Kitab Sijjin
Kepolosan makhluk-makhluk itu terekspresikan sampai ke penampilan jasad dan perilaku budaya mereka. Pakaian mereka sangat seadanya. Bukan hanya kain atau apapun bahan penutupnya tidak mewah. Tapi juga hanya sebatas di atas pusar sampai di bawah lutut bagi yang lelaki. Sangat bersahaja. Hampir tidak ada nuansa hedonisme.
Sayangnya para Pakde dan anak-anak muda itu tak bisa melihat yang wanita kecuali hamparan warna putih, yang hanya bisa mereka lihat tanpa kejelasan mereka itu berada di tempat yang dekat ataukah jauh. Ini bukan dunia materi-nya manusia. Bukan jasad dengan rumus fisika dan matematika seperti yang diajarkan di Sekolah Manusia.
Junit yang duluan kaget melihat bangunan tepian telaga itu sangat mengkilat. Terdiri dari logam-logam mulia, emas permata, bahkan di sana sini berhiaskan berlian. Tetapi tidak ada satu makhluk pun yang memakai logam mulia itu di badannya sebagai hiasan. Kostum dan penampilan mereka sangat dusun, cenderung kumuh, tidak canggih. Kalau masyarakat manusia melihatnya, akan tampak mereka ini adalah komunitas makhluk yang kebudayaannya terbelakang dan tidak punya kecanggihan.
Asyik juga ternyata Kitabnya kaum Jin adalah Al-Qur`an, dan Nabi kepercayaan serta kesayangan mereka adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Mungkin di kampung-kampung masyarakat Jin ada juga TPQ. Pesantren Tahfidhul Qur`an. Ngaji Kitab Kuning hasil karya Ulama manusia. Siapa tahu ada juga Islamic Boarding School khusus Jin.
Walhasil sangat masuk akal bahwa kaum Jin juga sangat menikmati Al-Qur`an, sangat bergembira berkerubung di Masjidil Haram dan semangat berthawaf. Seger baru sadar bahwa di ayat aslinya “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” [1] (Ali ‘Imron: 96), adalah “Hudan lil’alamin”, tetapi di Qur`annya manusia diterjemahkan dengan dipersempit menjadi “petunjuk bagi manusia”. Kok gitu ya manusia. Jelas untuk seluruh penghuni alam semesta, kok dimonopoli menjadi “untuk manusia”.
Kok manusia hobi amat berbuat curang. Bahkan sejak awal berpikir juga sudah mulai curang. Jumlah dicurangi. Presisi dicurangi. Nada dicurangi. Irama tidak ditepati. Apalagi politik, Negara, jabatan, kedudukan, birokrasi. Yang paling mengalami kecurangan manusia mungkin adalah kepemimpinan, baik dalam konteks Ra`is, Imam, Khalifah, Malik, Presiden, Gubernur hingga Lurah dan berbagai jabatan lainnya. Bukan konsepnya yang curang, tapi perlakuan manusia atas kepemimpinan.
Seger mencatat, jauh-jauh hari Allah sudah wanti-wanti: “Celakalah orang-orang yang curang. Kalau dari lainnya menuntut kejujuran takaran. Kalau untuk orang lain, mereka kurangi” [2] (Al-Muthaffifin: 1-3). Tapi manusia memang begitu sih. Susah banget percaya bahwa urusan dengan Tuhan tidak begitu saja berlalu dan selesai. “Tidakkah mereka percaya bahwa mereka akan dibangkitkan, pada Hari Agung, di mana mereka berdiri menghadap Tuhan” [3] (Al-Muthaffifin: 4-6).
Junit dan Jitul bahkan berprasangka jangan-jangan para pendahulu masyarakat Jin, yang lebih tua eksistensinya dibanding manusia—sudah ada yang membaca Kitab Sijjin.
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah kalian apa itu Sijjin? Ialah Kitab yang tertulis” [4] (Al-Muthaffifin: 7-9). Sehingga banyak Jin yang tidak berani berbuat securang banyak manusia. Dasar manusia. Qur`an saja tidak dijadikan kepustakaan utama. Apalagi Sijjin.
Yogya, 24 Februari 2018