Konsep Keamanan Maiyah dan Resistensi Tanpa Kekerasan
Ahmad Karim, mahasiswa doktoral University of Amsterdam, sedang meneliti konsep keamanan yang dimanifestasikan—salah satunya—Maiyah dengan pola pendekatan nonkekerasan. Pengasosiasian terhadap pengamanan yang acap kali diamsalkan secara vertikal, imperatif, sepihak, dan praktik hegemonik lain dijungkirbalikkan Maiyah melalui keterbukaan ruang dialog yang cenderung kultural-horizontal.
Keamanan adalah antinomi kekacuan. Diktum klasik menegaskan ketika orang siap damai berarti harus sedia perang. Pandangan ini menjadi lazim di saat dunia digelayuti narasi-narasi akan penguasaan terhadap suatu pihak dengan jalur destruksi, bredel, bungkam, dan tumpas. Imaji keamanan kemudian dipraksiskan dan dipaksakan oleh aparatus yang memegang nakhoda kekuasaan.
Pada perspektif aparatus, sebutlah pemerintah, konsep keamanan kerap disandingkan dengan pemertahanan status quo. Keamanan pada gilirannya dimunculkan sebatas menegasikan ‘yang lain’ karena keberadaannya dinilai sebagai ancaman serius bagi pihak penguasa. Tak heran bila dimensi keamanan dipertahankan melalui mekanisme stabilisasi, normalisasi, pembinaan, serta strategi-strategi diskursif yang cenderung menginduk pada esensialisasi dan totalisasi.
Maiyah menghindari wilayah perseteruan berdarah yang represif karena tindakan ini alih-alih mendamaikan, malah justru merembet ke persoalan selanjutnya. Kekerasan bukan sebatas puncak gunung es yang terlihat kasatmata sehingga pucuknya cukup dihancurkan. Lanskap kekerasan meliputi gunung es itu sendiri, baik yang terlihat maupun yang tertutup.
Penyelesaian masalah dalam rangka mencapai keamanan kolektif mesti menggunakan pendekatan berperspektif struktural. Maiyah telah dan terus melakukan itu karena menyadari betapa kekerasan tak sekadar ekspresi eksplisit, tetapi juga prakondisi penyebab kekerasan terjadi. Tak ada asap tanpa api menyibak kemungkinan praktik kekerasan sebagai suatu bentuk aksi-reaksi.
Pola Pengamanan
Menyoal bagaimana Maiyah mempraktikkan konsep keamanan berarti menganalisis terlebih dahulu subjek dan objek di lapangan. Subjek di sini ditesiskan Mbah Nun pada suatu kesempatan bahwa tiap individu merupakan pengaman bagi orang lain. Jika antarorang saling mengamankan, kedamaian akan tertunaikan secara konkret.
Mbah Nun mendekonstruksi kedudukan pengaman bukan milik dan tugas kelompok khusus, meskipun ia tak menafikan keberadaan mereka di ruang publik. Ia menegaskan bagaimana keamanan mesti diejawantahkan ‘sejak dalam pikiran’ agar upaya pengamanan merasuk secara psikologis dan menjadi laku secara empiris.
Titik berangkat pengamanan dari pola ‘rasio’ ketimbang ‘otot’ memberi hamparan luas betapa ia tak melulu persoalan militer. Pada aras inilah pengamanan di Maiyah terkesan sebagai bentuk strategi kooperatif yang sedemikian cair dan terbuka. Peluang dialog, dengan demikian, akan mudah dilakukan bila berpijak pada preferensi tersebut.
Ruang publik di dalam Maiyah yang terdiri atas lintas latar belakang budaya, sosial, ekonomi, dan sekat-sekat memisahkan lain sebetulnya menjadi basis paling strategis dimulainya sebuah pertikaian. Friksi niscaya terjadi tatkala muncul persinggungan di antara jamak orang sebab antarkepentingan saling berkontestasi. Namun, kenapa kecenderungan itu jarang menyeruak di Maiyah?
Pertanyaan itu bersifat analitis-fenomenologis sehingga diperlukan penerokaan secara saintifik agar mendapatkan jawaban sistematis dan komprehensif. Sebelum melakukan penyelidikan melalui jalur itu agaknya perlu merujuk pada analogi bumerang.
Manakala bumerang dilemparkan ia akan kembali ke pelempar karena bentuk dan cara kerjanya secara fisikawi mengondisikan demikian. Analogi ini relevan dikontekstualisasikan pada ranah kekerasan. Pelbagai bentuk ekspresi yang bermuara ke dalam bentuk destruksi, alih-alih menyerang lawan, malah yang terjadi justru sebaliknya: kekerasan itu kembali ke dirinya sendiri.
Konsep kausalitas bertitik tolak di sana. Pelemparan masalah hingga berhilir pada kekerasan sebetulnya merupakan bumerang bagi pelaku. Istilah hukum karma dapat dikaitkan di sini, sekalipun epistemologi kekerasannya relatif berbeda ranah. Keduanya memiliki kesamaan sifat tapi berlainan wilayah acuan.
Itu kenapa di forum Maiyah mana pun kekerasan terkondisikan secara sistemis. Kalaupun muncul kekerasan ia sekadar bersifat mikro yang tak merugikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Keamanan, karenanya, berada pada titik tengah itu, yakni bagaimana melihat kekerasan sebagai struktur dan kekerasan sebagai ekspresi kultur—struktur dan kultur yang dikondisikan secara psikologis memanifestasikan keamanan individu maupun kolektif.
Jagat Maya
Teknologi informasi dan komunikasi yang kini makin masif perkembangannya memunculkan habituasi baru berupa budaya siber. Ruang publik maya ditengarai memberi peluang komunikasi dan interaksi alternatif baru yang kini jamak orang berada di sana. Pelbagai lapisan usia memanfaatkannya sebagai bentuk tanggap teknologi sekaligus tuntutan zaman.
Paradigma keamanan kemudian perlahan bergeser dari dunia nyata ke virtual. Keduanya sukar dipisahkan sebab memiliki persamaan dan persinggungan yang relatif subtil. Maiyah menanggapi hal ini sebagai tantangan baru karena mendapatkan destruksi yang berdampak pada perluasan pola keamanan.
Keamanan di dunia maya yang sedang dihadapi Maiyah adalah bagaimana mereduksi dan mengeliminasi praktik-praktik pencurian konten yang dilakukan akun anonim berorientasi profit. Ia melakukan tindakan itu dengan memotong video tanpa mengindahkan konteks maupun koteks isi. Menggunakan segenap kemampuan banalnya itu ia kemudian memversuskan video satu dengan lainnya agar mencapai puncak viralitas dan popularitas.
Dogma yang dikiblatkan pelaku hanya tiga: pertama, video Maiyah dipotong pada konten yang dianggap seksi; kedua, potongan video dibubuhi judul fantastis bernuansa ramah klik; dan ketiga, video berkonten singkat yang telah dibonsai itu disebarkan supaya banyak warganet mengunjungi akunnya. Semua itu dilakukan dalam rangka pengumpulan modal melalui jalur ilegal.
Yang dipersoalkan Maiyah dalam rangka memproteksi keamanan adalah bagaimana mempertahankan hak cipta atas video yang dimiliki tapi justru diklaim pihak lain tanpa seizin pemilik. Persoalan demikian makin rumit ketika pihak Maiyah telah melaporkan segala bentuk pencurian konten ke pihak YouTube, namun bukan malah berkurang eksistensi pencuri-pencuri itu. Malah keberadaan mereka bagai virus: mati satu tumbuh seribu.
Selain sisi teknis, pengupayaan keamanan di jagat maya menjadi sangat krusial karena perkelahian verbal maupun visual dengan bertameng konten hoaks makin mengemuka di kolom komentar. Pertikaian ini sesungguhnya disulut oleh bias informasi atas degradasi maupun distorsi konten. Akibat pemotongan video tanpa disertakan konten utuh—ditambah narasi-narasi fitnah—warganet banyak terjebak pada kesalahpahaman yang sebetulnya sangat sepele.
Literasi kritis memberi benang merah solutif atas persoalan kemarahan warganet setelah menyaksikan konten-konten video bernuansa adu domba. Meskipun demikian, psikologi massa warganet cenderung mengarah pada ‘nirliterasi kritis’ sehingga tak mengherankan bila mereka jauh dari kesan ramah di jagat maya. Keramahan itu utopis di media maya.
Pengamanan yang dilakukan Maiyah di jagat maya masih menjadi medan perjuangan tanpa final. Resistensi terhadapnya mesti dilakukan secara komunal dengan pola pendekatan secara masif, sistematis, dan dialogis. Di sinilah letak perlawanan tanpa kekerasan menurut Maiyah.