Keindahan di Malam Kenduri Kebudayaan
Beberapa hari terakhir ini, Malang hampir tidak pernah tidak diguyur hujan. Kemarin, lusa, dan lusanya lagi, tanah selalu basah oleh guyuran hujan. Hari ini, tampaknya hujan agak sungkan mau turun. Sejak siang sudah mendung. Sekitar pukul 16.00 WIB, hujan rintik, tapi masih jarang. Malam ini, 3 Desember 2018, juga masih sama. Air langit kayak sungkan mau turun, tapi juga seolah ingin ikut menikmati kerukunan dan kedamaian bersama di pelataran Polinema.
Titik-titik kecil sudah mulai turun. “Mendungnya sudah rata.” Saya dan Mas Fadil ngrasani langit yang seolah sudah siap mengguyurkan kiriman airnya. Eh tapi di luar dugaan, hingga detik jemari saya menulis laporan ini, pukul 22.37 WIB, airnya masih sama. Cuma njawil mesra. Kalau orang, mungkin semacam cari perhatian. Semacam rewel kayak orang yang lagi kangen-kangenan.
Bukan cuma sekali Polinema menggelar Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Akan tetapi, sejauh yang pernah saya ikuti Sinau Bareng di sini, malam ini bisa dibilang cukup berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Mulai dari tempat parkiran yang biasanya kalau baru masuk pintu gerbang pengemudi sepeda motor langsung diarahkan belok ke arah kanan, malam ini tidak demikian. Setelah memasuki pintu masuk, jamaah diarahkan belok ke arah kiri. Tempat parkirannya ganti. Bukan yang biasa digunakan saat Sinau Bareng yang sebelum-sebelumnya.
Jamaahnya pun semakin merayap. Sejauh saya mengikuti, sepertinya malam ini adalah malam dengan jamaah terpadat. Belum juga pukul 21.00 WIB, lapangan sudah benar-benar penuh. Sekitar lapangan juga dirayapi para anak muda.
Rupanya bukan hanya saya yang merasakan suasana beda malam ini. Bapak penjual kacang godhok itu pun merasakan yang sama. Biasanya ada batasan wilayah untuk berjualan, tapi malam ini tidak. Kurang lebih seperti itulah yang bapak itu tadi ceritakan. Malam ini semua penjual dibebaskan berjualan di manapun tempat yang mereka suka. Asal jangan sampai mengganggu yang lainnya.
Meminjam bahasa Mbah Nun malam ini, bahwa kesempurnaan adalah tentang ketepatan. Dan bertepatan dengan Kenduri Kebudayaan, tema Sinau Bareng malam ini, di atas panggung hadir pula Pak Budi, salah satu alumni Polinema angkatan tahun 1991. Sebagai sosok Kakak dari para mahasiswa Polinema yang hadir malam ini, Pak Budi menyampaikan pesan salah satu sosok guru Polinema dulu, “Kalau kamu ingin menjadi manusia, hiduplah dengan memberi manfaat untuk orang lain. Ingat asal-usulmu.”
Kemesraan malam ini begitu indah. Diskusinya nggayeng, pemandangan interaksi antar jamaah juga sangat indah. Beberapa lagu yang dibawakan jamaah, temanya cinta. “Karena tak ada yang menyejukkan dunia selain cinta.” Begitu kata salah seorang jamaah yang menyumbangkan lagu malam ini. Mulai Sebelum Cahaya, sampai lagunya almarhum Gito Rollies. Pemandangan malam ini bertambah indah dengan jamaah yang tanpa komando kompak menyalakan flash ponselnya saat musik mulai dimainkan dan bersama-sama ikut menyanyikan lagu yang biasa dibawakan Mas Sabrang itu.
Berhubung diskusi malam ini beberapa kali menyinggung masalah medsos dan ruang publik, saya jadi teringat obrolan ‘geng’ bapak becak seusai Maiyahan di Surabaya kemarin. “Yo koyok adewe ngene ki arep usul nek nggene sopo.” Celetuk salah seorang bapak mengakhiri tema ‘kritikan’ beliau-beliau mengenai keadaan sekitar, pada dini hari itu.
Senada dengan itu, menurut Mbah Nun, pemerintah memang kurang memaksimalkan ruang publik. Hingga aspirasi rakyat tidak semuanya bisa tersampaikan sebagaimana yang seharusnya. Ya, barangkali melalui Sinau Bareng-Sinau Bareng ini, perlahan akan membuka cakrawala berpikir kita, dan perlahan akan menggerakkan laku-laku masyarakat kita menuju budaya yang lebih baik dari sebelumnya. Membenahi yang dirasa masih kurang, dan mempertahankan yang memang pantas dipertahankan.