Kepala Besar Dunia
Sementara itu Markesot pergi menyepi. Tapi, ah, jangan-jangan orang yang menyepi adalah orang yang gagal dalam ramai. Ia duduk bersila di awang-uwung. Didatangi oleh makhluk sangat besar yang hanya terdiri atas kepala, dengan wajahnya sangat remang-remang. Terkesiap urat saraf seluruh jiwanya. Markesot keder.
Disebut awang-uwung karena ia bukan wilayah sebagaimana manusia mengenalnya sebagai wilayah. Bukan tempat sebagaimana semua pemahaman tentang tempat. Mungkin masih berada di ruang dan mengalirnya waktu. Tidak benar-benar mengalir, karena terasa tenang dan diam. Andaikan ada arloji atau jam dinding di sini, mungkin akan membeku, atau meleleh, karena tidak mampu menahan misteri iramanya.
Markesot menutup hampir semua alat untuk berkomunikasi dengannya. Itu si Markesot tua renta yang malang, sudahlah hidup di Jalan Sunyi: masih pula menyingkir, men-sunyi ke yang paling sunyi dari sunyi. Mungkin karena Markesot lahir dari suatu peradaban pengalaman yang terbiasa hidup dengan ungkapan “ambakke segaramu”. Perluaslah samudera. Samudera sudah sangat luas, masih disuruh memperluas. Markesot sudah sunyi, masih terus bergerak men-sunyi ke yang lebih sunyi.
Tetapi Markesot tidak merumuskan kepada dirinya sendiri bahwa ia sedang berada di manapun kecuali di dalam rasa-jiwanya sendiri. Markesot tidak sedang melakukan apapun yang masyarakatnya di bumi menyebutnya “bertapa”, “nenepi”, “bersemadi”, “ngraga sukma” atau apapun. Juga Markesot tidak berbesar kepala menyebut dirinya sedang “berkhalwat”, “uzlah”, “mati dalam hidup” atau apapun.
Markesot tidak pernah hidup di dalam lembaga-lembaga makna atau makna-makna yang dilembagakan. Ia tidak meladeni “nomenklatur”, institusionalisasi nilai, atau pemahaman-pemahaman yang dibekukan sehingga menjadi beku. Tidak menjalani rumusan-rumusan nilai yang didramatisir sehingga kehilangan diri-nilainya.
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” [1] (Al-An’am: 50)
Andaikan ada di antara rumusan-rumusan baku dari tradisi spiritual masyarakat, ternyata sebenarnya yang dilakukan Markesot mungkin adalah menempuh “taubatan nashuha”. Menjalani prosesi pertobatan total. Mengambil jarak dari dunia, berupaya mendekat kepada Al-Awwal wal-Akhir, Sang Hyang Sangkan Paran. Sebutir debu dosa menimbun dan menenggelamkan seluruh kehidupan Markesot. Seberapa besar pun kebaikan dan kemuliaan yang pernah Markesot lakukan, sebertumpuk apapun sedekah Markesot di bumi, semuanya tenggelam di dalam sedebu dosanya.
“Allah yang Mahatinggi berfirman, “Wahai anak Adam, selagi kamu minta dan berharap kepadaKu, maka Aku akan mengampuni bagimu segala yang telah berlalu dari dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, kemudian kamu meminta ampun kepadaKu, niscaya Aku ampuni kamu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika kamu datang kepadaKu dengan kesalahan (dosa) sepenuh bumi, kemudian kamu mendatangiKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” [2] (Al-Hadits Al-Qudsy)
Tetapi yang mendatangi Markesot adalah kepala besar Dunia.
Yogya, 16 Februari 2018