Ke Padhangmbulan Memperbaiki DNA
“Didiklah anakmu sejak 25 tahun sebelum ia lahir.” Begitu nasihat bijak sering kita dengar. Ada yang bilang nasihat ini datang dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ada pula yang mengatakan ini anjuran Imam Ghozali. Siapapun yang mengatakan, semoga keberkahan Tuhan dilimpahkan kepadanya, dan kita pun bisa mengambil kebaikan darinya.
Nasihat tersebut seolah ingin mengingatkan, bahwa mempersiapkan generasi unggul dan tangguh itu bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Ini membutuhkan kesungguhan proses dan perjuangan yang tak instan. Mempersiapkan generasi zaman next tak semudah asal pencet menu aplikasi di gadget dan semua langsung terpenuhi sesuai harapan dan permintaan kita. Butuh raka’at panjang, butuh napas panjang untuk mempersiapkannya.
Menjaga ‘Inputan’
Tunggu dulu. Dua puluh lima tahun sebelum lahir? Maksudnya bagaimana? Kalau si anak belum lahir, lantas siapa yang kita didik? Maksud nasihat itu tidak lain adalah mempersiapkan ‘cetakan’ si jabang bayi dulu. Sebelum menginginkan anak yang baik, para orangtua sangat dianjurkan memperbaiki dirinya dulu. Bahkan jauh sebelum orangtua menikah dan mempunyai anak. Meminjam bahasa Rasulullah, ibda’ binafsik. Mulailah dari dirimu sendiri.
Logikanya, kalau orangtuanya sudah baik, ia akan bisa mendidik anaknya dengan baik pula. Selain itu, ada semacam rekam jejak yang tak akan pernah hilang dan akan terus menurun ke anak cucunya. Ya, DNA. Di DNA ini semua informasi genetik makhluk hidup tersimpan. Kalau tidak salah, pada kesempatan Padhangmbulan bulan Juli tahun lalu, Mas Sabrang pernah menyinggung bahwa semua yang kita lakukan terrekam dalam DNA kita. Ini tidak bisa hilang, karena akan terus tersambung dan menurun ke anak cucu kita. Jelaslah, kalau apa yang kita lakukan baik, ‘rapot’ yang akan terwariskan pada anak cucu kita pun juga akan baik. Sebaliknya, buruk rekam jejak kita, buruk pula rekam jejak yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Di Padhangmbulan ini, semua jamaah diberi ‘panggung’ untuk berproses. Semua diberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi DNA-nya. Agar kelak, dari sini akan terlahir generasi-generasi yang tangguh dan bisa diandalkan pula. Bukan diandalkan untuk mengungguli yang lainnya, melainkan diandalkan untuk bisa menebarkan kebermanfaatan seluas-luasnya. “Silakan menyerap sebanyak-banyaknya. Agar kelak bisa kau pancarkan pada yang seluas-luasnya.”
Tidak sedikit para orangtua yang mengajak anak-anak balitanya ikut Maiyahan. Cak Machroji dan Mbak Nurul misalnya. Mereka, jamaah dari Blitar ini mengajak putrinya yang usianya belum genap dua tahun untuk ikut Maiyahan di Padhangmbulan. “Meskipun tidur, semoga tetap mendapatkan barokahnya ya, Nduk.” Harapan Mbak Nurul pada buah hatinya.
Besar keyakinan saya, meskipun anak-anak ini tertidur selama ikut Maiyahan, ataupun belum paham akan apa yang disampaikan, suatu saat mereka pasti akan memahaminya. Akan tetap ada jejak yang ditinggalkan dalam memori mereka. Seiring berjalan waktu, informasi-informasi yang masuk, yang pada awalnya mereka belum memahaminya sama sekali, suatu saat akan terurai dengan sendirinya.
Kalau bayi yang dalam kandungan saja bisa melihat dan merasakan apa yang berada di luar, apalagi mereka yang sudah berada dalam ruang dan waktu yang sama. Pendengaran lahiriah mereka memang tampak tak mendengar. Akan tetapi, alam bawah sadar mereka tetap bekerja, tetap menyerap apa yang berada di luar diri mereka.
Kalau hanya diam saja masih tetap bisa mendapatkan kebaikan, apalagi dengan adik-adik itu yang dengan keberaniannya menampillkan otentisitas dan kemandiriannya. Mereka mengasyiki ‘panggung’ Padhangmbulan untuk menggodhok dirinya. Ada yang benar-benar tampil di atas panggung, menampilkan kreativitasnya melalui pantomim. Ada pula yang mengambil peran di panggung lainnya, belajar meneladani Kanjeng Nabi yang sangat masyhur akan kemandiran dan kejujurannya dalam menjalankan bisnis. Adik-adik sembilan tahunan ini dengan berani dan percaya diri menjajakan tikar plastik di sekitar area parkiran. Jangan dikira ini suatu hal yang sepele dan biasa saja. Karena tak semuanya berani dan bisa seperti mereka. Jangankan anak-anak, yang lebih tua dari mereka saja belum tentu bisa melakukan hal yang serupa. Ya saya ini contohnya.