Macan Tak Boleh Pakai Peci
Peristiwa Reformasi 1998 menjadi salah satu catatan sejarah Indonesia. Tepatnya di bulan Mei, Indonesia mengalami sebuah pergolakan besar. Lengsernya Soeharto menjadi puncak dari rentetan peristiwa yang bergulir saat itu. Seorang Raja yang berkuasa lebih dari 3 dekade, pada akhirnya lengser keprabon. Namun, tidak mudah tentunya untuk meminta Soeharto meletakkan kekuasaan saat itu. Ia adalah Raja Jawa yang sangat kuat, memiliki bekal Ilmu Katuranggan dan Pranata Wangsa yang kuat. Suatu kali ia pernah berucap, bahwa memimpin Indonesia ini bukanlah perkara yang mudah.
Kerusuhan demi kerusuhan, ditambah dengan demonstrasi Mahasiswa terus terjadi, hampir setiap hari. Penjarahan, pemerkosaan, pembakaran dan perusakan fasilitas umum tak terhindarkan. Sementara di dalam Pemerintahan, Soeharto kehilangan dukungan baik dari para Menteri maupun dari DPR dan MPR saat itu. Situasi semakin pelik, keputusan harus segera diambil. Hanya ada satu pilihan bagi Soeharto; mundur.
Sebenarnya, Soeharto faham bahwa ia sudah tidak diterima lagi oleh rakyat untuk menjadi Presiden. Harmoko saat itu berhasil meyakinkan agar ia bersedia kembali dicalonkan menjadi Presiden Republik Indonesia pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1998. Singkat cerita, Soeharto dilantik pada 11 Maret 1998.
11 Mei 1998, dalam forum PadhangmBulan, Cak Nun mengajak jamaah untuk melantunkan wirid dan dzikir bersama, kemudian dipuncaki dengan Hizib Nashr yang dipimpin oleh Ibunda Chalimah. Malam itu Cak Nun menyampaikan; “Bangsa Indonesia sudah tidak punya waktu lagi sekarang. Bapak Presiden Republik Indonesia hanya mendapatkan kesempatan satu kali lagi untuk mendapatkan indzar dari Allah dan peringatan dari rakyatnya. Hanya satu kali lagi peringatan itu ada. Kalau peringatan ini masih tetap membikin beliau summun bukmun ‘umyun fahum la yarji’uun, kita semua harus siap hari-hari yang akan datang lebih parah dari hari-hari sebelumnya”. Malam itu, Cak Nun mengajak jamaah PadhangmBulan untuk menentramkan hati, menahan gejolak nafsu. Menyadari bersama-sama sebagai kaum mustadh’afin , saling berendah hati agar meminimalisir kesalahpahaman dan tidak menyalahkan satu sama lain.
PadhangmBulan, sebuah forum yang lahir di awal 90-an, sebagai embrio Maiyah Nusantara, forum yang sangat fenomenal pada dekade 90-an, di sebuah desa yang jauh dari kota Jombang. Berawal dari inisiatif Cak Dil (adik Cak Nun), karena saat itu Cak Nun begitu padat jadwalnya, Cak Dil berinisiatif mengadakan sebuah forum pengajian keluarga agar Cak Nun dapat pulang ke Menturo, setidaknya satu kali dalam sebulan. Forum PadhangmBulan pun awalnya hanya didatangi orang-orang sekitar, budaya getok tular akhirnya membuat forum ini dikenal oleh banyak orang, yang datang kemudian bukan hanya yang tinggal di Menturo dan sekitarnya, tidak sedikit pula yang datang dari luar Jawa Timur.
PadhangmBulan pun sama sekali tidak dianggap dalam peta Nasional Indonesia, sama seperti Maiyah hari ini. Apa yang diteriakkan oleh para aktivis juga demonstran di jalanan saat itu, sudah diomongkan di PadhangmBulan. Kritik dan kecaman terhadap Soeharto pun sering disampaikan oleh Cak Nun di PadhangmBulan. “Kalau kalian tidak dianggap oleh negeri Indonesia, maka negeri kalian adalah PadhangmBulan. Kalau engkau tidak bisa menerapkan Islam di Indonesia, maka paling tidak aqimu daulatal islaama fii quluubikum”, Cak Nun membesarkan hati jamaah.
Kita tentu pernah mendengar bagaimana Ibu Chalimah pernah suatu kali mengumpulkan para intel yang dikirim oleh komandan mereka untuk mengawasi PadhangmBulan, yang pada akhirnya mereka diyakinkan oleh Ibu Chalimah bahwa yang dilakukan oleh Cak Nun bukanlah sesuatu yang subversif, kemudian justru para intel itu ikut ngaji di PadhangmBulan.
Malam itu Cak Nun menyampaikan pesan dari beberapa Kyai dan Ulama yang mendapat isyarah tentang apa yang terjadi di Indonesia dalam beberapa hari berikutnya, akan terjadi sebuah peristiwa yang sangat menentukan masa depan Bangsa Indonesia. “Kyai-kyai yang masih murni, maksum, yang masih dilindungi oleh Allah—terutama di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah bagian utara, Jawa Barat bagian selatan—mendapatkan isyarat, isyarah , yang semuanya gelap, menyedihkan, yang semuanya mengandung darah. Marilah kita pada malam hari ini benar-benar ber-istighasah pada Allah supaya kita di dalam lindungan Allah. Supaya kita bisa melacak satu-persatu apa yang kita hadapi. Wal-tandhur nafsun mâ- qaddamat lighad ” ungkap Cak Nun.
