuat kebaikan. Justru laku sebagai orang Jawa itu yang harus senantiasa dijaga. Mungkin kita sudah kehilangan pemaknaan tentang keris, tentang bahasa, tentang kondisi wilayah teritorial, tetapi kita tidak boleh kehilangan laku kita sebagai orang Jawa. Ini adalah bekal yang luar biasa penting. Bagaimana agar generasi-generasi muda di masa depan tidak rendah diri mengaku sebagai orang Jawa. Sajian Macapat Pangkur Kahanan dari Pakdhe Herman menegaskan hal itu. Menggugah diri generasi muda supaya tumbuh kembali kesadarannya sebagai orang Jawa ajeg lan jejeg laiknya keris.

Pak Munir menyoroti, tema yang diusung juga bisa berfungsi sebagai kritik ke dalam. Kritik untuk Suluk Surakartan sendiri dengan landasan salah satu tulisan Mbah Nun berjudul Maiyah Mengkritik Dirinya Sendiri. Sudah belajar apa saja. Sudah mengamalkan apa saja. Bagi sebagai simpul Maiyah maupun sebagai entitas dari masyarakat di wilayah Surakarta. Setelah ini mau apa?

Kalau saya pribadi, ketika ada pertanyaan,

Bar seko Maiyah ngene iki, terus arep ngopo?

Bar seko Maiyah, aku umbah-umbah. Ket wingi aku urung salin mas. Aku kudu salin.” jawab saya.

Simpul Maiyah Suluk Surakartan masih harus di USG lagi?[] (Didik W. Kurniawan)

Lainnya

Exit mobile version