Maiyah Ruang Awam Mencari Ulama, Bukan Emha Mania!


Kumpulan Wong Pekok Sinau Bareng, JM Dari Para Yogi Hingga Rastafara
“Maiyah ini adalah kumpulan wong pekok-pekok yang sinau bareng,” urai Mbah Nun. Kita semua di sini bukan orang berilmu, bukan kaum ge-er sudah sah jadi warosatul anbiya, bukan pula pemegang otoritas apa-apa. Kita paham keterbatasan sehingga kita mau menjalin silaturahmi agar bisa saling melengkapi data dan menjangkepi pencarian masing-masing.
Kita belajar dari ragamnya tamu malam itu. Mas Brett yang dari Australia, seorang pegiat Yoga menyanyikan lagu “Dont’ Worry”-nya Bob Marley. Usaha menyanyikannya dengan bahasa Indonesia bisa kita hargai walau ternyata terjemahan menjadikannya agak wagu tapi justru begitu itu menghibur. Seorang yogi menyanyikan nada-rastafara. Ada pejalan derita dan sengsara, para yogi di pingggiran Sungai Gangga. Ada para pecandu kesemestaan petapa-petapa rastafara di belantara Afrika. Mereka yang tersingkir oleh modernitas dan indsutri, oleh tuan-tuan tanah namun menolak jalan kekerasan. Barusan lewat di hadapan saya beberapa orang pemuda dengan rambut gimbal, tatoan dan beberapa bertindik, beberapa sudah lepas. Apa mereka tahu sebelumnya bahwa sang nabi rastafara akan dilantunkan lagunya malam ini?
Sayangnya Bob Marley hanya dikenang dengan foto-foto sedang nyimeng dan lagu-lagu yang telah mengindustri. Padahal bila kita gali perjuangan Bob Marley mempertemukan dan mendamaikan konflik antar suku, polemik antara buruh dan pekerja, serta pertikaian di antara juragan tanah di Afrika, itu semua dilakukan dalam tour-tour konsernya, mirip sekali dengan Maiyah.

Hanya sayang kekurangannya memang Bob Marley tidak mengenal peradaban keseriusan keluarga dan pernikahan sehingga keturunannya banyak sekali (sebanyak anak turun Soekarno dan Mao Tse Tung mungkin). Dari perempuan-perempuan yang berbeda yang mengantre setiap selepas konsernya. Perempuan-perempuan itu selalu diantarkan oleh istrinya sendiri. Kaiser Selasey membacakan pidato di PBB dan, digubah oleh Uncle Bob menjadi lagu “War”.
Bob Marley jelas pahlawan pada banyak bidang, tapi bukan soal pergaulan dengan cinta keluarga. Tapi saya jelas menikmati “Don’t worry about the thing. Coz every little thing gonna be allright…”.
Dan Suara Mas Brett menjadi “Bangun pagi ini. Tersenyum pada matahari. Tiga buruuunnnggg…”

Jamaah tertawa terhibur, bukan tawa melecehkan. Benar-benar tawa yang menghantar pada ruang dan waktu, pada nasab-nasab tersembunyi para petapa. Para kaum rastafara di sana, jauh di belantara Afrika percaya bahwa mereka adalah penerus peradaban Sulaiman yang hilang. Tak apa, toh penetapan Al-Aqsa sebagai masjid yang berada di sekitaran Palestina, baru disahkan pada abad yang sangat modern di abad 15 Masehi oleh Turki Utmsani.
Pada masa yang berdekatan, proyek pembangunan Al-Aqsa lainnya juga berlangsung di berbagai tempat yang punya wewenang gelar sebagai Darussalam, termasuk di Jawa pada kota yang sekarang bernama Kudus (Al-Quds). Kita hanya kurang jangkep membaca sejarah. Lihat berapa banyak keraton Nusantara yang punya gelar Darussalam, bertebaran Al-Quds dan Al-Aqsa tersembunyi di khattul istiwa. Kita tidak khawatir karena kita bukan bangsa sepele. Dont worry, laa taqun walaa tahzan innalaha ma’anaa. Maiyah, Maiyah.
Frekuensi Para Pejalan Kesalehan
Bukankah, para kekasih Allah itu tiada kecemasan dan tiada kekhawatiran dalam hati mereka? Masa wali Allah kok cemas sama wahabi? Khawatir di-Suriah-kan? Saya tidak melihat ada kecemasan dan kekhawatiran pada orang-orang di tempat ini. Para awam yang tertawa-tawa, ceria. Padahal sepertinya utang menggunung-gunung.

Utang di warung tetangga sih bolehlah jadi bahan pikiran, lha kalau utang yang kita tidak ikut-ikut menyetujui? Utang negara? Tahu-tahu dikatakan negara punya utang itu sebagai kewajaran? Pertanyaan pertama adalah, dulu ngapain proklamasi? 98 juga ngapain reformasi? Tapi kita tidak cemas, NKRI ini jelas sudah pada titik puncak kebusukannya sendiri.
Mas Brett yang bule sempat menyampaikan sedikit mengenai kebahagiaannya berada di majelis ini. Menurutnya, dia menyaksikan wajah-wajah bahagia di sini. Mas Karim yang sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Amsterdam menjadi penerjemah. Tahu-tahu Mas Brett membisa-bisakan diri berbicara dengan ”Bahasa”. Mas Karim lantas “Tak jawakke wae,” katanya sambil tertawa. Banyak tawa, banyak gembira. InsyaAllah kegembiraan yang menggembirakan Allah dan pra Rasul-Nya.
Mungkin, bisa jadi, Mas Brett yang nama komplitnya Brett Sense Elliot ini sekadar menyenangkan hati kita saja. Mungkin saja Mas Brett seorang terpelajar yang paham bahwa masyarakat kita adalah tipe hasil kolonial yang senang sekali kalau diapresiasi orang kulit putih. Mungkin sekali, kalau kita mau curiga-curigaan. Tapi dengan suara mendayu lirih, ada ketulusan dalam getaran suaranya.
Mbah Nun pun menyampaikan, bahwa pencarian Mas Brett ini adalah perjalanan dan pencarian salik yang saleh. Pencarian di mana seorang manusia berupaya presisi mencari tetesan-tetesan hikmah. Kita tidak berposisi menilai, kita apresiasi. Dan menurut Mbah Nun, keakraban dan kebersamaan ini terjalin karena kita berada pada frekuensi yang sama. Frekuwensi pencarian.

Rupanya Mas Brett juga menyampaikannya lewat WA pada Mas Karim bahwa malam itu di Mocopat Syafaat beliau merasa sangat karib, akrab dan merasa berada di tengah sahabat-sahabatnya sendiri. Ada semangat baru yang dirasakannya. Ini saya kutipkan petikan WA beliau, aslinya lebih panjang dari ini. Dimulakan dengan rasa terima kasih karena Mas Karim telah membantunya memahami “diskusi” pada malam itu, dan membuatnya makin termotivasi belajar “Bahasa” kemudian dilanjutkannya…
“Yes being with music, amongst intelligent people talking philosophy, culture and spirituality is food for my soul. The music is excellent too! I am newly inspired, and felt amongst friends… As Cok Nun said… (maksudnya Cak Nun) We are on the same frequency”
Rupa-rupanya bagi Mas Brett, kita para JM ini, adalah “intelligent people”. Membaca WA Mas Brett pada Mas Karim yang dikirim lewat Mas Jamal kemudian diteruskan ke saya (ini namanya, aplikasi sanad keilmuan dalam dunia digital, dalam hal ini WA) membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Walau ini bukan sekadar majelis ilmu, namun cipratan ilmu tampaknya memang menjadi produk yang tak terhindarkan lahir di dalam gembur suburnya taman-taman kegembiraan, tawa dan haru. Lahir dari kewajaran, bukan dari semangat ingin jadi pintar. Bukan mau berkarier sebagai intelektual, tapi dari keberfungsiannya. Kita katakan kita ini awam, tapi kalau sesekali diakui intelek ya tak apa juga, kan?