Maiyah dan Simpul-simpul yang Terbuka
Apa yang menyatukan Jamaah Maiyah hingga terus bertahan sampai hari ini, bahkan sampai bermunculan generasi baru?.
Tulisan ini hendak mengurai salah satunya: simpul-simpul yang terbuka. Di forum ini, orang datang dengan banyak pertanyaan atas segala persoalan hidup, kegelisahan batin, keruwetan pikiran, serba tanda tanya atas isu-isu besar nasional, dll. Setelah pulang, mereka menjumpai simpul-simpul dari segala persoalan terbuka. Mungkin belum menjawab semua kegelisahan dan persoalan, tapi telah ada petunjuk ke arah titik cerah dan harapan terhadap penyelesaian masalah.
Saya termasuk orang yang setiap kali datang ke forum-forum Maiyah (Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, dan Kenduri Cinta) membawa sejumlah tanda tanya. Dan entah mengapa, setiap kali pulang, tanpa saya memerlukan bertanya pada guru utama di forum ini, alias Mbah Nun, saya merasa mendapatkan titik terang.
Suatu saat di balai rumah Bu Halimah (almarhumah) usai pengajian Padhangmbulan tahun 90-an. Dalam sesi kecil itu, seorang pemuda curhat pada Mbah Nun tentang dirinya yang minder karena “cuma” bekerja sebagai pedagang ikan bandeng.
Mbah Nun menjawab yang redaksinya kira-kira begini: “Betapa mulianya pedagang ikan bandeng. Habibie yang hebat itu saja tidak mampu menciptakan ikan bandeng. Juga siapa di dunia yang mampu menciptakan ikan bandeng. Allah-lah yang menciptakan, dan sampeyan yang menjualnya. Begitu dekatnya hubungan sampeyan dengan Allah.”
Entah bulan April atau Mei 1999. Saat itu gesekan sosial di akar rumput begitu tajam menjelang pilpres. Capres yang potensial saat itu Megawati, Wiranto/Akbar Tanjung, Amien Rais. Kalangan Hijau saat itu keberatan kalau Megawati menjadi presiden (meskipun PDIP menang pileg). Sebaliknya kalangan merah tidak mungkin menerima Amien Rais yang hijau, apalagi jika Mega gagal jadi presiden. Sementara, Wiranto/Akbar Tanjung juga tidak mungkin karena lekat dengan Orde Baru. Apa kata Mbah Nun di hadapan ribuan jamaah?
“Saat ini, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah Gus Dur yang harus jadi sopir… masalahnya, Gus Dur belum tentu bisa nyupir.”
Jawaban ini rupanya cukup menenteramkan kegelisahan jamaah Padhangmbulan di tengah situasi politik yang cukup panas saat itu.
Dan seperti kita tahu kemudian, Gus Dur didapuk menjadi RI 1. Ketika “kendaraan RI” sedikit oleng, Megawati mengambil alih kemudi yang diidamkan sejak beberapa tahun sebelumnya.
Kasihan Bantul. Di dalam rumah Mas Imam Syuhada dan Mbak Inayah usai Mocopat Syafaat, Mbah Nun masih melayani diskusi dengan jamaah terbatas. Seorang kawan mengajukan pertanyaan. Sekadar info, kawan saya ini sangat penasaran dengan pertalian “tasawuf” antara Mbah Nun-Muhammad Zuhri (Pati)-Damardjati Supadjar (Profesor Filsafat UGM).
Ia bertanya pada Mbah Nun bagaimana proses atau mengilmui jalan tasawuf? Mbah Nun cuma menjawab singkat: Ilmu kuwi lakune kanti laku.
Saya terhenyak, dan kawan saya merasa jawaban itu sudah lebih dari cukup.
Cerita-cerita di atas hanyalah beberapa dari ribuan cerita yang dapat dijumpai di banyak forum Maiyah.
Semua itu kiranya cukup menunjukkan, betapa orang macam saya dan puluhan atau bahkan ratusan ribu jamaah sangat membutuhkan forum yang mencerahkan semacam ini.
Bagaimana simpul-simpul ini dapat terurai, sebenarnya terletak pada satu kunci: cara berpikir Mbah Nun yang unik.
Dulu, tahun 80-an, saya menemukan tulisan “Slilit Sang Kiai” dari guntingan majalah Tempo dalam kliping kakak saya yang masih SMA. Bagi saya yang masih kecil, tulisan berawal kisah ini sangat menarik, walaupun saya saat itu tidak paham konteks kisah Pak Kiai tentang penebangan liar dan masalah ekologi global. Maklum masih kecil.
Tulisan itu membuat saya penasaran dengan penulisnya.
Rasa penasaran ini sedikit terjawab dengan buku Dari Pojok Sejarah. Di buku ini, dengan gaya tutur kontemplatif-nya sebenarnya saya tidak mengerti-mengerti amat maksud Mbah Nun tentang apa yang disampaikan pada Cak Dil (Adil Amrullah), adiknya. Namun saya menyukai gaya bahasanya.
Adalah Secangkir Kopi Jon Pakir yang mengantar saya mulai mengenali gaya dan cara berpikir Mbah Nun. Kumpulan tulisan dari koran Masa Kini itu berisi topik-topik ringan kehidupan sehari-hari. Di buku inilah saya menemukan “cara berpikir Mbah Nun”. Buku ini seperti membuka mata saya dalam memandang peristiwa sehari-hari.
Belakangan, saya merasakan, apa yang saya alami ini mungkin mirip-mirip dengan yang dialami oleh kawan-kawan Maiyah yang lain. Mbah Nun, seperti dapat diikuti dalam acara-acara Maiyah, selalu saja menawarkan yang berbeda, tapi melegakan akal pikiran. Sangat tidak mengherankan kalau jamaah sangat betah walaupun harus duduk melekan sampai menjelang subuh.
Birmingham, 17 Januari 2018