Lincahlah Dengan Humor, Begitu Itu Asyik
Pola khotbah dan ceramah searah populer selama beberapa abad di masyarakat kita. Mungkin salah satunya karena dia cukup aman bagi para pembicara untuk tidak terlalu memutar otak menanggapi serbuan bola-bola liar dari berbagai penjuru. Pun wibawa terjaga supaya tetap dianggap bijak-bestari bahkan waliyullah. Harap jamaah duduk diam meneng mendengarkan seperti penikmat teater era Yunani. Nanti juga dapat barokah. Kalau ada pertanyaan ya jangan jauh-jauh dari tema utama. Mosok kok waliyullah ditanya soal Brexit atau Nuttela Tax? Atau praktitk developmentalism dan peta pendanaan para donor funding? Sayangnya dalam kitab-kitab klasik para agamawan belum ada persoalan macam itu. Wah, bisa jatuh wibawa dihadapan jamaah.
Namun di Sinau Bareng, kemampuan mengolah berbagai arah itu selalu dicontohkan oleh Mbah Nun. Kita mesti bisa belajar dari sini. Keberanian menerima yang tidak terduga-duga. Bukan berarti Mbah Nun juga pasti tahu segala hal. Tapi Sinau Bareng memang metodologi agar belajar itu saling. Siapa yang belajar? Ya semua yang terlibat. Sehingga keilmuan tidak sekadar direproduksi tapi juga dikontinuasi. Supaya peradaban kita tidak mandek wal macet.
Pak Nevi juga sempat membawakan beberapa cerita yang ada di buku ini dengan monolog. Dalam dunia teater memang beliau ini legenda. Dan malam itu para peserta diskusi Sewelasan berkesempatan menyaksikan dari kekhusyukan yang jenaka permainan panggung beliau. Namun kisah-kisah yang belum ada di buku pun juga dibawakan oleh Pak Nevi. Karena memang banyak sekali ayat-ayat yang tersurat. Namun juga sangat banyak ayat-ayat yang tersirat atau bisa dialektis. Ya tersurat ternyata tersirat pada masa lain dan ayat yang sekarang tersirat pada masa depan didapati justru tersurat.
Humor membantu kita dinamis dalam menghadapi kekakuan-kekakuan pada era statisnya manusia karena terlalu lama hidup di atmosfer nation-state. Tokoh (dan) sejarah dikenang seperti patung statue yang beku membatu dan data-data statistik tidak dibaca dengan keragaman sudut pandang. Data bukan hanya angka. Ayat-ayat dan hadits-hadits pun sesungguhnya adalah data yang semestinya kita punya kelincahan membacanya.
Data adalah jembatan menuju fakta, seperti hadits adalah jembatan menuju sunnah. Maka itu istilahnya ahlussunnah wal jamaah. Bukan ahlul quotisme hadits dan ahli pendapat ulama-ulama agamawan. Yang luaslah kalau memang bermanhaj. Liar sedikit. Salah-benar toh tanggung sendiri-sendiri. Kualitas pemaknaan ditingkatkan dengan semangat terus belajar.
Bukankah mengherankan pada samudera data seluas yang disediakan Qur`an dan Hadits, kita hanya bisa menghasilkan empat mazhab fiqih? Padahal, data statistik memang statis tugasnya. Manusia (siapapun) berhak membacanya dan membentuk narasi dari data-data itu. Sesiapa saja berhak mentadabburi.
Penerbit NARASI malam itu adalah pembacaan narasi tentang data-data humor Mbah Nun dan Maiyah. Kita bisa ber-narasi pula. Lincahlah dengan humor, begitu itu asyik.