CakNun.com

Ketika Mereka yang Usia Puber Ikut Sinau Bareng

Catatan Sinau Bareng CNKK di SMK Tunas Harapan Pati, 11 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Saya jadi membandingkan dengan pengalaman saya, saat seusia mereka dulu, pondok saya pernah jadi tempat pertemuan sesepuh-sesepuh dan mursyid sebuah thoriqot. Kami sekalian santri dulu diwajibkan datang dan menyimak pertemuan itu yang, masya Allah benar-benar siksaan luar biasa membosankan. Harus mendengarkan beberapa orang tua berpidato, ceramah dengan isi pembicaraan semacam mimpi ketemu Syekh Abdul Qodir, mimpi ketemu Nabi Khidlir, ketemu jin muslim dan entahlah. Saking jenuhnya saya bahkan lupa itu thoriqot apa. Saya hanya ingat kami di belakang bergerombol mengomentari iseng mimpi-mimpi aneh para orang tua tersebut, sekarang saya paham itu su`ul adab. Tapi waktu itu kan kami masih muda.

Dan betapa beruntungnya para siswa-siswi Tunas Harapan ini, alih-alih mendapati pertemuan spiritual mboseni yang bikin semenit rasanya seperti seabad, mereka mendapati permainan-permainan yang menggembirakan. Aduh kalimat “anak muda sekarang lebih beruntung” sepertinya membuat saya merasa tiba-tiba kurang muda, soalnya itu dulu kalimat yang saya sebel tiap ada guru yang ngomong begitu.

Pola penanaman nilai yang paling efektif pada usia pubertas seringnya adalah simulasi. Kenapa? Karena dengan otak yang sedang rewel-rewelnya, sedang banyaknya nanya dan protes, ketika satu ilmu dituturkan paling pertama yang muncul dalam kepala anak seusia kami, eh salah maksudnya mereka, adalah “pentingnya apa saya tau ini?” Coba ingat-ingat pelajaran yang pembaca budiman benci saat usia remaja, itu biasanya karena tidak nemu urgensi dalam mapel tersebut, bukan? Maka simulasi dibutuhkan, agar siswa berada dalam kondisi di mana dia butuh pengetahuan itu sehingga dia cari sendiri, dia pelajari sendiri dan dia gunakan semampunya.

Mbah Nun mengajak bersimulasi ketika mengolah materi mengenai rasa malu dan martabat. Simulasi yang ini bersifat imajinatif. Mbah Nun meminta para siswa membayangkan misalnya kondisi seandainya sedang mandi tiba-tiba ada gempa bumi, maka yang pertama manusia secara naluriah selamatkan adalah pakaian. Bahkan mungkin saja nyawa tidak selamat tapi pakaian akan tetap dikenakannya. Dan ini jawaban yang para siswa memang menjawab dengan sendirinya bukan didikte. Baru kemudian diberi arsiran pemaknaan oleh Mbah Nun bahwa, “Pakaian adalah simbol martabat, karena itu urut-urutannya sandang, pangan, dan papan.”

Pola pendidikan dan penanaman nilai semacam ini memang melelahkan bagi kaum pengajar yang tidak terbiasa, sebab sang pendidik mesti berada pada kondisi yang ‘tidak nyaman’ dalam artian dia mesti siap pada reaksi maupun respons yang bisa saja di luar dari prediksi. Butuh stamina sendiri, olahan logika serta kekokohan kuda-kuda.

Mungkin karena tidak memiliki perangkat semacam itulah, selama berabad-abad kita lebih akrab dengan metode pendidikan di mana satu penutur mendiktekan transferan ilmu pada banyak siswa atau santri. Dengan begitu, si pengajar akan berada pada posisi mapan tak terbantah dan tidak perlu terlalu mengolah respons, pokoknya kalau ada yang bersikap di luar pakem itu berarti durhaka dan akan kuwalat. Padahal kita tahu salah satu karakter manusia Nusantara adalah adaptif terhadap sesuatu yang datang. Sayangnya pola pendidikan yang menjinakkan menghilangkan sisi keliaran Nusantara kita.

Maka ini disebut Sinau Bareng, karena memang semua yang berada di dalamnya akan terpacu untuk mengolah dan mengelola potensi dalam dirinya. Merespons yang datang baik yang terduga maupun spontan, kurikulumnya disesuaikan pada kebutuhan. Kegembiraan adalah lambaran utama, benar-salah bukan perlu betul didramatisasi bahkan jawaban-jawaban pertanyaan dalam workshop seperti yang saya tuangkan dalam liputan singkat boleh dicari terus dalam jangka waktu yang hampir tak berbatas. Asyik bukan?

Ketika workshop terjadi, beberapa guru dan Habib Anis juga kemudian diminta oleh Mbah Nun untuk ikut terlibat sebagai juri dan pengawas dadakan. Sekali lagi, semua mesti siap pada hal-hal yang tidak kita duga-duga. Dan semua adalah ya, semuanya baik murid maupun pengajar.

Lainnya

Exit mobile version