CakNun.com

Maiyah, Berdaulat Menyala

Zaky Ardhiana Devie
Waktu baca ± 2 menit

Jika seorang pria melamar seorang wanita untuk dijadikan istrinya, maka yang lazim dilakukan adalah melingkarkan cincin janji sehidup semati di jari manis sang calon istri. Sebuah simbolik pengikat cinta. Bahkan hingga ratusan juta rupiah terkadang dikeluarkan untuk membeli sebuah cincin berlian, sekadar untuk mengungkapkan betapa besar rasa cinta dan ingin sang pria bersanding abadi dengan sang pujaan hatinya. Menyematkan cincin janji setia selama lamanya. Sebuah pengukuhan kesungguhan bahwa kebersamaan ini tak main-main.

Simbah telah ‘menikahi’ seluruh lapisan bentuk di seluruh negeri ini untuk beliau perciki dan saling memperciki nilai-nilai untuk menjadi manusia yang utuh dan sejati. Bersama cincin leluhur.

Dalam daur yang berjudul ‘Melingkarkan Cincin’ di sini, betapa semua bentuk manusia telah Simbah terima dengan bulat-bulat, apa adanya tanpa tapi. Dan begitu juga anak-anak Maiyah, telah melatih diri untuk berupaya semampunya untuk mau menerima lingkup apapun untuk bersama-sama belajar menjadi manusia yang sesungguhnya. Bertoleransi dengan segenap perasaan dan tenaga atas perbedaan yang ada. Walau kadang tak sesukses dan sejembar Simbah dalam menerima dan mengelola dada dalam perbedaan, namun sejauh ini anak-anak Maiyah terus berusaha belajar dan menggembleng diri.

Terdapat dua ayat dari Al-Baqarah di daur ini. Surat ke-16 dan ke-11. Dalam surat tersebut mengabarkan bagaimana para pewaris ilmu, yaitu kita (pada umumnya), yang keliru dalam menyikapi warisan-warisan ilmu dari leluhur. Salah arah dalam memaknai dan menindaklanjuti. Seperti tersirat dalam Al-Baqarah ayat ke-16. Seharusnya kitab kearifan bekal menuju Allah-lah yang kita cari, namun terbalik, justru “pisang” materi dan dunia yang dikejar. Dan meletakkan Allah beserta kitab kearifan jauh di bawah gundukan dunia dan materinya. Tertindih di bawah dan terlupa seiring dunia semakin menumpuk. Sehingga hanya kerugian dan tersesat-sesat yang didapat.

Pada surat Al-Baqarah ke-11, manusia zaman now dengan bangga mengklaim diri sebagai manusia milenial sang pembaharu, pembangun kemajuan, mengkreasi perilaku dan atribut kuno kepada modern lifestyles yang tak tertanggungkan ampuh desain teknologinya, sehingga menjadi kerumunan metropolis yang mewah, kece dan diinginkan hampir oleh seluruh anak manusia. Dunia materi yang gemilang dan bling-bling.

Namun, pada kacamata ruhaniah, di surat Al-Baqarah ayat 11, tak menyadari mereka sebenarnya melakukan kerusakan multidimensi. Perbaikan yang mereka bangun sesungguhnya adalah perusakan secara eksternal dan internal. Ruhaniah mereka tergantikan sepenuhnya oleh medan bling-bling dunia dan gemuruh hiruk-pikuknya. Jerit keras nurani tak mampu terdengar. Dari luar mereka tampak menawan namun remuk di dalam.

“Seger secara alamiah tak sengaja terseret untuk memakai kode Maiyah, untuk memudahkan persambungan silaturahmi mereka”.

Dan adalah Maiyah dan lingkar-lingkarnya. Berdaulat untuk menyala. Mengukuhkan diri bersama untuk menikah dengan segenab cinta kepada kebaikan dan nilai sejati di tengah gemuruh sekitarnya yang berfoya. Berani memilih Allah dan kitab kearifan di tengah gelombang manusia bergelimang dunia.

Mencincini satu sama lain bersama Simbah. Melingkar satu sama lain bersama Maiyah. Dari Simbah kepada anak cucu dan jamaah. Begitu juga sebaliknya dari anak cucu dan jamaah kepada Simbah dan sekitarnya. Cincin warisan dari leluhur di jari Simbah, kini telah disematkan ke jari negeri ini agar bersatu dalam harmoni. Menyatukan dan membangun kemurnian nilai-nilai kemanusiaan. Semoga mengabadi selama-lamanya. Maiyah! Has been Launched! Cincin disematkan. Doa-doa terpanjat.

Wallahua’lam bish-showwab.

Zaky Ardhiana Devie
Guru BK di sebuah SMP di Ponorogo. Menggiat, menulis dan berkomik pada di Buletin Mocopat Syafaat Yogya dan Buletin Maiyah Jatim. Bermaiyah dalam Waro’ Kaprawiran dengan suami bersama Gamelan Kiai Iket Udheng, Mahibba dan Malik (MaiyahCilik) di Ponorogo.
Bagikan:

Lainnya