CakNun.com

Kabar “Burung” Pak Is untuk Teman Sekamarnya

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Kalau KiaiKanjeng beracara di mana saja, di kota-kota di Indonesia maupun di mancanegara, dan disiapkan fasilitas menginap di hotel, baik hotel kelas biasa-biasa saja hingga hotel berbintang yang tinggi-tinggi, pembagiannya adalah satu kamar untuk dua orang. Dan Pak Ismarwanto selalu satu kamar dengan Pak Bobiet. Dari dulu hingga terakhir sebelum Pak Is kapundut.

Satu kamar selama bertahun-tahun pastilah bisa dimengerti jika kemudian di antara keduanya terbangun chemistry yang kuat. Kedekatan dan keakraban terjalin erat. Karena kedekatan itulah, Pak Bobiet adalah orang yang perhatian sama Pak Is. Kalau tiba waktu makan, soundcheck, berangkat ke lokasi, atau item by item rundown lainnya selalu Pak Bobiet yang mengingatkan layaknya soulmate. Rupanya waktu acara di KC Januari lalu, itu adalah kali terakhir beliau berdua satu kamar.

Selanjutnya, mari kita bangun suatu teori umum bahwa seseorang yang jadi karib begitu rupa adalah layak adanya bila mendapat firasat tentang akan kepergian sahabatnya itu. Demikianlah yang terjadi pada Pak Bobiet.

Sebentar. Tapi kan itu diketahui setelah kejadian, mas? Lha iya namanya juga firasat. Kalau langsung diketahui sejak awal namanya ilmu eksakta nanti. Ingat teorema Cak Nun: hidup adalah aliran yang bergetar dan getaran yang mengalir. Rasanya firasat lebih pas dipahami berdasarkan teorema ini. Oke?

Sekarang saya lanjutkan.

Pagi pada hari Pak Is dipanggil Allah.

Pukul 03.40, Pak Bobiet mendengar sesuatu suara dua kali di pintu belakang rumahnya. Pintu itu menghubungkan ke halaman luar belakang, dapur, dan tempat nyuci. Setelah dicari sesuatu tadi yang menabrak pintu hingga memunculkan suara seperti telapak tangan orang menggebrak pintu, tak lama kemudian Pak Bobiet keluar membawa senter terang benderang. Diarahkan ke sekeliling halaman rumah belakang, dan saat sinar mengarah ke ruang tempat cucian dan jemuran, Pak Bobiet melihat burung misterius. Rupanya inilah sesuatu yang menabrakkan tubuhnya dua kali di pintu itu.

Burung itu berukuran seadiknya itik berwarna cokelat gelap blorok putih apel. Paruhnya keras panjang. Begitu juga kakinya dengan cakarnya yang kokoh. Sayapnya panjang terlipat bertengger di tempat jemuran samping tempat cucian. Setelah menyadari adanya burung misterius itu, Pak Bobiet membiarkan saja. Tidak sedikit pun diusik. Pikirnya, nanti pagi setelah subuh mestinya burung itu akan terbang pergi sendiri.

Kemudian Pak Bobiet kembali ke kamar dan mencoba tidur, tapi perasaan gelisah menyergapnya. Kedua matanya tak bisa merem. Akhirnya, setiap beberap saat, dia tengok burung itu, dan ternyata masih berada pada posisinya, hingga Pak Bobiet tersadar akan Pak Is yang siangnya ditemaninya seharian dalam kondisi kritis, tetapi masih kuat tingkat kesadaran otaknya. Seketika muncul pertanyaan dalam hatinya: pertanda apa burung ini?

Lagi kemudian, Pak Bobiet kembali ke tempat semula, berbaring berharap bisa tidur lagi. Tetapi, hingga pukul 04.53 belum juga berhasil. Ufuk langit pagi pun mulai terang. Ditengoknya lagi burung misterius itu dan masih juga belum pergi. Akhirnya, dengan didampingi istrinya, dengan sedikit perasaan takut dengan kejadian janggal, aneh, dan belum pernah terjadi itu, burung itu dengan penuh hati-hati ditangkapnya dengan kedua tangan. Anehnya, tidak ada perlawanan atau berontak dari burung itu.

Pak Bobiet lantas curiga jangan-jangan burung sakit, kurang sehat atau terluka, sehingga coba dinyalakannya lampu untuk mengamati seluruh tubuh kaki sayap dan semua anggota tubuh burung itu. Ternyata, semuanya tak ada luka sedikit pun. Bahkan matanya yang kuning emas kombinasi hitam cerah menatap tajam ke arah Pak Bobiet.

Setelah yakin burung misterius itu fit dan sehat, serta langit pagi sudah terang, burung itu pun dibawa agak menjauh dari tempat itu, lalu Pak Bobiet melepasnya ke atas tepat di atas kepalanya dengan harapan andai tidak mampu terbang, dia tidak sakit kalau terjatuh dari ketinggian. Tapi ternyata begitu burung itu dilempar ke atas, ia gagah tegar terbang gesit anggun dan tenang ke arah matahari terbit lalu balik mengitari di atas rumah Pak Bobiet, kemudian terbang pergi meneruskan ke tujuannya yang entah ke mana.

Saat itu juga Pak Bobiet belum mampu merasakan apa yang akan terjadi. Yang diingat hanyalah kemisteriusan burung itu, yang datang pada waktu yang tak lazim. Mendobrak pintu dan tidak mau pergi hingga dia tangkap satu setengah jam kemudian dan dilepaskannya. Pak Bobiet juga bertanya-tanya, mengapa burung itu tidak memilih hinggap di pohon tinggi besar rindang saja yang ada di sudut sawah di arah belakang rumahnya.

Semua pertanyaan dan kegelisahannya akhirnya terjawab setelah membaca kabar via Whatsapp dari Cak Zakki kalau Pak Is telah meninggal dunia. Tentu dengan rasa kaget Pak Bobiet menerima berita itu, sebab seharian dari pagi dia menemani Pak Is setelah mendapatkan kabar keadaannya labil dan kemudian menuju kritis. Termasuk ketika siang itu Cak Nun menjenguknya, Pak Bobiet masih menemani. Saat itu, Pak Is masih bisa bercanda dan berkomunikasi meski hanya dengan bahasa isyarat tangan bahkan kakinya yang diangkat-angkat.

Burung itu terbang jauh bersamaan Allah memanggil Pak Is dengan penuh kasih sayang. Burung misterius itu seakan adalah utusan Pak Is untuk menyampaikan kabar penting kepada sohib-nya, yang selama bertahun-tahun dalam berat ringan perjuangan KiaiKanjeng sekamar dengannya, yang setia mengingatkan apa saja kepadanya. Seseorang yang–dulu ketika Pak Is akan dilamar Pak Toto Rahardjo–dimintai Pak Toto untuk mengikuti pementasannya di beberapa tempat supaya bisa “dirasakan” skill musikalitasnya agar sesuai yang dibutuhkan KiaiKanjeng. Seseorang yang memberikan rekomendasi acc iya atau tidaknya kepada Pak Toto, sehingga kemudian Pak Is bergabung dengan KiaiKanjeng.

Burung itu seakan memamitkan kepada seseorang yang dulu turut membukakan pintu baginya untuk bersama-sama berada di KiaiKanjeng yang telah membawanya terbang ke macam-macam tempat untuk menemani Cak Nun dan KiaiKanjeng menebarkan Tahuid, kemauikutsertaan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, ilmu, kegembiraan, dan kesenangan untuk berbuat baik.

Supaya tidak hilang begitu saja, malam harinya Pak Bobiet segera menuangkan burung itu ke dalam kertas sejauh-jauh ia mampu mengingat suasana dan keadaannya. Burung misterius itu dilukisnya dan diberi tanggal hari itu juga, hari Pak Is dipanggil Allah: 25 Februari 2018.

Setelah lukisan burung itu selesai dibuat, Pak Bobiet berdoa: semoga dari tempatnya kini, Pak Is bisa memandang lukisan itu dengan penuh senyum ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Yogyakarta, 27 Februari 2018

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib