Ke Padhangmbulan Memperbaiki DNA
Merawat ‘DNA’ Maiyah
Baru sebulan tidak Maiyahan di Padhangmbulan, tapi rasanya ini sudah terpaut waktu yang sangat lama. Rindu. Barangkali seperti itu rasanya. Benar saja, jamaah yang datang membludak. Bahkan, tidak sedikit yang sampai mendapatkan tempat di tegalan, di bawah pepohonan. Mereka datang berbondong-bondong seolah ingin mengobati kerinduan.
Bisa merasakan Maiyahan saja rasanya belum cukup. Kita belum bisa hanya berhenti di sini, merasa bahagia dengan dirinya sendiri karena telah mendapatkan banyak hal di sini. Justru tanggung jawab kita bertambah. Bagaimana caranya agar yang kita dapatkan ini tetap terjaga, hingga generasi anak cucu kita nanti bisa ikut turut merasakan dan menyebarkannya.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di sini, Padhangmbulan telah menjadi cikal bakal lahirnya simpul-simpul Maiyah di berbagai penjuru Nusantara. Benih Maiyah begitu murni hingga bisa tumbuh subur di mana saja. Atas kuasa Tuhan, kita diperjalankan untuk mengenal Maiyah dan mendapatkan pancaran kemurnian gelombang Maiyah, kita kecipratan kemurnian ‘DNA’ Maiyah. Menjadi tanggung jawab kita untuk turut belajar menjaga kemurnian ‘DNA’ Maiyah ini, sebagai salah satu bentuk syukur kita atas diberikannya kesempatan istimewa ini. Istimewa? Ya, istimewa. Karena tak ada yang bisa menjamin kita masih diberikan kesempatan untuk mengenal Maiyah, untuk bisa belajar kepada para mutiara, para Marja’ Maiyah, jika kita dilahirkan 50 atau 100 tahun lagi.
Di antara cara merawat ‘DNA’ Maiyah ini adalah dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang kita dapatkan dari Maiyah ke dalam apapun saja yang kita lakukan setiap hari. Bahkan, sekalipun kelihatannya itu hanya sekadar perbuatan yang receh, kita tetap harus belajar memasukkan nilai Maiyah di dalamnya. Seperti disampaikan Cak Yus, “Mulai bulan depan, akan banyak kreativitas anak muda. Tapi tetap nilainya adalah Maiyah”.
“PB ini menjadi semesta kita semua untuk mencari ilmu.” Mas Saiful mengajak jamaah untuk saling berbagi di sini. Saling belajar akan apapun saja. Kalau ada yang ahli ilmu desain atau apapun saja, bisa dimanfaatkan dan dibagikan di sini. Kalaupun memang kita sama-sama belum tahu apa-apa, kita berkumpul di sini untuk belajar apa-apa. “Pada-pada nggak isane, ayok ketemu pada-pada sinaune cek pada isane.” Sama-sama tidak bisanya, ayo kita ketemu untuk saling belajar, biar kita sama-sama bisa.
“Tumbuhnya kesadaran karena kejernihan.” Begitu bagian dari lirik Padang Bulan yang dinyanyikan oleh almarhum Franky Sahilatua. Lirik yang ditulis Mbah Nun pada 1995 itu diputar dan diperdengarkan kepada jamaah.
Berbicara masalah kejernihan, Cak Fuad membagikan penjelasannya mengenai tagline Padhangmbulan. Menata Hati, Menjernihkan Pikiran. Cak Fuad menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, alat untuk berpikir itu adalah hati. “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah).” (QS. Al-A’raf: 179). “Jadi sebenarnya hati dan akal pikiran itu sama.” Tutur Cak Fuad. Bahwa software hati dan pikiran itu sama, sama-sama digunakan untuk berpikir.
Kenapa hati dan pikiran kita perlu dirawat dan dijaga? Kita perlu belajar menata hai dan menjernihkan pikiran, karena ada banyak penyakit yang bisa saja tiba-tiba datang menjangkit. Hingga hati dan akal pikiran kita tak lagi jernih, dan kita pun akan semakin menjauh dari kemungkinan ditumbuhkannya kesadaran. Sedang petunjuk Tuhan berawal dari sebuah kesadaran.
Malam itu Cak Fuad menuturkan ada 13 penyakit hati. Lima di antaranya adalah nifaq, riya’, ragu-ragu, berburuk sangka, dan iri dengki. Kita perlu terus belajar waspada akan penyakit hati yang berusaha menghampiri kita. Sederhananya, hati itu diciptakan untuk bisa mengenal, rindu, dan cinta kepada Allah. “Sesuatu dikatakan sakit, ketika sesuatu itu tidak berfungsi.” Jadi, masih menurut Cak Fuad, selama hati kita tidak bisa merasakan getaran kerinduan kepada Sang Muara, selama itu pula kita perlu curiga kepada hati kita. Karena hati kita telah tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Yang perlu diingat kembali, kita tetap tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan kita. Kita tidak bisa hanya mengandalkan ikhtiar kita semata. Karena di atas semuanya, tetap ada Tuhan Yang Maha Berkuasa atas segalanya. Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga menjaga semuanya, terserah Tuhan bagaimana memberikan hasilnya.
Pada saat seperti inilah cinta itu butuh diperjuangkan. Meminjam bahasa Cak Fuad, puncak meminta maaf adalah ketika mendapatkan ampunan dari yang kita mintai maaf. Pun dengan puncak cinta. Adalah mendapatkan cinta dari yang kita cintai puncak dari mencintai itu sendiri.
Kita perlu memperjuangkan cinta kita kepada Tuhan. Agar cinta kita kepada-Nya tidak bertepuk sebelah tangan. Dan atas semua yang telah kita lakukan ini, tak lain adalah bagian dari upaya kita untuk mendapatkan balasan cinta kasih Tuhan. Atas apa yang telah, sedang, dan akan kita tanam, semoga cukup menjadi bukti atas cinta kita kepada Sang Maha Cinta. Hingga perlahan, pintu cinta-Nya juga terbuka untuk kita dan menaungi setiap hembusan napas dan jejak langkah kita.[]