CakNun.com

Maiyah sebagai Tradisi Intelektual

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Dipandang dari segi semantik, Maiyah, menyibak makna kebersamaan. Pelaku yang berada di ruang kebersamaan itu meliputi jamak latar belakang. Sisi plural demikian mengindikasikan kedudukan Maiyah sebagai tempat persemukaan banyak orang yang berbeda preferensi kulturalnya untuk memosisikan diri dalam satu dimensi belajar tanpa terbatas perbedaan partikular.

Penggalian tema diskusi di Maiyah juga beraneka rupa tanpa harus berpijak pada suatu pokok tertentu. Sekalipun terkesan cair, bukan berarti tema di Maiyah dipandang sebatas instrumental, melainkan justru melampaui sekaligus mendobrak garis demarkasi yang memisahkan arena pengkajian diskusi. Kecenderungan ini berarti posisi tema bergantung erat pada situasi kondisi yang kontekstual, terutama diperkelindankan dengan kemunculan pertanyaan dari peserta luas.

Kelenturan tematik bahan diskusi Maiyah memberi wacana baru sekaligus anti tesis terhadap ruang publik bernuansa akademik yang kini kerap disematkan pada institusi pendidikan formal. Maiyah bukan institusi—bahkan tak menuju ke arah sana—menara gading yang memproduksi pengetahuan dalam jalur ilmiah. Maiyah adalah ruang sosio-kultural “alternatif” yang juga bisa dipandang sebagai forum produksi, reproduksi, dan dekonstruksi pengetahuan.

Area kajian di dalam forum Maiyah yang multidisiplin turut memperkaya diskursus pembelajaran yang sering digeliatkan institusi formal. Namun, sebagai ekspresi pengetahuan, Maiyah bisa terbedakan atas kedudukan epistemologisnya di dalam arena intelektual karena kesungguhannya untuk memperbincangkan pengetahuan. Titik pijak itu setidaknya menurut tiga argumen sebagai berikut.

Pertama, diseminasi pengetahuan di awal diskusi memberi gambaran umum mengenai ontologi tema sebagai perspektif awal dimulainya dialog. Kesempatan tersebut dapat dimaknai sebatas prolog untuk mengantarkan orientasi diskusi selama beberapa jam ke depan. Isu yang disampaikan bersifat respons atas tema-tema aktual yang terjadi, baik pada skala lokal, nasional, regional, maupun internasional.

Isu eksternal yang diulas bertemakan apa pun. Tak terkecuali tema khusus yang berangkat dari kegelisahan personal. Pada prakondisi demikian, Maiyah, dengan kata lain, memberi peluang bagi isu kontekstual yang diharapkan menjadi tema apik untuk diperdalam lebih komprehensif. Isu itu tak berpretensi menjadi representasi kegelisahan banyak orang, walaupun banyak pula orang yang menganggukan kepala karena terdapat kemiripan dengan sisi privatnya.

Kesamaan isu yang dirasakan di sini menekankan betapa kegelisahan personal dapat mempertautkan jamak orang di forum Maiyah. Mereka seakan-akan mengamini kalau sedang berada di kegelisahan serupa. Kemiripan itu tak sepenuhnya persis dan absolut karena perbedaan cara pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang. Ia bisa general di satu sisi dan relatif di sisi lain—tergantung konteks pemaknaan terhadap suatu isu.

Kedua, ajakan Mbah Nun untuk berdialektika di forum Maiyah mensicayakan proses penggalian pengetahuan tanpa berniat esensialisme dan totalisasi. Posisi ini membuat diskusi di Maiyah berusaha mendekati disiplin verifikatif demi memformulasikan pengetahuan baru agar lebih dinamis. Bila sisi ini tak diindahkan, diskusi Maiyah akan terjebak pada kemandekan intelektual, sebagaimana yang terjadi di forum-forum diskusi lain.

Nuansa intelektual yang difondasikan kuat dari kecenderungan dialektis semacam itu mengarahkan diskusi Maiyah berjalan dua arah, yakni tema dipaparkan dan direspons secara aktif-kreatif. Meminjam istilah Hegel, Maiyah mencoba mengajukan tesis untuk diantitesiskan agar mencapai sintesis. Kendati persoalan sintesis tersebut akan menjadi tesis di kemudian hari karena kebenaran atas pengetahuan bisa berlainan titik koordinatnya manakala dikontekstualisasikan dengan perspektif dan ranah baru.

Posisi dialektis itu diterangkan secara verbal oleh Mbah Nun bahwa apa yang disampaikan pada momen tertentu bisa salah di hari berikutnya karena terdapat kemungkinan kebenaran baru yang bisa direngkuh dari pergumulan lain. Pada aras inilah Maiyah bergerak untuk tak berniat mencapai, tetapi mendekati dan berusaha mengejar suatu objek kebenaran.

Kebenaran di sini bisa diamsalkan serupa fatamorgana. Bukan merengkuhnya, melainkan tekad bulat mencapainya. Yang terakhir ini bermakna menikmati sebuah proses pencarian. Proses yang tak ada ujungnya tersebut menyibak orientasi Maiyah yang sampai sekarang terus-menerus menggali pengetahuan untuk menikmati kearifan atas ilmu-ilmu yang tak terhingga banyaknya itu.

Ketiga, berkelindan dengan poin kedua, Maiyah menekankan eksplorasi ilmu yang tak harus gayung bersambut jawaban selekasnya. Berbeda dengan wilayah institusional keilmuan di ranah akademik lain, Maiyah menghargai proses penerokaan yang tanpa final, bahkan mempertanyakan realitas finalisasi pencarian di sana. Pada konteks demikian, Maiyah menghargai proses atas metodologi pencarian pengetahuan.

Pengetahuan yang dicari melalui jalur metodologis, apalagi dipersambungkan dengan laku empiris, akan membentuk kesadaran seorang ilmuan yang penuh militan. Orang Maiyah sudah barang tentu tak hendak dan berniat menjadi ilmuan seperti halnya pemahaman arus utama. Bagi orang Maiyah, ilmuan bukan identitas yang kaku dan stagnan, melainkan suatu kecenderungan personal yang sedemikian disiplin terhadap proses pencarian: pengetahuan dan laku melahirkan ilmu.

Jalan yang ditempuh untuk merengkuh ilmu menjadi tak serumit jalur saintifik di menara gading. Cukup dengan pengembaraan seperti apa yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, yaitu laku “neng-ming-nung-nang” yang berarti orang (ilmuan) harus meneng (diam) agar menjadi wening (bening pikiran) sehingga timbul nung (penguasaan batin) dalam rangka merengkuh wenang (menang). Kemenangan di situ bisa diartikan sebagai pencapaian ilmu yang telah ditempuh sejak neng.

Pola sistematis yang bisa dilihat dalam praktik bermaiyah di atas tentu sebatas observasi yang mustahil mewakili kenyataan di lapangan. Maiyah sebagai entitas dapat dikonseptualisasikan dalam bentuk apa pun tergantung pendekatan mana yang diambil sebagai pijakan. Akan tetapi, sejauh ulasan dari alinea pertama, argumen-argumen yang diajukan secara naratif hendak memampangkan kecenderungan tradisi intelektual di Maiyah.

Tradisi intelektual hanya tumbuh di tanah yang mempunyai unsur edukatif dan dialektis. Prasyarat ini ditemukan jelas di forum-forum Maiyah. Ia disuburkan oleh wacana keilmuan yang dibentangkan luas untuk ditanggapi dan direnungi dalam rangka pertumbuhan diri. Konsep pertumbuhan itu di dalam ranah keilmuan menjangkau apa yang dinamakan rekonseptualisasi konstruksi pemahaman.

Memahami tanpa berpikir adalah suatu kemustahilan. Sementara di Maiyah, berpikir tak ubahnya seperti nakhoda yang “mengendalikan” semua aktivitas mekanis. Melampaui sekadar berpikir, Maiyah, juga berorientasi untuk mencari kearifan hidup dan kehidupan. Di sinilah letak tradisi intelektual Maiyah. Ilmu didapatkan untuk “mencintai” kebijaksanaan tanpa akhir.

Lainnya