Lincahlah Dengan Humor, Begitu Itu Asyik
Tanggal 11 Agustus 2018 Masehi, Mbah Nun sedang berada di Semarang untuk menghadiri acara milad Gus Mus. Sementara itu, juga tengah berlangsung pertadingan sepak bola antara timnas U-16 Indonesia dengan Thailand di… lapangan bola(!), karena secara teknis tidak mungkin tanding sepak bola diadakan di meja biliar. Sedang di Kedatuan Kadipiro, diskusi Sewelasan yang biasanya diadakan kira-kira pukul 20.00 WIB sedikit diundurkan untuk memberi kesempatan bagi para peserta diskusi menyelesaikan menonton pertandingan tersebut.
Tentu dunia berjalan normal, dan tidak berkutat pada tiga kejadian ini saja. Tentu tetap ada orang yang sedang bersuka dan berduka cita atas hal-hal selain ini. Seperti juga saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dulu, mungkin pada saat yang bersamaan ada ibu-ibu sedang melahirkan atau mungkin ada jomblo yang sedang ditolak cintanya, mungkin banyak lagi kejadian lainnya. Hanya saja kan yang dikenang sejarah akademis itu yang tercatat-tercatat saja.
Apa yang akan terkenang sejarah serta bagaimana dia dikenang, selalu juga bergantung dari bagaimana dia meninggalkan jejak. Bisa saja kejadian kecil dikenang megah, atau sebaliknya, yang gegap gempita malah hilang dalam arus sejarah. Negeri tetangga kita dan para species politik serta para pendukungnya sepertinya akan begitu nasibnya dalam sejarah. Sekarang seolah hingar-bingar tapi pada masanya nanti akan hanya sayup-sayup terdengar tak terkenang. Saya dengan istri baru saja dari kondangan.
Kalau dalam berita internasional, 11 Agustus ini juga ada kejadian yang makin meruncingkan hubungan politik US-nya Trump dengan Turki-nya Edrogan. Brexit nampaknya berjalan tetap alot menuju perceraian resminya Inggris dengan UE tidak sampai sembilan bulan ke depan. Dan banyak lagi.
Penetapan capres dan cawapres di negeri tetangga bernama NKRI tampaknya tidak begitu menuai perhatian di negeri Maiyah ini. Bagi kita cukuplah menonton pertandingan timnas kebanggaan negeri sebagai bentuk shodaqoh. Negeri itu senang kita ikut bahagia, negeri itu sedih kita tak perlu susah. Merdeka kita mah. Segala informasi persepakbolaan lebih banyak saya ketahui dari istri saya, dia lebih bisa mengikuti sepakbola dibanding saya.
Ketika akhirnya timnas Indonesia menang dengan tanding penalti, saya sempat nanya ke istri kalau ujung-ujungnya tanding penalti, kenapa orang main sepak bola tidak sejak awal tanding penalti saja? Atau pingsut di tengah lapangan? Saya menuai muka jutek dari istri. Sebenarnya saya mau nanya, kenapa kok ndak ada pertandingan Piala Dunia Pingsut Internasional? Atau, sekalian hompimpah menentukan pasangan capres-cawapres? Tapi ndak jadi. Padahal seru lho, toh sama ndak jelasnya juga dengan yang sekarang berlangsung.
Maaf kalau paragraf-paragraf pembuka di atas lebih banyak bercandanya. Padahal semestinya saya bikin reportase. Tapi ini tolong dipahami, diskusi Sewelasan kali ini yang dengan istiqomah digawangi oleh Perpus EAN memang sedang mengangkat tema yang penuh canda-canda menggelitik. Buku berjudul “Urusan Laut Jangan Dibawa ke Darat” yang diterbitkan oleh penerbit NARASI dibedah sekaligus menjadi peresmian launching buku tersebut.
Isinya memang adalah kumpulan cerita-cerita jenaka yang sering diutarakan oleh Mbah Nun di majelis-majelis Maiyah. Karena itu, walau tidak benar-benar menuliskan buku ini, namun nama “Emha Ainun Najib” tercantum sebagai yang menghasilkan karya ini. Dengan rendah hati penerbit NARASI menyebut diri sebagai tim penyusun. Jadi tolong, bedakan ini dengan teknik pseudonimous yang biasa dipakai pada karya-karya sastra apokaliptik sejak era keterjajahan Judea (Jerussalem dan sekitarnya) oleh rezim Antiachus Epiphanes sekitar seabad sebelum kelahiran Yesus atau Isa as.