CakNun.com

Maiyah Itu Semacam Geng Motor

Muhajir Arrosyid
Waktu baca ± 3 menit

Seorang karib berkunjung ke rumah dan bertanya tentang Maiyah. Ia “penasaran” dengan anak-anak yang sok ngopi bareng, ngobrol cengengesan sambil membuat poster, membuat acara setiap bulan. Aku menjelaskan semampuku. Bisa saja presisinya tidak pas.

Maiyah itu berasal dari kata “ma’a”, bareng-bareng. Bareng-bareng menyatakan cinta kepada Allah dan Rasulullah. Menyertakaan Allah dan Rasulullah dalam setiap detak langkah kita, diri ini selalu melibatkan diri dalam muara Allah. Apa yang kita jalankan dilihat Allah dan kita melihat Allah.

Maiyah tumbuh karena kesadaran bahwa Allah bertemu Muhammad menyertakan umat, Muhammad bertemu Allah menyertakan ummat, maka manusia menghadap Allah harus menyertakan Rasulullah.

Yang melingkar di acara Maiyah sebagian besar adalah yang memiliki memori dan ingatan dengan Cak Nun. Manusia aneh dengan profesi yang juga embuh. Mereka terikat karena pernah membaca bukunya, menonton videonya, atau bertatap muka dengannya. Karena dari Cak yang Mbah inilah ilmu Maiyah dialirkan oleh Allah.

Namun ada juga yang datang dan sebelumnya tidak pernah terhubung dengan Mbah Nun. Di simpul-simpul baru yang belum pernah dihadiri oleh Mbah Nun banyak yang datang karena nyaman dengan suasana, metode belajar, dan pola komunikasi yang dikembangkan.

Orang-orang Demak mengidentifikasi dan menamai acara Maiyahan dengan nama pengajian diskusi. “Ini acara apa toh Mas, kok dimulai dan ditutup dengan shalawat, di tengah-tengahnya ada yang baca puisi, di pembahasan seperti seminar?”

Untuk formula, menurut mereka ini baru tetapi nyaman karena semua orang berkesempatan untuk berbicara. Terjadi dialog antara orang-orang yang hadir di sana. Maiyah menurut saya adalah karakter masyarakat kita. Masyarakat kita pada mulanya adalah masyarakat yang terlibat. Antara tontonan dan yang ditonton tidak ada jarak, mereka saling mengisi satu sama lain. Pun saat belajar dan mengambil keputusan diambil dengan cara dialog, diskusi, mengalir didasari sikap tawadlu’.

Aku jelaskan kepadanya bahwa forum ini namanya Sinau Bareng. Jika pun ada orang yang berilmu datang ke acara itu bukan dalam rangka memberi ilmu. Ia hanya mengabarkan, karena ilmu hanya berasal dari Allah. Perbedaan profesi, usia, latar belakang justru membuat acara Sinau Bareng tambah sugreng, bisa saling memberi tahu satu dengan yang lain.

Kemudian dia bertanya tentang struktur, program kerja, target-target. Maka aku jawab sesuai pengalamanku Maiyahan sepengetahuanku di Demak, Semarang, Kudus, dan kota-kota yang pernah ku kunjungi. Setahuku tidak ada struktur. Di setiap simpul memang ada yang disebut sekjen, fungsinya mengoordinasi penggiat.

Koordinator di sini tidak berfungsi sebagai jabatan, peningkatan status sebagaimana pada organisasi yang lain, tetapi sebagai fungsi. Orang-orang yang membantu menyiapkan acara disebut pengiat, mereka melakukan sesuatu sesuai kemampuan dan keterampilannya masing-masing. Mereka melihat pekerjaan yang belum diisi maka akan dia isi. Ini sebagaimana sabatan mendirikan rumah di kampung-kampung.

“Terus apa bedanya dengan geng motor? Mereka juga berkumpul, mereka juga diikat oleh semboyan sedulur sak lawase?” Dia mengejar lagi dan aku menjelaskan semampu-mampuku. Ya mungkin tidak ada bedanya, mungkin juga ada bedanya. Aku tidak bisa membahas pas karena aku tidak pernah mengikuti geng motor.

Jika geng motor berkumpul atas dasar kesamaan hobi dan minat, maka kami dikumpulkan atas kesamaan keinginan untuk belajar, kecintaan kepada Allah dan Rasulullah, keinginan untuk mengambung paseduluran. Kami tidak bisa membanding-bandingkan dengan orang dan pihak lain. Kami fokus menggali diri kami sendiri, mengembangkan potensi dalam diri sendiri. Aku sendiri karena ‘ngaku-ngaku’ sebagai santrinya Cak Nun, itupun jika diakui.

“Berarti kamu dan teman-temanmu itu melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas, tidak ada program kerja.” Yang kami bahas macam-macam, yang kami lakukan juga macam-macam. Kami kadang membahas tentang lingkungan, kami kadang membahas tentang ilmu hidup. Hal yang merasa kami butuhkan untuk kami pelajari maka kami pelajari.

Kami bermodalkan tawadlu’, kami punya guru, dari sana ilmu hidup mengalir. Sementara ini-itu yang dapat dilakukan, melakukan hal-hal baik semaksimal mungkin, berhasil dan tidak berhasil adalah hak Allah. Kami diajari oleh guru kami untuk yakin seratus persen adanya Allah dan keterlibatan-Nya dalam setiap perjalanan.

“Tema-tema Maiyah itu aneh-aneh ya? Seperti seminar tapi tidak seminar. Seperti judul pementasan drama tapi ada tema ‘Demam #save’, ‘Seribu Prasangka’, itu apa maksudnya? Gambar posternya juga aneh-aneh”. Ini pertanyaannya yang terakhir.Aku jawab dengan sepemahamanku.

Kami diajarkan ilmu lentur, sepertinya pengangkatan tema itu karena sifat lentur tersebut, tema-tema itu di ambang antara ilmiah kampus dan obrolan di warung kopi. Lentur itu tidak lembek tetapi juga tidak kaku sehingga tidak mudah patah. Aku katakan kepadanya, bahwa jawabanku ini bisa saja berbeda jika yang menjawab anak Maiyah lain, dan saya kira itu tidak masalah bagiku juga baginya. Cinta kadang tidak membutuhkan alasan yang pas dan sama.

Dia pamit, aku antar sampai ke pintu, “Berarti obrolan kita tadi bisa disebut Maiyahan ya?”

“Oh tentu, kamu telah tersesat di Maiyah tadi”, jawabku dan dia melaju motornya pulang ke anak istrinya.

Muhajir Arrosyid
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang.
Bagikan:

Lainnya