CakNun.com

Kami Bukan Pahlawan, Hanya Semut Pemadam Api Ibrahim

Ihda Ahmad Soduwuh
Waktu baca ± 3 menit

Talbis adalah taktik iblis menyamar menjadi malaikat untuk mengelabui Nabi Adam di surga. Meskipun ia sudah “ditendang” dari posisi dekat Gusti Allah saat Adam tercipta dari segumpal tanah, akalnya tak pernah habis. Kembali menyelinap ke surga melalui mulut seeokor naga dan keluar dari ekornya, dikenakannya jubah kesalehan yang pernah dimiliki. Harap maklum, iblis ini adalah malaikat senior. Wajar Adam dan Hawa terpengaruh oleh argumentasi yang diajukan sosok yang sangat betah tinggal di Bumi sebab keindahannya.

Taktik menyamarkan keburukan jadi kebaikan ini merupakan strategi ampuh cari teman sebanyak-banyaknya ke neraka. Sesuai janji Iblis pada Gusti Allah dan diperbolehkan kecuali manusia yang sudah “divaksinasi” keikhlasan di dalam hatinya. Maka dalam sejarah nabi-nabi mudah ditemui antitesis kebaikan yang terlihat benar secara logika maupun hukum alam. Padahal agama sendiri seringkali justru sangat tidak masuk akal dalam menyembah Gusti Allah. Tentu saja akan nampak hikmahnya ketika akal menemukan tujuan filosofis atau matematis di belakangnya.

Dalam khasanah berjudul ‘Pahlawan Radikalis Intoleran‘, Mbah Nun menyuguhkan fenomena talbis zaman now berwujud salah sangka. Antara radikalis dan intoleran dicampur aduk pemaknaannya. Disematkan secara sembarang pada pihak yang berlawanan, dengan mengesampingkan bahkan membuang konteks yang menyertai. Jadilah seperti kangkung yang ditarik paksa dari sepiring pecel. Meski ia pernah menyatu dalam sajian, ketika ia keluar dari piring, ia tak layak disebut pecel lagi. Kangkung ya kangkung, sambal kacang ya sambal kacang. Bhinneka tunggal ika dipecah belah identitas ketika penyatunya dicabut.

Update kekinian talbis via media sosial ini membawa dampak yang sangat krusial. Salah satunya semua harus bisa dilihat, diraba, dan disentuh. Sangat materialis seperti Qarun. Memandang hanya dari satu mata, persis Dajjal. Mengerikannya, ini sudah menjangkiti berbagai sistem mulai dari pemerintahan sampai kelompok terkecil masyarakat. Melihat kebaikan dituding pencitraan, menyembunyikan amal baik dituduh tidak melakukan, melerai tawuran atau melindungi yang dikeroyok justru berakhir terkapar di pinggir jalan.

Tak heran banyak yang memilih diam di zaman serba salah ini. Begitu takutnya malah disalahpahami. Seringkali yang mengambil sikap ini menganggap diam adalah emas. Ia lupa teguran Imam Syafi’i bahwa sesuatu yang tidak bergerak cenderung melahirkan keburukan. Air macet misalnya. Mbah Sahal pernah memberikan wejangan, “Menjadi tampak baik itu mudah, karena hanya diam maka yang tampak adalah kebaikan. Yang susah adalah membuat diri kita bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”

Mbah Nun melalui Maiyah memilih jalan perjuangan. Jika berposisi sebagai Ibrahim pun siap, termasuk kalau terpaksanya hanya sanggup sebatas semut yang bawa air untuk padamkan air pembakar sang bapak para nabi itu. Asalkan jangan lupa siasat atau strategi saat membuat diri bermanfaat. Nabi Ibrahim saja setelah menghancurkan patung-patung berhala malah meletakkan kapaknya pada tangan patung yang paling besar. Ketika zaman Namrud di era Babilonia sangat maju di bidang pengetahuan, anak yatim pemahat patung terbaik di negeri itu justru menggunakan logika sebagai alat pembungkam kekuasaan.

Saat Ibrahim angkat kapak itu, ia sudah tahu siapa dirinya yang mengacu pada siapa Tuhannya. Periode epik ketika ia menyepi di dalam gua dan berproses mempertanyakan alam untuk mencari siapa Sang Pencipta adalah fase sunyi. Ketika diam itulah seluruh kemampuan akalnya terasah, kepekaan batinnya makin sensitif, dan bak balkon yang mengambil jarak dari objek yang diamati, Ibrahim bisa menemukan simpulan bahwa zamannya edan. Hanya untuk membangun sebuah Taman Gantung, sang raja rela membunuh entah berapa ratus ribu nyawa budak negeri-negeri jajahan. Parahnya, konon hanya untuk mengobati kangen istrinya yang tengah rindu kampung halaman.

Bisa jadi periode Ibrahim dikirim di pusat kebudayaan Dunia Timur itu mirip-mirip dengan kondisi kita saat ini. Aneka modifikasi talbis terjadi, dari pembangunan infrastruktur yang di luar nalar masanya sampai banyaknya berhala-berhala yang tidak hanya berbentuk patung tapi juga pola pikir dan sikap hidup. Bahkan sebelum berdakwah ke masyarakat luas, Ibrahim harus menghadapi keluarga inti yang menafkahi hidupnya. Paman yang merawatnya setelah sang ayah meninggal sangat kecewa sebab ayahanda Ismail dan Ishak ini diunggulkan untuk menggantikan posisi prestisius mendiang ayah sebagai pemahat patung terbaik se-Babilonia yang berarti se-Dunia Timur.

Ibrahim yang terkenal sangat pengasih ini tak disangka akan sekeras itu saat berhadapan dengan Raja Namrud. Di saat tidak ada yang berani mengkritik secara tertutup, apalagi di depan publik, ia bisa dengan keras menyatakan keradikalan dan keintoleranan. Bisa jadi Mbah Nun ada di posisi ini saat Orde Baru tengah kuat-kuatnya. Bersiasat akali agar tak dipenjara seperti halnya kapak Ibrahim yang diletakkan di patung terbesar. Jika Ibrahim memutuskan hijrah dari wilayah kekuasaan Namrud ke padang gurun yang kemudian jadi kota Mekkah, Mbah Nun justru jadi sahabat dekat penguasa Orde Baru.

Jamaah Maiyah tentu tahu tirakat Mbah Nun di periode sebelum menyatakan kebenaran di era Mbah Harto. Mulai dari gemblengan keras ayah-ibu, hingga kemudian nyantri pada Mbah Umbu. Jika kemudian Mbah Nun keluar dari Kawah Candradimuka Orde Baru Namrud dan memasuki periode Mekah yang dialami Kanjeng Nabi Muhammad saw setelah reformasi, lahirlah Maiyah sebagai organisme. Semut-semut pemadam api yang menyelimuti Ibrahim bisa jadi adalah Jamaah Maiyah. Peran yang lebih bermanfaat daripada cicak yang cuek bebek pada kejadian tersebut. Sekecil apapun, setidaknya menunjukkan keberpihakan pada kebenaran.

Semoga, dan semoga, selaku satu semut Maiyah, saya bisa andil menyiram terbakarnya nilai kebaikan di negeri ini. Ditemani jutaan semut lain di seantero dunia, setidaknya Jamaah Maiyah tidak hanya diam membiarkan keburukan. Walau secuil, tapi hadir.

Lainnya

Belajar Manusia Kepada Sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib