CakNun.com

Lebih Mudah Jelata Jadi Pejabat Daripada Pejabat Jadi Rakyat

Reportase Sinau Bareng di Desa Rendeng, Kudus, 5 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Kita mungkin terlalu mudah menyepelekan posisi-posisi tertentu dalam masyarakat, trelampau gampang melontarkan nada tajam pada berbagai golongan karena kita tidak begitu paham bagaimana rasanya berada pada posisi tersebut. Ketika Mas jelata dijadikan bupati dadakan malam itu, nampaknya secara naluriah bahasa yang keluar tak jauh beda dengan pejabat-pejabat bermental NKRI pada umumya. Sering kalimat yang keluar “Akan kami tampung” atau bahwa “Percayalah rakyat-rakyatku (duilah Masnya menghayati peran banget) bahwa kami selaku kepala pemerintahan telah bekerja sebaik-baiknya. Kita harus saling percaya”.

Kadang dengan posisi semacam itu apalagi dalam atmosfer yang kekurangan sosok pemimpin seperti sekarang, ketika kita berada pada posisi yang sering kita lempari kritik, kita bisa menjadi tak jauh beda. Keluhan rakyat dianggap serangan pada posisinya sehingga yang muncul adalah berbagai defense, mekanisme dinding-dinding pertahanan psikologis. Seperti juga yang terjadi di politik Dajjalkarta.

Ketika ada keluhan dari guru honorer, Mbah Nun memberi masukan. Bahwa bukankah sekarang beliau ini sedang pada posisi yang menguntungkan sehingga bisa mewakili bupati untuk bertekad sebaik mungkin agar persoalan selesai? Nah ini yang kita kurang contoh di dalam politik nasional, bahwa yang penting itu bukan pertama adalah mempertahankan diri dari kritik, tapi bagaimana agar yang sedang pada posisi terlemahkan mendapatkan hak-haknya dan terpenuhi kewajibannya.

Tapi usaha Mas jelata yang membupati tadi memang berhasil dalam menghibur “rakyat-rakyat” dadakannya. Hampir lebih dari setengah jam Mas jelata ini digembeleng untuk menjadi bupati dadakan. Lama-lama kelihatannya mulai jadi pantas juga. Sesekali memang sikap tubuhnya dikomoentari oleh Mbah Nun, “Yang tegas dikitlah, masa bupati klemer gitu?” Malu-malu diperbaikinya sedikit demi sedikit. Dan seperti saya bilang tadi kemudian jadi pantas juga Mas jelata ini, jadi mahir pula beretorika seperti pejabat-pejabat kita pada umumnya. Kelebihannya memang pejabat dadakan kita ini bisa mengundang tawa dan keceriaan bagi rakyatnya.

Rupanya, untuk rakyat menjelma dan berempati sebagai pejabat hanya butuh waktu sekitar setengah jam latihan. Nah untuk pejabat berempati dan memposisikan diri sebagai rakyat itu belum kita bisa ketahui bagaimanaya karena Pak Bupati asli sudah pulang duluan dan melewatkan kesempatan emas untuk menjelata.

Mbah Nun memberi penjelasan bahwa ini semua agar kita berlatih saling empati, saling memahami bagaimana rasanya menjadi sesuatu yang lain, yang bukan kita sehingga kita bisa presisi dalam menilai posisi golongan tertentu. Ini bukan sekadar aksi “pura-pura menjadi”, tapi benar-benar masuk dalam kerangka dan pola pikir teater. Itu disebut pendalaman karakter.

Kalau sekadar “pura-pura menjadi” itu mudah. Kalau sekadar pejabat di-shooting sedang makan di warung sederhana, difoto sedang membersihkan, tahu berada di tengah kerumunan warga dan berbagai jenis akal bulus pembangunan citra, apa sulitnya? Tapi benar-benar paham bagaimana sensasi ketika ada di posisi itu, berempati benar-benar secara mendalam. Malam ini, dalam workshop singkat Sinau Bareng kita tahu bahwa, lebih mudah jelata menjadi pejabat daripada pejabat menjadi rakyat.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta