Kebenaran, Kebaikan, dan Keindahan SALAM
SALAM, sejak 2 Mei lalu ikut memeriahkan perayaan Hari Pendidikan Nasional, dengan diadakannya pameran Seni Rupa CARAKA di Warung Kopi DST. Bagi yang kurang akrab dengan wilayah ini, atau yang kecerdasan spasialnya setingkat bekicot seperti saya (maaf, saya sebal sekali dengan kebiasaan saya nyasar), mencari lokasi Warung Kopi DST butuh perjuangan muter-muter. Disesatkan oleh Google Map yang nyuruh belok padahal tidak ada belokan. Atau menggiring masuk ke pemakaman padahal masih hidup. Saya sempat misuhin Google Map. Dan sepersekian detik kemudian menyadari itu perbuatan yang sia-sia. Tapi syukurlah, sampai juga di lokasi Warung Kopi DST.
Bagi SALAM, merayakan hari pendidikan bukan sekedar formalitas. SALAM punya kedekatan dalam hal pandangan dan cara berpikir mengenai pendidikan dengan Ki Hadjar Dewantara. Terutama konsep pendidikan yang memerdekakan manusia. Tidak menyeragamkan. Maka berbedalah perayaan hari pendidikan di SALAM dengan tempat lain yang mengenang nama Ki Hadjar tapi melupakan bahkan mengkhianati misi pendidikannya. Malam itu, di Warung Kopi DST, tanggal 15 Mei 2018 Masehi para wali murid SALAM berkumpul memuncaki perayaan ini. Dan Mbah Nun diundang sebagai sesepuh yang pandangannya dirasa merupakan lambaran ide, spirit dantenaga yang tumbu ketemu tutup dengan praktik pendidikan SALAM.
“Di SALAM saya jarang pakai kata Maiyah, tapi seringnya kata bebrayan. Intinya sama, soal kebersamaan”, kata Pak Toto Rahardjo di hadapan Mbah Nun.
SALAM memuncaki pendidikan dengan kesenian. Menurut Pak Toto, pandangan Mbah Nun soal pendidikan dan kesenian sangat diperlukan. Mbah Nun pun mengemukakan apresiasi serta pandangan-pandangan beliau. Diwarnai guratan sapuan ragam jenis aliran lukisan di dinding serta beberapa pajangan karya-karya perupa. Wali murid menyimak seksama. Anak-anak bermain bebas di tanah lapang sebelah sana. Celotehnya menembus ruang dan waktu. Menambah semarak dan otentiknya acara ini.
Mbah Nun membuka bahasan dengan mengucapkan terima kasih pada SALAM karena mau mengadakan acara ini. Mbah Nun menekankan, “Saya bukan hanya senang, bukan hanya mendukung. Tapi betul-betul berterima kasih”. Karena menurut Mbah Nun hanya pada kesenianlah manusia bisa belajar menjangkepkan dirinya.
Manusia modern atau pasca-modern ini, makin kurang jangkep. Makin terpisah satu sama lain. Bahkan makin terpisah-pisah dengan dirinya sendiri. Sementara tidak ada usaha dalam atmosfer ekonomi-politik-budayanya untuk mengutuhkan kembali manusia.
Jadi pendidikan dan kesenian memang tidak bisa dipisah. Karena kesenian adalah suprastrukturnya keutuhan manusia sendiri.
Kalimat Mbah Nun ini mengingatkan saya ketika mewawancarai seorang seniman yang juga sahabat Mbah Nun. Beliau cerita ketika berkesempatan menemani seorang narapidana terorisme Bom Bali. Sang napi dibawa ke galeri kesenian melihat-lihat lukisan, nonton teater. Mas napi sempat berceloteh sendiri bahwa ternyata dulu dia hanya kurang menikmati hidup. Tidak ada yang menunjukkan padanya bahwa ada karya-karya seni yang indah di dunia ini.
Pak Tanto Mendut (lho, kesebut deh) bertanya, apakah kalau dulu sempat berkesenian akan meninggalkan ideologinya dan mencintai NKRI? Jawaban Mas Napi yang dikisahkan oleh Pak Tanto sering terngiang di ingatan saya belakangan ini. Ketika runtutan kejadian terorisme meletup di mana-mana. Kata Mas Napi, dia tidak akan mungkin mencintai negara ini. Fakta sosial yang didapatinya tidak membuka kemungkinan untuk itu. Tapi katanya, “Mungkin saya akan memilih cara perjuangan yang berbeda, yang tidak mengorbankan nyawa manusia lain”
Mungkin, cara perjuangan yang penuh keindahan. Sah-sah saja kan andainya begitu? Tidak nasionalis adalah pilihan dan belum masalah. Sajiannya menyenangkan atau menyakitkan, itu baru persoalan bersama.
Ternyata terorisme tidak melulu soal pertikaian tafsir garis mblenyek vs garis keras. Banyak unsurnya. Namun unsur keindahan ini masih jarang dikaji (kajian faktor ekonomi, ideologi, doktrin dllsb sudah banyak jurnal dan bahasannya tapi pada ranah praksis tidak menghasilkan apa-apa selain RUU yang kurang update juga).
Jadi bukan soal fakta kebenaran. Tapi bagaimana manusia berusaha jangkep dalam mengelola kebenaran di dapur. Sajian kebaikan dan berpuncak pada keindahan. Inilah yang diolah oleh Mbah Nun di hadapan wali-wali murid SALAM yang beragam malam itu.
Manusia kalau sudah (minimal berusaha) njangkep, produknya akan indah. Bukan memperindah-indah ala pencitraan. Keberagaman seperti tanaman di taman, Taman Siswa, akan subur dengan sendirinya. Bukan disimboliskan dengan formal tapi malah menyimpan potensi saling tidak percaya satu sama lain. Mbah Nun mencontohkan trend di mana orang kalau bicara di hadapan publik yang beragam agama dan kepercayaannya lantas mbagusi dengan mengucap salam dengan varian agama yang berbeda. Padahal intinya ya salam. Tapi orang harus menunjukkan bahwa dia bersedia menjadi bukan dirinya. Hanya supaya orang merasa aman.
Jadi sudah ada tabungan saling ketidakpercayaan di antara kita. Bahwa kalau orang tetap jadi dirinya, sekelilingnya akan aman. Padahal, ucapkan saja salam sesuai tradisi agama sendiri. Dan berperilakulah dengan menjamin keamanan dan kenyamanan orang di sekitar. Cari kebenaran, lalu berrendahhatilah. Menyampaikan jadi kebaikan dan puncaki dengan keindahan.
Kerendahhatian tampak dari susunan nama pelukis dan perupa yang ditampilkan karya-karyanya. Tak ada pembagian khusus antar seniman legendaris macam Mbah Sunarto PR, atau Pak ST Sunardi dengan nama seniman lain yang (mungkin saya saja yang awam) masih jarang terdengar. Itu juga satu keindahan sendiri.
Dialog tanya jawab juga terjadi. Dari pertanyaan paling personal sampai yang mendasar dan global. Semua dielaborasi Mbah Nun, mengajak melihat dari berbagai sudut, sisi, dan jarak pandang. Bahkan pertanyaan soal “cemceman” alias gebetan pun mendapat rezeki berupa sumbangan respons Mas Helmi Redma dari teropong sudut pandang sejarah dikotomisasi Islam vs Barat dan lambaran konflik politik Timur Tengah. Keren kan? Mbah Nun juga membekali seluruh anggota SALAM dengan semangat dan optimisme serta mental puasa.
Puasa, menahan diri berdamai dulu dengan atmosfer zaman ini. Tapi tidak larut. Zaman baru sedang akan mekar. Pemahaman beku mulai menemukan kebuntuan-kebuntuannya. Konsep negara yang diiimani manusia modern (tambahan: ini konsep negara yang baru mengeras dan memadat sebagai efek PD I, kapan-kapan saja kita bahas) sekarang ini makin sulit menemukan relevansinya dalam kehidupan manusia sebagai individu maupun sebagai komunitas. Maka pengartian negara, mau tidak mau akan berubah seiring batasan yang makin buram.
“Yang dilakukan di sini adalah membangun peradaban baru. Ini baru akan kelihatan, kalau negara sudah runtuh semua”, ungkap Mbah Nun.
Suara celoteh bocah menembus dinding Warung kopi DST, membaur bersama sapuan warna-warna pergerakan impresionis, raut ekspresionis, imajinasi surealis, kekanakan naif-isme.Semua manunggal menjelma perlawanan sunyi. Saya mencari-cari style realisme renaissance. Ada sapuannya sedikit tapi tidak benar-benar dimaksudkan jadi realis. Tampaknya, pemadatan ukuran rasional renaissance memang sudah mulai ditinggalkan. Kita tahu bersama, peradaban renaissance juga yang melahirkan bentuk negara seperti yang kita kenal sekarang ini.
Inilah SALAM selamat datang bagi peradaban baru itu.