Kepada Indonesia Cinta Mati, Kepada Capres Cinta Rasional Saja
Ekspresi mahasiswa tak selalu demo, membentangkam poster kalimat tuntutan dan berteriak-teriak mengepalkan tangan, toh the politics sebenarnya tetap senantiasa terkandung seberapa pun kadarnya pada gerak-gerik dan ekspresi mahasiswa, termasuk ekspresi seni. Kandungan di dalamnya bisa aspirasi, tuntutan, kegelisahan, kepedulian, jeritan, juga harapan.
Mbah Nun sangat paham itu, maka sejak awal naik panggung Sinau Bareng di Balairung UGM ini, yang disapakan dan disampaikan justru langsung sesuatu yang bernilai ilmu politik prinsipil. Dan itu pas sesuai yang dibutuhkan adik-adik kita para mahasiswa ini, pada konteks hari-hari ini. Sejatinya ini pun juga buat kita-kita sih sebagai warga negara.
Acaranya bernama Artspiration, digagas dan diselenggarakan oleh para mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Dari namanya, gabungan dari art dan inspiration, kelihatan bahwa ini adalah gaya mahasiswa zaman now yang lebih memilih cara-cara yang nyeni, keren, dan urban, dan itu sebuah judul yang di tengah acara mendapatkan apresisasi khusus dari Mbah Nun.
Yang disampaikan Mbah Nun paling dini itu kurang lebih seperti ini: ‘Kepada Indonesia kita cinta mati, sedangkan kepada presiden, kita cinta rasional saja’. Itu dikemukakan saat Beliau memulai mengajak seluruh hadirin, dari Rektor UGM, para mahasiswa, hingga siapa saja yang datang tadi malam untuk bersama KiaiKanjeng menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Mendengar kalimat itu, saya terpikir, tidakkah hakikat yang dikandung kalimat itu bisa dijadikan sebagai satu prinsip dalam memasuki tahun 2019. Dengan sedikit modifikasi. ‘Kepada Indonesia kita cinta mati, kepada capres kita cinta rasional saja.’ Banyak kan mungkin di antara kita bertanya bagaimana menghadapi tahun politik 2019, dan kalimat ringkas tapi prinsipil substantif itu bisa dipakai sebagai pedoman. Salah satu perwakilan dari teman-teman mahasiswa tadi malam pun menanyakan hal yang sama.
Cinta yang rasional. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami kata rasional di situ bisa berarti kita punya kemampuan memilah mana yang keluar dari capres yang lebih merupakan pencitraan, dan mana yang kita bisa menilainya sebagai sesuatu yang baik, bagus, dan layak dipertimbangkan.
Dalam atmosfer dan praktik politik moderen, entah bagaimana mulanya pencitraan pada akhirnya merupakan hal yang diyakini sebagai keniscayaan yang harus dilakukan oleh capres bersama timsesnya dan bahkan diyakini pula menyumbang cukup sigfikan bagi keterpikatan publik kepada capres bersangkutan, dan karena itu harus dikerjakan dengan sekreatif-kreatifnya. Iya, monggo, lakukanlah itu, tetapi kita berharap rakyat atau publik bisa mengimbanginya dengan rasionalitas dalam melihat para kontestan itu. Mahasiswa apalagi, mestinya terdepan dalam menjaga rasionalitas ini. Semalam secara tidak langsung Mbah Nun mendorong hal itu.
Kalau pada setiap momentum seperti tahun politik, gerakan kualifikasi rasional ini bisa dijalankan dengan baik, politik barangkali akan berjalan dengan sedikit lebih layak sebab orang mulai mengembangkan diri untuk bisa membedakan mana pencitraan, mana hoax, dan mana praktik yang secara rasional bisa diterima. Tak boleh kita terpukau larut oleh pencitraan. Hoax apalagi.
Tentang yang terakhir ini, yakni hoax, juga merupakan kegelisahan yang disampaikan perwakilan mahasiswa, bagaimana kita tidak termakan oleh hoax, dan mereka memohon nasihat Mbah Nun. Nurani mereka terusik kalau macam-macam hoax yang beredar di jalanan medsos menimbulkan disharmoni, kebencian satu sama lain, dan permusuhan.
Kalau digabung secara keseluruhan, barangkali bisa kita bayangkan, setiap warga punya tiga laci pemilah dalam dirinya: satu laci buat memasukkan hal-hal yang baik dan rasional, laci kedua buat pencitraan, dan laci ketiga untuk hoax. Setiap mendapatkan apapun dari medsos, dari paparan-paparan, mereka sudah bisa mengklasifikasi dan kemana harus memasukkannya.
Begitulah satu hal yang saya dapatkan dari Sinau Bareng tadi malam yang berjudul cukup indah: Harmonizing the Rythm of Politics. Mengharmoniskan ritme politik. Dan Mbah Nun bersama KiaiKanjeng telah memberikan contoh-contoh harmonizing itu lewat musik, workshop, interaksi, logika, dan kekayaan ekspresi. Tepat persis seperti harapan yang ada pada kata art dan inspiration. Keduanya mereka dapatkan, bahkan secara lebih terolah komprehensif pemahamannya.