Latihan Gondhelan Jubahe Kanjeng Nabi
Menjelang akhir tahun, 30 Desember 2017, secara serentak Maiyahan diselenggarakan di delapan tempat yang berbeda. Satu di antaranya adalah Majelis Maiyah Balitar (MMB) yang bertempatkan di kediaman Mas Maksum, Gedog, Kota Blitar. Pada kesempatan Maiyahan terakhir di tahun 2017 ini, MMB mengajak jamaah untuk nguri-nguri Sirah Nabawi dan bermuhasabah diri. Berkaca kepada Kanjeng Nabi dan sedikit-sedikit belajar meneladani jejak langkah beliau.
Sebagaimana mukadimah yang telah disampaikan Mas Komed, hampir semua dari kita ummat Islam telah mengenal sosok Kanjeng Nabi. Setiap tahun jutaan ummat Islam selalu berlomba-lomba memeringati hari kelahiran beliau. Tidak sedikit pula organisasi-organisasi Islam yang juga ingin mensyiarkan ajaran beliau. Meskipun begitu, entah kenapa rasanya makin ke sini, kita makin kurang bisa mencontoh sosok Insan Kamil tersebut. Atau, bisa jadi kenyataannya adalah seperti yang telah dituliskan Mbah Nun dalam Surat Kepada Kanjeng Nabi. Bahwa yang tidak kita punya adalah keberanian dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak junjungan ummat Islam ini sendiri.
Malam itu, Mas Fathoni mengeluhkan tentang sebagian kita yang terkadang masih kurang tepat dalam meneladani Kanjeng Nabi. Mencontoh hanya tampilan fisiknya saja, misalnya. “Kalau sekadar berjubah, Abu Jahal juga berjubah,” tutur Mas Fathoni. Jamaah asal Garum yang baru pertama kali hadir di MMB tersebut mengingatkan jamaah, agar kita tidak hanya mengikuti jejak Kanjeng Nabi yang enak-enak saja. Kita mengambil enaknya saja, tapi mengabaikan sisi lainnya. Katakanlah menikahi banyak perempuan. Sedang kita mengabaikan apa dan mengapa Kanjeng Nabi waktu itu menikahi perempuan-perempuan itu. Lagi pula yang beliau nikahi waktu itu juga bukanlah para perawan yang masih muda dan berwajah rupawan, melainkan janda-janda yang memang membutuhkan bantuan.
Belajar Gondhelan Kanjeng Nabi
Lantas, bagaimana sebaiknya kita mencontoh Kanjeng Nabi? Apa dan bagian mana dulu yang sebaiknya kita kedepankan. Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hal itu, diawali oleh Kang Maksum dan diamini para jamaah, pada akhirnya kita memang sepakat, bahwa meniru jejak langkah Kanjeng Nabi memang bukanlah perkara yang mudah. Mengingat Kanjeng Nabi adalah sosok manusia yang paling sempurna. Dengan segala keterbatasan kita, tentu kita akan sangat kewalahan jika meniru semua kebaikannya.
Di sini saya pun tiba-tiba ingat apa yang telah disampaikan Cak Fuad pada kesempatan PadhangmBulan beberapa bulan lalu. Bahwa jika kita mau mengamalkan semua yang ada di dalam Al-Qur`an, dengan segala keterbatasan kita, tentunya kita akan sangat kewalahan. Meskipun toh jika kita mampu mengamalkan semuanya, itu juga akan sangat baik. Hanya saja, kita pun juga tidak dilarang jika masih hanya sebatas bisa mengamalkan sebagian kebaikan yang ada di dalam Al-Qur`an. Asalkan kita sungguh-sungguh dan belajar istiqamah mengamalkannya.
Sementara, akhlak Rasulullah sendiri diibaratkan sebagai Al-Qur`an yang berjalan. Dari sini, kita pun bisa menarik kesimpulan sementara (Sementara, karena ini sebaiknya memang tidak menghentikan belajar kita. Hingga tidak menutup kemungkinan, seiring berjalannya waktu dan langkah belajar kita, akan kita temukan kesimpulan sementara lainnya juga). Bahwa dalam meneladani Kanjeng Nabi, kita pun diperbolehkan jika belum bisa meneladani Kanjeng Nabi sepenuhnya. Tidak mengapa jika kita masih hanya sebatas bisa meneladani akhlak Rasulullah sebagian saja. asalkan kita belajar istiqamah dan sungguh-sungguh mengamalkannya.
Senada dengan itu, Mas Komed pun juga turut menambahkan. Bahwa dengan penuh kesadaran kita yang masih jauh dari kesempurnaan dan kesucian, rasanya untuk gondelan Kanjeng Nabi sangatlah tidak pantas. Tapi kalau tidak gondhelan Kanjeng Nabi, siapa lagi yang bisa kita gondheli? Meminjam bahasa Mbah Nun, kalau tidak bisa gondhelan Kanjeng Nabi, ya semoga kita bisa gondhelan jubahnya Kanjeng Nabi.
Kemudian muncul lagi pertanyaan, bagaimana kita bisa gondhelan jubahnya Kanjeng Nabi, sedang kita hidup di masa yang terpaut sangat jauh dengan Kanjeng Nabi. Menurut Mas Zaky, di antara caranya adalah kita bisa mendekat kepada guru-guru ataupun orang-orang yang bisa mengantarkan dan mendekatkan kita kepada Kanjeng Nabi. Itu bisa kita dapatkan di Maiyahan seperti ini ataupun yang lainnya. Yang jelas, semoga rasa berpuas diri dari belajar lagi itu tidak ada dalam diri kita.
Kembali pada pertanyaan apa dan bagian mana yang sebaiknya kita perhatikan dulu dalam meneladani Kanjeng Nabi, malam itu jamaah sepakat untuk belajar mensucikan hati dan pikiran terlebih dulu. Hal ini berkaca pada rekam jejak kisah Kanjeng Nabi yang telah dibedah dadanya, dibersihkan hatinya, sewaktu beliau masih kecil. Kemudian belajar meneladani akhlak beliau. Jauh sebelum baginda Muhammad diangkat menjadi Nabi, beliau sudah terkenal dengan kemuliaan akhlaknya. Setelah akhlak, kita pun bisa meniru untuk belajar membaca. Hal ini juga berdasarkan pada wahyu yang pertama kali diterima Kanjeng Nabi. Baru setelah itu, kita bisa belajar meneladani amaliyah fiqhiyahnya. Jauhnya rentang waktu antara perintah membaca dan shalat, kurang lebih sekitar 10 tahun, seolah menegaskan kepada kita bahwa betapa pentingnya belajar membaca. Tidak hanya membaca tekstual saja, tapi membaca kontekstual juga.
Tingkatan-tingkatan ini bukan berarti kita bisa memelajarinya secara terpisah. Justru ini merupakan sebuah kesatuan yang bisa kita jadikan panutan. Ini hanya sebagai pengingat kita saja, agar tak sampai salah memosisikannya. Kita sibuk berdebat masalah fiqhiyah, tapi lupa bagaimana keadaan hati dan akhlak kita. Saking pentingnya peran hati ini, sampai-sampai ketika Kanjeng Nabi ditanya seorang sahabat mengenai jawaban atas permasalahan yang tengah dihadapinya, Rasulullah menjawab, “Tanyakan kepada hatimu”.
Seiring berjalannya waktu, tentu tidak sedikit persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam belajar meneladani Kanjeng Nabi. Di antaranya seperti persoalan yang disampaikan Mas Jalu, distorsi informasi. Setidaknya, ada empat sifat yang bisa kita teladani pada diri Rasulullah untuk mengantisipasi persoalan ini. Shidiq (jujur), tabligh (menyampaikan pesan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (cerdas). Mulai dari diri kita sendiri, kita belajar menjadi orang yang jujur dan bisa dipercaya. Kita menyampaikan pesan yang sebenarnya dan memang sepantasnya disampaikan. Seperti saling berbagi ilmu dan pengetahuan malam itu juga bagian dari laku kita yang meniru sifat tabligh Kanjeng Nabi. Kita pun juga perlu belajar cerdas dalam menerima, mengolah, maupun menyampaikan informasi. Ketika ada suatu informasi yang masih belum jelas misalnya, kita pun bisa mencoba men-tabayyun-kannya.
Makin malam, jamaah makin banyak yang merapat, dan diskusinya pun makin hangat. Malam itu, Mas Dian dan Pak Bambang juga membagikan pandangannya mengenai ajaran Kanjeng Nabi dalam pandangan Jawa. Setelah mewedarkan sedikit mengenai sejarah peradaban dan perkembangan Islam pasca wafatnya Rasulullah, Mas Komed juga mengajak jamaah untuk sedikit menyinggung Piagam Maiyah.
Tidak seperti biasanya, di malam istimewa ini, seusai melantunkan shalawat bersama dan juga saling bersalaman, jamaah yang memang biasanya tidak langsung beranjak pulang itupun diminta Mas Maksum untuk tetap tinggal sebentar. Rupanya, malam itu Mas Maksum beserta keluarga memang lagi ada tasyakuran. Dijamulah seluruh jamaah yang hadir dengan jamuan tengah malam menjelang fajar. Sudah dipinjami tempat, masih dijamu pula. Ah, semoga semua keihklasan jamaah, terlebih shohibu bait ini bisa turut semakin mengundang rahman rahim Tuhan beserta kekasih-Nya. (Hilwin Nisa)