CakNun.com

Lawang Katelu

Mukadimah Suluk Pesisiran Oktober 2018
Suluk Pesisiran
Waktu baca ± 3 menit

Barangkali, ketika kita bertamu di rumah seorang teman, kita cenderung lebih memperhatikan ruangan, terutama ruang tamu. Pandangan mata kita akan tertuju pada tata ruang dan ornamen-ornamen pada ruangan itu. Tetapi, pernahkah kita pikirkan, bahwa di balik semua yang terhampar di dalam ruang itu ada hal yang tak kalah penting? Yaitu pintu.

Ya, pintu! Tanpa pintu, bagaimana kita akan masuk-keluar ruangan itu? Tanpa pintu, bagaimana pula caranya kita bisa menyaksikan dan mengerti apa-apa yang ada di dalam ruangan itu?

Pintu adalah tempat lalu-lalang. Semacam lalu lintas yang tersistem. Selain perlintasan antar ruang, peran pintu juga berimbas pada hal-hal lain. Melalui pintu, kita bisa mengetahui situasi-situasi tertentu. Sebab, lewat cara mengetuk daun pintu yang tertutup, sang tuan rumah bisa mengetahui apa yang sedang berkecamuk di dalam benak tamu yang datang. Ia bisa menjadi pengirim sinyal kepada tuan rumah mengenai tingkat urgensi tamu yang datang. Ia juga bisa menjadi pengirim sinyal tentang keadaan psikologis tamu yang datang. Ia juga bisa mengirim sinyal tentang perilaku sang tamu yang datang. Apakah sang tamu patut disebut orang terhormat atau bukan. Ya, demikian kompleksnya. Bahkan ia juga bisa menjadi penanda bagi tuan rumah tentang pelanggaran hukum.

Seorang maling, biasanya akan mencari celah lain agar dapat memasuki rumah yang disasarnya. Seorang pembobol, akan mencongkel atau merusak pintu saat memasuki rumah sasaran. Seorang pemerkosa, akan mengunci pintu saat melakukan perbuatan amoral itu. Dan sepasang kekasih yang sedang berbuat mesum di dalam rumah, akan menutup rapat-rapat pintu itu agar tak tercium kemesuman mereka.

Jika demikian, ia tak sekadar celah antar ruang. Tetapi, ia juga menjadi bagian dari cara manusia memahami dan menghayati kehidupan yang kompleks. Oleh sebab itu, tak berlebihan jika pintu pun kerap dihadirkan secara metaforis sebagai pemaafan. Kadang hadir pula sebagai pensucian seorang pendosa agar kelak diperkenankan masuk ke surga, rumah asal manusia.

Tetapi, pintu pula yang kemudian hadir sebagai metafora kepergian dan kepulangan. Soal pergi, ada tiga macam jenisnya. Pergi karena diusir, pergi dengan cara baik-baik, dan pergi diam-diam alias minggat. Jelas, dua di antara ketiga cara pergi itu tak bisa dikatakan cara yang baik. Pergi karena diusir, tentu ada sebab yang berupa pelanggaran. Pergi diam-diam, itu menunjukkan kepengecutan.

Sementara, berkait dengan soal kepulangan, pintu juga menjadi saksi atas penerimaan. Ada yang diterima dengan amat terbuka, karena memang dirindukan. Ada yang terpaksa diterima karena rasa kasihan. Ada pula yang tertolak karena belum bisa diterima kehadirannya.

Jadi, pintu atau lawang bisa diartikan sebagai periodisasi antarwaktu. Dan kini, Maiyah Suluk Pesisiran telah memasuki masa ketiga alias katelu. Katelu dalam pranatamangsa disebut memiliki watak kasih sayang, bertindak adil, pendamai, disiplin, dan jujur. Karena kasih sayangnya, ia lantas menjadi pribadi yang terbuka, berkenan untuk merangkul siapa saja, serta sangat berempati kepada siapapun. Karena sikap adilnya, ia senantiasa berusaha melihat persoalan secara proporsional. Ia sangat menjunjung tinggi tata krama, bersikap hati-hati, dan tak jarang ia memilih menyembunyikan dirinya dari keramaian. Karena jujurnya, ia selalu berusaha memegang teguh pada pendirian, memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya, dan mampu menempatkan diri secara tepat. Karena disiplinnya, ia ulet dan tekun. Pantang menyerah. Dan karena sikapnya yang suka berdamai, ia tergolong pribadi yang tak mau mencari-cari masalah. Bukan menghindari masalah, melainkan selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang indah.

Sementara, dalam hitungan sengkalan Jawa, angka tiga berwatak sebagai bahmi (api), cahya (cahaya), kawruh (pengetahuan), wignya (pandai), dan sebagainya. Tak heran jika watak dari angka tiga ini mewakili sinar terang yang menyala dan memberi pengetahuan. Berpegang teguh pada pendirian. Segala perilakunya sangat hati-hati. Ia juga pribadi yang pandai.

Jika pintu alias lawang adalah penerimaan, maka dengan angka tiga itu pintu tak sekadar menerima melainkan memberi ruang. Sehingga, diharapkan ia akan menjadi pembawa cahaya terang bagi setiap yang ada di sekitarnya. Demikian, harapan bersama terhadap Maiyah Suluk Pesisiran yang telah diperjalankan hingga memasuki Lawang Katelu ini.

Lainnya

Rembug Langkah Maiyah Organisme

Orang berilmu belum tentu faham tentang ilmunya. Orang faham belum tentu Arif dengan pemahamannya. Orang Arif belum tentu berjiwa Mengasuh. Mengasuh belum tentu santun.

Majelis Gugur Gunung
Gugur Gunung
Exit mobile version