Maiyah Ruang Awam Mencari Ulama, Bukan Emha Mania!


Tak Perlu Emha Mania, Jangan Lanjutkan Konsumerisme Makna
Majelis ilmu banyak. Belajar dari YouTube sampai sowan-sowan bisa dari mana saja ke mana saja, e-book kitab kuning sampai perundang-undangan internasional tinggal download. Ilmu bertebaran sekarang ini. Kebenaran atau pembenaran tinggal pilih. Tapi satu, di manapun kalau manusianya hanya berposisi jadi penanti arti, penungggu makna dan penyetor kuping, maka proses keilmuan hanya akan mandek, buntu menjadi reproduksi bukan kontinuasi.
Kita selalu mengkritik gaya hidup konsumerisme, dengan pola pikir bahwa konsumtif itu sekadar suka belanja, boros. Perihal soal ekonomi, sifat konsumtif dan anjuran untuk lebih berhati-hati dalam sikap pilihan ekonomi juga memang dianjurkan oleh Prof Gunawan Sumodiningrat, beliau Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM. Tentu pembabaran bahasan dari beliau bersifat lebih akademis, rapi secara logika akademis dan menuntut pada keterukuran.
Kita di Maiyah terbiasa dengan wacana pembongkaran, ini baik. Tapi bisa kita bayangkan kalau seorang penguasa yang bilang bahwa segala ukuran tidak perlu terlalu dipusingkan? Kemiskinan meningkat, ah tak apa itu kan hanya ukuran duniawi relatif saja. Kalau yang bicara memang seorang miskin untuk membesarkan hati bolehlah. Tapi kalau yang bicara presiden atau menteri ekonomi dalam sebuah ceramah kenegaraan, misalnya? Gimana?

Merapal jurus “Wajan Dan Panci Melayang Membabi-Buta” rasanya akan jadi pilihan wajar. Posmodernisme menawarkan pembongkaran di segala bidang. Tapi untuk sementara kita masih hidup pada atmosfer warisan modernitas termasuk pagar akademis dan konsep negara. Baiknya sebelum kita mengarah pada pembongkaran pagar, kita juga sedia pelajari sedikit-sedikit seni menegakkan pagar tersebut.
Wacana membongkar segala ukuran dan rasional akan menjadi pembelaan ”menang banyak”, bisa jadi eskapisme kalau keluar dari mulut seorang pemangku jabatan yang bertugas di wilayah kesejahteraan ekonomi, kan? Maka memang adalah positioning pandangnya yang perlu diwaspadai. Prof Gunawan cukup sabar menjelaskan pada kita soal pemahaman dasar mengenai ekonomi kerakyatan.
Tentu kita perlu pahami limitasi pandang beliau. Beliau berkutat pada data. Punya banyak mahasiswa yang diampu. Susah juga membayangkan Pak Prof bergaul dengan jelata di angkringan ngopi, ngecuprus, ngrasani pejabat dan capres yang sama konyol, main gaple sampai tengah malam dan sejenis kere-kere awamiah-nya jelata seperti kita ini. Maka, pembabaran Prof soal ekonomi kerakyatan menemukan kejangkepan dengan bahasan Mas Sabrang soal limitasi pandang dan tolok ukur rasio. Di sini kita tampung semuanya.

Inti yang disampaikan oleh Mas Sabrang dan Pak Prof berujung pada keseimbangan. Impian pada keseimbangan ini, kadang kalau manusia atau makhluk berakal yang ingin ikut serta terlibat, bisa jadi paham nihilismenya Thanos. Tapi tentu bukan itu yang kita tuju, masa demi seimbang perlu membinasakan yang lain? Jadi ndak beda dengan perseteruan aswaja vs wahabi belakangan ini dong?
Mbah Nun menjelaskan soal kesimbangan rahman dan rahim, yang juga imbang antara tarikan nafas dan embusan. Pak Prof sempat berkata bahwa Maiyah ini adalah sebentuk ekonomi kerakyatan sendiri karena terdapat kesimbangan, di mana ada keseimbangan maka jalur distribusi akan mengalir dengan sendirinya. Para penjaja kopi lalu lalang, di sebalah sana beberapa orang berjualan aksesoris, jajanan bahkan belakangan mulai muncul penjual hiasan dan jam masjid. Itukah maksudnya? Tauhid penghidupan, bahwa energi tauhid adalah energi evolusi hidup itu sendiri yang bisa diaplikasikan dalam bidang ekonomi, politik, budaya. Perlu kita sama-sama gali terus.
Maiyah bukan kumpulan Emha Mania. Para JM berkumpul bukan untuk menanti arti dan menunggu makna-makna sesuatu dari Mbah Nun. Kita menolak konsumtif sejak dari makna dan ilmu. Kita berusaha aktif memproduksi makna itu sendiri. Itulah titik temunya dengan ekonomi dan kritik pada konsumerisme.

Daya akal dan rasa dipertajam dengan sapuan silaturahmi. Nyala ghiroh jihad berpadu dengan ijtihad. Kita manusia, kita yang memberi makna pada hidup dan kehidupan. Kita sendiri yang tahu hidup kita, bukan agamawan, bukan comrade ideologi, bukan pejabat atau presiden (ya apalagi itu). Bukan otoritas thoriqot formal, bukan cerdik cendekia di tahta-tahta keilmuan. Bukan para ahli kitab. Maka akrablah dengan Sang Maha Empunya Segala Ilmu, kariblah dengan kekasih kehidupan Muhammad Saw. Selainnya jangan dihina, jangan dihujat tapi juga tak perlu terlalu dibakukan pemujaannya. Jadikan bagian yang wajar sebagai komparasi data.
Takbir Akbar menggema, Mocopat Syafaat berlangsung hingga lebih mendekati jam 4 subuh kali ini. Mbah Nun dan KiaiKanjeng sudah akan bersiap, pada malam harinya akan menemani masyarakat di Temanggung. Kita belum nemu apa makna ulama, tapi kalau standarnya kita tetapkan, bisa tunjukkan satu sosok ulama yang melakukan hal semacam ini? Berhari-hari? Berbulan-bulan? Bertahun-tahun?
Artinya, pembongkaran ukuran yang selama ini kita lakukan di Maiyah, menemukan titik temu pada penetapan standar ukuran yang lebih tinggi lagi dari peradaban yang sedang berlangsung dan sedang membusuk belakangan ini. Menjadilah ruang yang menampung ruang dan waktu itu sendiri.