CakNun.com

Kecerdasan dan Kreativitas Komunal-Kolektif Lahir dari Keluarga Sehat Terencana

Catatan Sinau Bareng CNKK dan BKKBN di Ponorogo, 28 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

Sebaliknya ketidakberfungsian keluarga, akan membuat orang mencari-cari kebutuhan untuk diakui dan diterima pada lingkaran di luar keluarganya sehingga cenderung menempel pada golongan, sehingga lahir militansi sempit golongan. Tidak perlu ditelaah lagi, hasilnya adalah pertikaian tak habis-habis antar perabot pecah-belah.

Mbah Nun menegaskan, bahwa, “Saya datang ke sini ini bukan sebagai apa-apa, karena sekarang ini kalau saya datang sebagai NU nanti yang bukan NU tidak nyaman, kalau datang sebagai Muhammadiyah, yang bukan Muhammadiyah jadi kurang nyaman. Juga begitu pun kalau datang sebagai bagian dari ini-itu. Saya mencoba tetap mencontoh Rasulullah Saw, yaitu menemani setiap makhluk Allah.”

Dan memang Mbah Nun menemani pencarian ribuan orang yang memenuhi Aloon-Aloon Ponorogo. Mbah Nun membimbing langsung workshop, di mana sebanyak mungkin hadirin terlibat. Dua orang jadi notulen sementara sekelompok lain menyusun menjadi rangkaian kalimat. Mbah Nun meminta agar hadirin menyumbangkan kata yang terbersit ketika mendengar kata keluarga dan Ponorogo. Total 56 kata terkumpul, nada-nada disusun dari lagu yang akrab dengan warga Ponorogo. Dan terciptalah malam itu lagu yang merupakan hasil kerja kolektif, itu sesuatu yang dulu kita sebut lagu-lagu daerah kenapa tidak ada nama penciptanya? Karena seperti ini, ketika manusia murni hatinya berkumpul, yang keluar adalah karya bersama, bukan karya individu yang melulu haus pengakuan.

Pak Bupati terdengar sangat bahagia dan ingin menjadikan lagu tersebut sebagai lagunya orang Ponorogo dan memang sah karena memang tercipta, di dan dari tanah Ponorogo sendiri. Perihal ada unsur nada Barat, itu memang semua tradisi lokal pasti bersentuhan dengan tradisi lain. Saya sempat lihat-lihat jualan para pedagang dan melihat banyak dijual sabuk pinggang besar dengan kantong-kantong kulit. Di Betawi dia dipakai oleh para jawara, di sini rupanya dipakai jadi bagian busana warok. Aslinya? Itu adalah sabuk seragam militer Eropa. Yang jadi soal dalam seni tradisi bukan ada unsur lain atau tidak, tapi cara pengolahannya khas manusia wilayah tersebut atau tidak. Misal ada yang menggunanakan kain corak batik sebagai bikini. Bagaimanapun, itu tidak akan terasa sebagai peneguhan tradisi dan lokalitas bukan? Sebaliknya, unsur luar yang diolah dengan kecerdasan tanah lokal, dia menjadi lokal juga.

Pak Giyono pun khas sekali manusianya, beliau pandai berpantun. Menurut Mbah Nun, Pak Giyono ini sedang kurang fit tapi bisa berpantun. “Orang yang bikin pantun itu orang yang bahagia,” kata Mbah Nun dan Pak Giyono tambah bahagia dalam Sinau Bareng. Beliau selalu menyempatkan diri hadir dalam Sinau Bareng yang rangkaian BKKBN ini.

Para aktivis gender di luar sana sedang merayakan 16 hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tapi ini bukan dalam rangka itu. Namun ketika satu kalimat saya dengar dari Mbah Nun di penghujung acara saya langsung mengirimkannya via WA ke istri saya. Dia selama ini masih bertanya-tanya apakah wacana agama bisa ada fungsinya untuk pencegahan serta penyelesaian kasus-kasus pelecehan dan perendahan hak-hak perempuan.

Ini saya kutip dan tampaknya istri saya sangat bahagia mendengar kalimat Mbah Nun ini bahwa, “Prinsip dalam berkeluarga seperti prinsip dalam hidup. Berikrar pada diri sendiri untuk tidak membunuh, tidak merendahkan martabat serta tidak merebut hak orang lain. Membunuh bukan cuma badannya dimatikan, tapi membunuh bakat, membunuh potensi, membunuh kesempatan itu juga membunuh namanya.” Mungkin tidak persis betul per kata tapi begitu inti yang saya tangkap.

Kecerdasan dan kreativitas komunal-kolektif kembali tampak pada akhir acara ketika ribuan orang yang berbaris ingin bersalaman dengan Mbah Nun. Sekali lagi beberapa lelaki Maiyah sigap mengambil posisi keamanan, ketika benar-benar dibutuhkan. Saya kira saya mesti hatur salut untuk mereka. Saya sempat melihat Mas Galih Indra yang sering nulis di web caknun.com juga turut mengatur barisan.

Demikian, itu kecerdasan komunal yang tidak perlu dipadat-padatkan. Jangan sampai perlu ada dibuat laskar-laskar sendiri yang bingung gunanya apa kalau tidak ada masalah, tapi malah kurang berfungsi juga saat betulan ada masalah. Tapi mari lahirkan atmosfer di mana manusia siap melakukan apa saja ketika dibutuhkan dan semua itu hanya bisa bermula dari keluarga yang sehat dan terencana.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta