CakNun.com

Maiyah Ruang Awam Mencari Ulama, Bukan Emha Mania!

Reportase Majelis Maiyah Mocopat Syafaat, 17 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 14 menit

Menjadi manusia ruang, rupanya bukan sekadar wacana spiritual tanpa fungsi seperti yang selama ini saya kira. Saya hanya gagal selama bertahun-tahun menemukan keberfungsiannya. Masih mungkinkah ada pemaknaan yang lebih luas? Tentu masih mungkin. Tapi demi menuju ke sana kita perlu kembali lagi menjadi ruang. Kita yang ada dalam cangkir-cangkir NKRI, NU, Muhammadiyah, HTI dan banyak lagi jenis bangunan cangkir. Ketika cangkir itu pecah, seperti kata master Zen itu, “Ke mana ruangan di dalam cangkir?”

Mbah Nun menjangkepi ajaran dari abad entah kapan itu (walau tidak benar-benar mengatakan sedang menjangkepi hal tersebut, ini dalam kepala saya saja) dengan satu kalimat, “Anda lebih luas dari Indonesia, lebih lapang dari NKRI.” Saya tiba-tiba ingin bertakbir saja mendengarnya, entah kenapa.

Dicari: Ulama yang Bukan Kelas Sosial

Masih banyak wacana spiritual lain yang hingga sekarang saya belum temukan urgensinya. Untuk dinikmati sekadar-sekadar bisalah, tapi belum bisa penuh betul. Saya tidak mengerti letak fungsinya pada persoalan-persoalan padat manusia. Bersyair-syair sufistik melangit buat saya tetap adalah kekejaman sendiri bila sambil menghindari kenyataan bahwa jutaan orang sedang kelaparan, organ-organ manusia dicabut tanpa perasaan dijual di pasar gelap, perburuhan kapitalistik di Afrika, perang suku dan berbagai kekejaman sedang berlangsung.

Di mana kegunaannya petuah-petuah bijak bestari pada pengawasan modal dan money laundring? Pada kasus-kasus pelecehan seksual dan human trafficking? Pada penelusuran kesemrawutan dan kesalahkaprahan sejarah? Pada persoalan ekonomi, developmentalism, kekuasaan ndoro-ndoro funding? Kekurangan gizi dan tingkat kesehatan di masyarakat? Dan banyak lagi persoalan yang butuh diselesaikan.

Kitab pada abad berapa dan adakah ulama yang mau, membabarkannya? Masa begitu itu bukan tugas ulama? Masa ulama adalah kelas sosial sendiri yang sekadar bermodal otoritas ilmu langit, membaiat dan mengijazahi saja kerjanya? Saya belum bisa menerima konsep keulamaan seperti itu. Karena toh seperti juga kita tahu bahwa musyrik letaknya ada pada konsep di kepala kita. Mungkin kata “ulama” juga bergantung pada pemahaman kita mengenai keulamaan itu sendiri.

Belakangan status keulamaan tiba-tiba banyak dibahas. Tapi dari berbagai bahasan itu, terlepas dari inginnya membela ulama yang mana dan mengenyahkan (atau membukankan) ulama yang sana, definisi itu disusun dari bangunan logika: pertama, ayat yang menerangkan ulama, kedua, hadits mengenai ulama terutama soal warasataul anbiya. Dan tahu-tahu jump in to conclussion dengan mengutip ulama yang mereka akui dalam golongannya sendiri.

Hey wait, ini kita kan lagi cari apa itu ulama kok tiba-tiba sudah ada sendiri kelas sosial ulama yang mengamini dirinya adalah ulama dan mendefinisikan apa itu keulamaan? Kalau ulama itu satu kelas sosial, ya jelas saja dong mereka yang menduduki kelas tersebut walau baik hatinya tentu sadar atau tidak, saat mendefiniskan ulama maka akan merujuk pada kelas sosial yang dia duduki. Kalau definisi ulama adalah soal penguasaan kitab-kitab, ahli kitab dong? Tanya para awam dalam kepala saya. Dasar awam!

Tapi kita tahu, terminologi ulama ini berasal dari Allah sendiri. Sehingga rumusan-rumusan dari manusia sebaiknya kita dudukkan sejajar sebagai referensi tapi BUKAN hukum pasti dan baku. Bahwa ada yang bilang legitimasi keulamaan perlu menguasai kitab ini itu, perlu punya ilmu alat dan perangkat tertentu, sanad dan nasab seperti para rabi dengan institusi pesantren Yeshiva-nya kaum Yahudi. Tentu boleh, tapi masa yang awam-awam tak terakui sebagai ulama ndak boleh berpendapat?

Masa Pak Titut yang ngapak dengan gondrong seram beringas membahana suaranya itu tidak boleh saya daku sebagai ulama? Masa Pakde Herman yang guru besar preman terminal yang kurang karib dengan sastra Arab dan sufi Persia ini ndak boleh didaku sebagai ulama? Bagus sekali tembang asmarandhana beliau.

Masa ibu-ibu yang jualan warung tempat saya makan rames dengan menghabiskan dua cangkir kopi di warung tempat saya menikmati sajian kemesraan Mocopat Syafaat ini, bukan ulama? Suaminya ibu ini lalu-lalang mencari jamaah yang tadi pesan kopi tapi tiba-tiba ngilang, mungkin itu juga ulama. Mas Oki baru datang, berkemeja merah marun, baru pulang dari pabrik tempatnya kerja masa tidak boleh saya akui ulama? Tapi yang mana yang benar? Kita tidak tahu, lha wong terminologinya saja dari Allah, masa kita ge-er paling merasa mengerti maunya Allah? Yang ngomong saja ndak segitu amat ngototnya kok.

Lainnya

Exit mobile version