Maiyah, Jalan Sunyi dan Ketatagan


Tidak dipungkiri, saya datang bertamu mengetuk pintu Maiyah ketika kondisi mental tidak karuan. Kanan-kiri, depan-belakang, berbenturan satu sama lain dalam pencarian hakikat diri. Dokumentasi pementasan Presiden Balkaba memberikan arti tersendiri bagi saya. Ada energi yang mengalir dari ketegasan bersikap dalam bait-bait monolog yang Mbah Nun bacakan. Dari situ penggalian Maiyah saya berawal.
Tahun 2013 menjadi tahun di mana saya harus belajar untuk rela atas mimpi-mimpi. Usaha atasnya menguap ke ruang tak hingga. Hidup sekadar menjalani dan menuruti kemana orang membawa dan membutuhkan saya. Sementara seorang karib sejak SMA sudah mapan bereksplorasi dengan idealisme keilmuan non formalnya, saya mbambung ke mana saja termasuk ke rumahnya. Kami masih berdiskusi–atau lebih tepatnya saya yang ngangsu kawruh–berbagai macam hal. Belakangan persaudaraan kami terasa mirip dengan kisah empat “Em” dari Yogya minus kengenesan beliau-beliau.
“Engkau adalah riuh rendah kejayaan sedangkan puisi-puisiku adalah bisunya kesunyian”. Penggalan naskah Presiden Balkadaba adalah perkenalan saya pada istilah Jalan Sunyi. Mocopat Syafaat menjadi langkah pertama saya bermuwajahah dengan Mbah Nun. Acara di tengah kampung itu terasa hangat selepas hujan. Aneh, 80 km di tengah hujan terganti dengan aliran hangat dari punggung yang menjalar sekujur tubuh. Jalan sunyi yang hangat.
Eh, ndilalah setahun diperjalankan menemani anak-anak pedalaman Papua belajar, saya hanya mengikuti update info Maiyah dari teks dan koneksi internet. Uniknya, energi yang sama masih tetap mengalir kala membaca reportase maupun mengikuti wirid-wirid. Seperti ‘musim semi’ di Timur Tengah, Maiyah tak luput dari musim semi di berbagai media. Setahun belakangan, sekembali dari Papua, saya mulai mempertanyakan jalan sunyi di tengah ramainya Maiyah. Namun Maiyah tetap menjadi pondok pesantren khusus ketatagan hidup.
Ketahanan, kemantapan dan slamet-nya saya di Papua tak lepas dari konsep Cinta Segitiga Maiyah. Terbukti dengan penerimaan baik warga biasa maupun yang agak alergi dengan NKRI bisa menerima saya dan tim. Maiyah lahir dari semangat membersamai siapa saja dan menerima apa saja: kacung, budak, hingga jenderal bengis. Sekalipun Maiyah lahir dari kesunyian suara riuh rendah pesta pora. Maiyah membersamai saya melangkah di jalan sunyi, baik ramai maupun sepi. Semoga menular, wah!