Melalui PadhangmBulan, Cak Nun mengajak seluruh jamaah yang hadir untuk bermunajat kepada Allah, memohon petunjuk dan hidayah, agar bangsa Indonesia melalui hari-hari di bulan Mei 1998 itu dengan ongkos pengorbanan seminimal mungkin, agar tidak terlalu banyak korban berjatuhan. Singkatnya, di hari-hari kemudian meletuslah kerusuhan demi kerusuhan di beberapa kota besar, seperti Medan, Jakarta dan Solo. Di tanggal 12 Mei 1998, Empat mahasiswa Trisakti tertembak pada saat melakukan demonstrasi di dalam kampus, Cak Nun juga turut menemani keluarga Mahasiswa korban penembakan itu, ikut tahlilan dan mendoakan. Cak Nun yang saat itu tinggal di Kelapa Gading, warga etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah Kelapa Gading pun juga diayomi oleh Cak Nun, dan dilindungi.
Sepulang dari Mesir pada 15 Mei 1998, Soeharto masih bergeming dan tidak mau memenuhi tuntutan demonstran agar dirinya mundur. Soeharto masih berhitung, bahwa kekuatan mahasiswa saat itu masih sangat mungkin ia tangani. Ia masih berkuasa penuh terhadap militer juga secara politik, ia masih sangat berkuasa. Sebagai seorang Raja yang berkuasa selama 32 tahun, tentu lebih berpengalaman daripada para mahasiswa yang menuntutnya mundur. Kemarahan rakyat yang trungkap dalam kerusuhan dan penjarahan, yang pada akhirnya membuat nyali Soeharto mulai ciut.
Jika kita melihat ke belakang, ada kecenderungan berpihaknya Soeharto kepada Islam. Cak Nun menggambarkan bahwa memasuki tahun 1990, Soeharto bertransformasi dari Islam-Jawa menjadi Jawa-Islam. Tentu saja ini sebuah metafor dari Cak Nun, ada nuansa yang berbeda antara Islam-Jawa dan Jawa-Islam. Ketika Soeharto masih bersikap Islam-Jawa, itu sama sekali tidak menakutkan bagi Amerika. Negara adikuasa itu menjadi sangat khawatir ketika Soeharto memutuskan membangun konfigurasi politik yang baru dengan merangkul Islam di Indonesia. Soeharto menjadi Jawa-Islam.
Salah satu bukti nyata Soeharto mulai merangkul Islam adalah dengan melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di awal 90-an, Cak Nun saat itu juga sempat menjadi salah satu Pengurus ICMI, dan kemudian memutuskan untuk mundur dari ICMI. Kemunculan ICMI ini bersamaan dengan peristiwa Kedungombo. Cak Nun memiliki sebuah harapan terhadap ICMI agar mampu mengakomodir terwujudnya keadilan bagi rakyat kecil di Kedungombo, dan ketika harapan itu tidak terwujud, Cak Nun memutuskan untuk mundur dari kepengurusan.
Salah satu pencapaian Soeharto di tahun 80-an adalah keberhasilannya mengantarkan Indonesia menjadi Negara swasembada beras. Prestasi ini sangat diapresiasi oleh publik internasional. Perlahan namun pasti, Soeharto membangun Indonesia menjadi Macan Asia. Dan sebenarnya, itu sama sekali tidak mengkhawatirkan bagi Amerika. Hal yang sangat dikhawatirkan oleh Amerika adalah apabila Soeharto merangkul Islam di Indonesia. Dan ketika kecenderungan terhadap Islam mulai terlihat, Amerika pun tidak tinggal diam.
Tak heran jika kemudian ada indikasi bahwa krisis moneter yang dialami oleh Indonesia adalah skenario besar Amerika dalam rangka menjatuhkan Soeharto. Mudahnya, silakan berkuasa di Asia, tetapi jangan bagi-bagi kekuasaan dengan Islam apalagi menjadi Negara Islam. Soeharto silakan menjadi macan, asalkan tidak berpeci dan tidak bersarung.
Cak Nun pernah menyatakan: “Masa reformasi merupakan laboratorium sejarah untuk menyaksikan dengan gamblang mana yang egois, mana yang mau menang sendiri, mana yang mau nampang terus, mana yang naif dan gampang terseret, mana yang taktis-politis, mana yang licik, mana yang idealis, mana yang melirik-lirik kesempatan.”
Dua puluh tahun sudah Reformasi 1998 berlalu, lengsernya Soeharto digadang-gadang sebagai pintu pembuka perubahan besar di Indonesia, namun pada kenyataannya keadaan bangsa Indonesia secara substansial belum berubah signifikan. Karena ternyata, Reformasi yang dimaksudkan adalah proses pergantian kekuasaan, dulu yang berkuasa hanya Soeharto, sekarang siapa yang berkuasa bisa dari pihak lain. Sebuah diksi sindiran pernah populer; Piye kabare, le… Penak zamanku tho? Dengan mudah kemudian dapat dijawab: Yo jelas penak, Mbah… Lha dulu sampeyan jadi Soeharto sendirian, sekarang ini “Soeharto”-nya banyak!