CakNun.com

Kau Kira Kau Segala-galanya bagi Umat

Diterbitkan dalam buku "Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai", 1994
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Biasanya Sudrun memang mendadak datang di bilik saya lewat tengah malam. Ia mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur pada saat-saat paling bening seperti itu, justru ketika hampir semua orang terbaring lelap, ketika berbagai jenis kesibukan duniawi sedang beristirahat.

Akan tetapi, tadi malam Sudrun hadir tidak untuk itu. Ia tidak duduk di bibir ranjang seperti bisanya, mengusap jidat saya dengan wajah tersenyum, tapi berdiri di pojok ruang. Tangannya bersedekap, dan matanya memelotot merah padam ke arah saya.

“Masya Allah… ada apa, Drun?” terloncat pertanyaan dari mulut saya.

“Ada apa, ada apa, ndasmu!” ia membentak dengak ketus.

Saya terperenyak bangun. Terbelalak mata saya karena sungguh-sungguh tidak paham apa yang terjadi pada sahabat saya ini.

“Kali ini saya tidak bisa memaafkan ampun kepada Tuhan untukmu!” katanya lagi. “Dan, kalau mungkin nanti Tuhan bertanya kepada saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, akan saya kemukakan pendapat bahwa kamu harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin memperoleh ampunan. Soalnya kamu ini main-main…”

“Apa-apaan ini? Main-main apa?” saya memotong.

“Kamu ini artis, tapi merasa kiai. Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi juru dakwah!”

“Lho lho lho…” Saya semakin tidak paham. “Omong apa ini? Artis bagaimana? Pedagang bagaimana?”

Akan tetapi, rupanya Sudrun tidak peduli pada ketidakpahaman saya. Ia meraih peci saya di meja dan memasukkannya ke tasnya sambil nggerundel. “Kamu pikir peci ini tanda kemusliman atau kekiaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hari pakai peci!”

Kemudian, serban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula dengan kasar, dilemparkan ke atas lemari. “Selembar kain yang membuat jutaan orang terserang takhayul! Sehingga, mereka percaya pada sesuatu yang tidak bisa dipercaya sehingga mereka merindukan hal-hal yang sesungguhnya tidak ada!”

Ia terus menyerbu dengan gencar.

“Dan kamu menikmati takhayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang yang mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu-dua firman ditambah kelicinan menggelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah segala-galanya.”

Tiba-tiba satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya, dan menghadapkan air mukanya yang amat keras ke wajahku. “Dan, yang paling celaka dari seluruh celaka rutin massal itu, kamu tahu apa? Ialah bahwa kamu sendiri percaya bahwa kamu adalah segala-galanya bagi umatmu!”

Saya terduduk lemas. Saya sungguh-sugguh tidak mengerti semua ini.

“Kamu adalah makhluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh sejuta orang. Tiap hari dijunjung-junjung, tiap saat disanjung-sanjung, sehingga kamu sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu. Sejuta orang bersedia kepadamu seharian di bawah terik matahari dan guyuran hujan.

Sejuta orang beranggapan bahwa kamu sedemikian pentingnya bagi mereka, hampir melebihi pentingnya Tuhan itu sendiri. Maka, akhirnya kamu sendiri menomorsatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu lupa bahwa kamu tidak penting.

Kamu lupa bahwa jangan-jangan kamu, bahkan alam semesta dan seluruh isinya ini pun, tidak penting, yakni pada saat kamu tenggelam di dalam kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada Tuhan-mu. Kamu lupa bahwa kamu ini bukan apa-apa…”

“Lantas, kamu pikir kamu ini apa?” kali ini saya yang membentak.

“Apalagi aku!” ia mengejek. “Kamu saja tidak penting, apalagi aku. Justru karena aku tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, aku punya posisi dan kewajiban mengingatkanmu bahwa kamu ini pun bukan apa-apa. Mulutmu yang manis bukanlah bikinanmu. Suaramu yang melengking bukanlah produkmu. Retorika dan orasi romantikmu bukanlah hasil kehendakmu. Bahkan, kamu tidak pernah sanggup menciptakan sehelai rambut pun. Jadi, kenapa kamu merasa penting sehingga kamu sedemikian dahsyat memodi kasi pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu, lantas manajemenmu kacau. Lantas, kamu sanggupi tumpukan keharusan yang tidak sanggup kamu penuhi. Lantas terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan konsumen-konsumen tertentu di suatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu ini produser yang memang menguasai broker-broker di setiap provinsi yang memperoleh laba dari perniagaan keartisanmu?”

“Sementara itu, pedagang yang asli pedagang saja pun setia untuk berdisiplin memasok pesanan-pesanan yang sudah terkonfirmasi. Kalau toko yang sudah telanjur membayarkan uang panjar dan memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu ternyata tidak datang, ia akan menerima alibi. Manusia merencanakan, tapi Tuhan jua yang menentukan. Pedagang saja tidak logis dan tidak etis beralibi demikian, apalagi kamu!” Ia mengepalkan kedua tangannya. “Aku sudah bosan mendengar berita semacam itu berulang-ulang.”

Sudrun terengah-engah sendiri oleh serbuan-serbuan gencarnya kepada saya.[]

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib