Kepemimpinan Hidup
Warga Negeri Maiyah
1.
Maiyah ini bisa dan wajar untuk disebut perkumpulan, tapi tidak seperti perkumpulan-perkumpulan yang lain.
Maiyah ini layak dan boleh disebut korps, klub, geng, paguyuban, perhimpunan, persatuan, atau apapun sebutan lain yang pernah ada, tetapi Maiyah tidak sebagaimana itu semua.
Maiyah ini silakan saja disangka semacam ormas, aliran tarekat, bahkan tidak keberatan disangka madzhab atau dituduh sekte, tetapi Maiyah sama sekali tidak sama dengan semua yang pernah ada.
Maiyah ini mungkin saja dianggap kekuatan massa, kekuatan sosial budaya, kekuatan politik, arus energi spiritual atau apapun, tetapi tidak persis sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang.
Niatnya berbeda, tujuannya berbeda, formula nilainya berbeda, cara berpikirnya, pola pemahamannya terhadap niat, tujuan, formula nilai, tidak sama dengan yang pernah ada.
Kuda-kuda hidupnya berbeda, proses pencapaian keseimbangannya berbeda.
Utamanya sikap terhadap dunia dan kehidupan pada umumnya, tidak sama.
2.
Bagi penduduk Negeri Maiyah, Sabilillah adalah arah hidupnya, Syariat adalah ketentuan Allah atas jalan yang ditempuh, Thariqat adalah dinamika ijtihad dalam menempuh jalan, Shirathal Mustaqim adalah presisi penempatan diri dalam perjalanan fana menuju baqa’.
Bagi warga Negeri Maiyah: Syariat, Hakikat, Thariqat dan Ma’rifat adalah sebuah kesatuan sistem, bukan tingkatan-tingkatan pencapaian, apalagi untuk dijadikan parameter mengklaim keunggulan manusia atas manusia lainnya.
Setiap warga Negeri Maiyah bertanggung jawab terhadap perjanjiannya kepada Allah sebelum lahir untuk hanya menyembah Allah, dalam pengertian meletakkan Allah sebagai pancer segala pertimbangan dan perhitungan dalam menjalankan hidupnya.
Setiap warga Negeri Maiyah melakukan penelitian atas dirinya masing-masing, melakukan identifikasi dan upaya perumusan tentang apa konsep kemauan Allah dalam menciptakannya dan menghadirkannya di dunia. Dan ia tidak melakukan apapun kecuali yang ia yakini sebagai kehendak Allah, dengan senantiasa mewaspadai kehendaknya masing-masing untuk dipertemukan dan dipersatukan dengan kehendak Allah.
Setiap warga Negeri Maiyah mengerjakan apa saja yang ia senang dan bahagia, yang Allah juga senang dan meridlai.
3.
Setiap warga Negeri Maiyah berusaha sekeras-kerasnya untuk mematuhi Syariat Allah, dan sedinamis mungkin berijtihad, mencari dan menemukan Tarekat-nya masing-masing, dengan Mursyid Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Al-Qur`an, Sunnah dan Sirah Rasul, serta pembacaan kritis atas pandangan para Ulama.
Disebut Tarekat-nya masing-masing, karena “fadhdhalallahu ba’dlan ‘ala ba’dlin”. Allah memberi keistimewaan yang beragam-ragam kepada setiap hamba-Nya. Kadar akalnya berbeda-beda, potensi pencapaian spiritualnya tidak sama, keterampilan sosialnya beragam-ragam, bahkan nasib dan qadla qadar Allah atasnya juga tidak sama.
Setiap warga Negeri Maiyah beristiqamah sepanjang hidupnya untuk selalu meneliti dan mencari titik temu antara kehendak Allah dengan kehendak dirinya.
Allah punya ketetapan bagi setiap hamba-Nya untuk diletakkan dan diberi bekal di maqam yang berbeda-beda: mungkin pertanian, perekonomian, perdagangan, kepegawaian rutin, kreativitas budaya, hitung-menghitung, kreativitas kerajinan, kesutradaraan, pendobrakan, pemeliharaan, pencetusan, atau wilayah-wilayah kerja apapun.
Setiap warga Negeri Maiyah senang dan bahagia menekuni diri dan bidangnya masing-masing sampai tingkat kepemimpinan atas urusannya masing-masing.
Kepemimpinan bukanlah menjadi penguasa atas orang lain. Kepemimpinan bukan menjadi Presiden, Direktur, Manajer hingga Lurah. Kepemimpinan adalah ketekunan terus-menerus untuk setia kepada ketentuan Allah atas dirinya, sehingga setiap warga Negeri Maiyah adalah makhluk Allah yang berilmu atas dirinya sendiri dan dunia. Adalah hamba Allah yang mengerti di mana tepatnya ia berada, melakukan apa seharusnya dan tidak melakukan apa yang tidak seharusnya.
4.
Warga Negeri Maiyah lahir dan hidup di tengah zaman di mana ummat manusia tidak mencari diri dan kehendak Tuhannya, melainkan melampiaskan nafsunya, sehingga seluruh sistem dan tatanan yang berlaku diwanti-wanti oleh Kanjeng Nabi “tunggu saat kehancurannya” — karena hampir setiap pekerjaan dan kepemimpinan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ketepatan dan keahlian untuk itu.
Semua warga Negeri Maiyah tidak mendirikan apapun yang semua penghuni zaman ini mendirikannya, yang hasilnya adalah kerusakan. Semua warga Maiyah tidak membangun apa yang kebanyakan pelaku sejarah membangunnya, yang produknya adalah kemerosotan.
Semua warga Maiyah tidak melakukan apa yang hampir semua orang melakukannya, yang penghasilannya adalah kehancuran, jangka pendek atau jangka panjang, cepat atau perlahan.
Warga Negeri Maiyah terus mencari kemudian melakukan segala sesuatu yang membangun, bukan yang merusak. Segala sesuatu yang menegakkan, bukan yang mengambrukkan. Segala sesuatu yang bisa diangkut sampai ke keabadian sorganya Allah, bukan yang sia-sia dan membusuk begitu berpindah ke kuburan.
5.
Maka setiap dan semua warga Negeri Maiyah adalah kaum Muhajirin sepanjang hidupnya, sekaligus kaum Anshor sepanjang usianya. Kalau mereka warga Indonesia, maka mereka tidak numpang, bergantung dan minta tolong kepada Indonesia. Melainkan memiliki bekal ilmu dan pengalaman, serta kesanggupan dan keikhlasan, untuk menolong Indonesia. Meskipun sekadar urusan sedebu di kampungnya.
Wassalam
EAN, 17 Februari 2018