Jihadis Jalan Sunyi, Berlaksa-laksa Cahaya di Ruang Rindu
Saya duduk menyimak dari warung ramesan bersama Kang Mulyana. Via WA, Mas Adi mengabarkan bahwa dia bawa stok kopi Arabica satu cup. Saya ndak bisa beranjak karena jamaah sangat padat. Eh Mas Adi rupanya malah berbaik hati mengantarkan kopi hasil kreasinya ke tempat kami. Enak sekali. Gratis lagi. Kalau dalam pers belakangan, mudah kita temukan iklan sempilan dalam tulisan. Tapi pembaca yang budiman bisa percaya, ini bukan iklan sempilan pesanan.
Saya memang mau mengabarkan, bahwa Mas Adi ini punya produksi kopinya sendiri. Lahannya ada di sekitar daerah Lampung. Nama merk kopinya Krakatoa Coffee. Ini iklan, bukan iklan pesanan. Sekedar tahadduts binni’mah saja. Selain juga kita bisa mencontoh daya kemandirian ekonomi dari Mas Adi. Dan siapa tahu ada jalinan ekonomi yang bisa bertemu. Kang Mulyana sendiri tidak begitu memfavoritkan kopi. Jadi satu cup Arabica ini saya nikmati sendiri. Ngomong-ngomong, karya seni Kang Mulyana masih bisa dinikmati di Artjog hingga bulan Juni nanti.
Coba ini reportase macam apa, kok tukang report-nya cerita ini-itu melantur ke mana-mana? Tapi seperti pun konsep Maiyah yang di luar konsep-konsep yang telah ada di dunia luar, rasanya cara berjurnalistik pun menemukan titik pembeda pada cara melaporkan kegiatan di Maiyah. Itu persepsi saya begitu. Atau alasan saja karena tidak bisa bikin reportase ala TEMPO atau Kompas.
“Supaya majelis kita bertabur cahaya, saya request lagu yang nyerempet cahaya”, kata Pak Toto. Rasanya kalimat “nyerempet cahaya” sangat sastra ya? Atau perasaan saya saja mungkin. Karena ketika di Maiyah hanya bahagia di hati. Dan ketika bahagia, segalanya tampak indah. Dan bercahaya, “Berlaksa-Laksa Cahaya” dilantunkan.
Serempetan cahaya pun melantun selanjutnya dari Mas Helmi yang membabarkan kondisi ummat Islam. Menurut Mas Helmi, ummat Islam memang tengah mengalami keterpecahan dan itu telah dimulai sejak perang Shiffin. Daulah-daulah yang kemudian berdiri mengatasnamakan Islam, tampak tidak begitu punya minat membangun peradaban bebrayan seperti yang dibangun oleh Kanjeng Rasul Muhammad Saw.
Daulah-daulah pasca Khulafaur Rasyidin konsentrasi pada pembangunan infrastruktur, kemegahan dan kejayaan bebatu-batuan. Hal ini, kalau boleh saya tambahkan, adalah hasil terserapnya cita rasa budaya Romawi dan Persia. Justru ketika dua peradaban itu telah luluh lantak.
Belakangan pandangan yang tidak jangkep pada Islam kemudian diserap oleh kaum muslim sendiri untuk mendeskripsikan dirinya. Sehingga Islam dirasa adalah pertarungan ideologis merebut kekuasaan. Dikotomi Islam vs Barat pun meruak. Bersamaan dengan kesan Islam adalah Timur Tengah. Kita berhadapan dengan ketidakjangkepan yang dilawan dengan ketidakjangkepan.
Mas Helmi juga mengutarakan bahwa perdebatan apakah terorisme dengan cara yang belakangan kita lihat ini adalah bagian dari jihad atau bukan, adalah pembahasan yang kurang layak. Karena, selain Islam punya cara perang yang beradab, juga cara-cara belakangan ini bahkan tidak bisa dibilang dilakukan oleh manusia yang utuh. Sedangkan untuk menjadi Islam, harus jadi manusia dulu.
Perjuangan Maiyah, jihad di Maiyah, adalah mengembalikan manusia menjadi utuh manusianya. Dan perjuangan semacam itu semakin relevan saja. Hal ini dilanjut oleh Mas Jamal, yang menyambungkan dengan ajakan Mbah Nun pada Sinau bareng di Mancasan Lor beberapa hari sebelumnya. Agar kita lebih telaten pada Gusti Allah. Memang, belakangan kita ini telaten betul sama Ke-NU-an, ke Muhanmadiyahan, Ke-LDII-an, ke-NII-an, ke-HTI-an dlsb. Tapi tidak tampak sikap kita yang telaten pada Gusti Allah.
Pak Mustofa W Hasyim yang saat itu tidak sedang membaca puisi rusak-rusakan, juga menambahi dengan singkat. Bahwa Islam adalah agama selamat dan penyelamatan. Saat mengucap salam, selain mendoakan keselamatan ditambahi dengan harapan agar orang lain mendapat rahmat dan berkah. Sungguh indah.
Mas Sabrang kemudian menambah poin-poin refleksi yang membakar gairah jihad para JM jihadis jalan sunyi, syuhada kerinduan dan kemesraan. Bagi Mas Sabrang, potensi kita untuk menjadi pelaku teror, sama besarnya semenjak kita dari kecil ditanamkan pola pikir untuk jadi orang yang baik dan benar. Ini melahirkan pola pembeda dalam pikiran. Bahwa ketika yang baik yang seperti aku, maka yang tidak sepertiku adalah buruk. Begitu pun, ketika yang benar adalah yang seperti ini, maka yang tidak begini adalah salah.
Kalau mau ambil contoh gampang saja sebenarnya menurut saya, perhatikan apakah pernah ada seorang tokoh dari golongan tertentu mau mengakui kualitas dari golongan yang berseberangan ideologi atau pola pandang dengan golongannya? Adakah tokoh HTI yang mau mengakui kualitas keilmuan Kyai-Kyai NU? Pun sebaliknya. Artinya, kita hanya berputar-putar pada narsisme golongan. Keinginan diakui dengan cara menampilkan kesalahan pihak lain. Bagi saya pribadi, selain peledakan bom adalah kekejaman, namun memanfaatkan kejadian tersebut sebagai kesempatan untuk menyalah-nyalahkan golongan seberang juga adalah kekejaman yang setara.
Rindu, manusia belakangan makin rindu untuk hidup bebrayan dengan penerimaan terhadap pola pikir liyan yang apa adanya. Orang belajar merakit bom belum masalah. Belajar dalil-dalil dan ayat qital serta mengkaji tafsir keras kepala pun belum jadi masalah. Sajian akhlaqnya kemudian lanjut melakukan hal yang merugikan orang di sekelilingnya atau tidak baru itu persoalan kita bersama. Manusia sekarang makin rindu pada hidup bebrayan. Dan sebagai puncak, dilantunkanlah “Ruang Rindu”, menyusul doa untuk kebaikan segala pihak dari Pak Mustofa W Hasyim.