Kecerdasan dan Kreativitas Komunal-Kolektif Lahir dari Keluarga Sehat Terencana


Mbah Nun telah di panggung, kemudian meminta agar para warga meneguhkan nasionalisme dengan melantunkan Indonesia Raya. Walau saya sendiri kurang nasionalis, tapi momen seperti ini selalu saja mengundang haru. Saya tidak tahu kenapa, tapi tampaknya saya hanya bisa menikmati lagu Indonesia Raya kalau yang melantunkan KiaiKanjeng. Rasanya itu nasionalisme yang murni pada tanah dan air bukan lumpur nasionalisme picik sempit menghardik sehingga lebih terasa ultranasionalisme. Itu yang membuat saya malas menyematkan gelar nasionalis dalam diri saya, karena seperti itu yang sering saya saksikan di berbagai wilayah kesadaran terutama belakangan ini. Tapi tidak demikian rasanya kalau KiaiKanjeng yang melantunkan, ini penilaian sangat subjektif memang, mau gimana lagi?
Kemudian berlanjut menghormati BKKBN sebagai sohibul hajat dengan melantunkan Mars Keluarga Berencana. Semua diiringi dan dibersamai secara nada oleh KiaiKanjeng yang membuatnya khas. Nada-nada mars ala Orba yang lebih sering kita dengarkan dinyanyikan mamak-mamak Dharmawanita, ternyata bisa diolah oleh KiaiKanjeng. Tetap ada nuansa padus Dharmawanita, tapi lebih semangat.
Sebenarnya, Mbah Nun bila kita lihat sebagai salah satu garda depan reformasi duduk bersama orang BKKBN adalah peristiwa sendiri yang istimewa secara historis, walau juga rentan disalahpahami. Maka itu perlu saya masukkan sedikit di dalam catatan ini, bahwa urusannya memang bukan politik dan membangun idealisasi keluarga dengan pakem ideal Keluarga Cendana. Sebab Mbah Nun membawa konsep keluarga berencana pada wilayah yang, bukan saja teologis, tapi tauhidiyah (saya tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat jadi saya bikin-bikin istilah itu).

Coba kita perhatikan kalimat-kalimat Mbah Nun pada permulaan acara, “Pernikahan itu sunnah rasul, sunnah artinya tradisi kehidupan Rasulullah SAW”
Dan atau ketika Mbah Nun membuka bahasan, “Keluarga dimulakan oleh Allah sendiri. Allah dengan semua makhluk seperti suami-istri, “seperti” lho ya bukan betul-betul berkeluarga.”
Dan kalimat “Keluarga Berencana” oleh Mbah Nun diambil titik tekannya adalah pada kata berencana, dengan disambungkan pada kata “litaskuna ilaa“. Berkeluarga, karena dia adalah sesuatu yang prinsipil fundamental maka perlu perencanaan. Perencanaan bukan pemaksaan atau idealisasi konsep. Kalau perencanaan matang, berarti kita serius. Kalau kita serius pada nilai-nilai yang ditanam oleh Allah sendiri maka Allah senang. Bila Allah senang, maka efeknya pada tali kinasih, silaturrahim, rezeki, nafkah penghidupan, kecerdasan sosial-komunal, atmosfer pendidikan masyarakat, ekonomi bangsa, politik yang sehat dan terus efek turunannya tak habis-habis hingga pada tumbuh kembang peradaban zaman.

Kebalikan dari itu Mbah Nun memberi contoh bahwa ummat-ummat terdahulu yang terkena adzab dengan dimusnahkan bisa saja urusannya bukan soal agama formal. Sebab Allah menjamin bahwa Allah sendiri tidak rugi kalau manusia mengingkari-Nya. Tapi kalau dilihat dari pola kaum nabi Nuh As, Soleh As, apalagi kaum Aad dan Tsamud, semua bisa dibaca bahwa mereka kaum-kaum yang tidak lagi serius dalam komitmen berkeluarga. Tentu itu tidak berarti kita juga jadi orang yang gampangan mulut, setiap ada bencana lantas menyimpulkan bahwa itu karena ada ini-itu di wilayah tersebut, bukan itu. Kehilangan empati semacam itu juga tentu hasil dari ketidakberfungsian keluarga.
Salah satu hasil dari keluarga yang terencana adalah munculnya individu-individu yang menampung, menjadi ruang. Hasil dari manusia ruang, bila berkumpul timbullah kreativitas dan kecerdasan komunal-kolektif. “Di Sinau Bareng kita belajar untuk mencapai ilmu bersama-sama, bukan pinter sendiri-sendiri seperti di sekolah-sekolah,” sempat Mbah Nun berkata demikian.