Jihadis Jalan Sunyi, Berlaksa-laksa Cahaya di Ruang Rindu
Berbagai pancaran cahaya saling berkelindan, saling simpul menyimpulkan malam itu. Di atas panggung tampak Pak Toto, Mas Harianto, Mas Helmi dan Mas Jamal, serta belakangan menyusul juga Mas Sabrang. Mbah Nun tidak rawuh secara ragawi bersama kita malam ini. Tapi itu tidak menyurutkan semangat penggalian para sedulur-sedulur JM. Di Maiyah kita belajar untuk mandiri. Tidak bergantung pada sosok. Tapi rindu, ya dari mata mereka memang terpancar rindu. Duhai syuhada kerinduan.
Apakah Maiyah ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk pengajian lain? Di mana jamaah selalu menunggu apa kata sang guru dan mengikutinya? Tanpa mengaktifkan akal, budi dan rasa untuk menemukan titik konteks yang tepat pada hidupnya masing-masing?
Atau apakah Maiyah ini hanya salah satu dari berbagai macam bentuk aktivisme? Dengan jumlah massa serta strategi pergerakan? Sehingga harus berpikir dikotomis heroisme vs antagonisme ketika berhadapan dengan isu sosial? Atau apakah Maiyah hanya sekadar kumpulan kebatinan spiritual?
Andai Maiyah bisa dikungkung hanya dalam salah satu kategori antara: pengajian, aktivisme atau thoriqot, orang awam seperti saya mungkin tidak akan bertahan di sini.
Bicara pergerakan, Pak Toto salah satu sesepuh pergerakan dan begawan aktivisme pun ikut memberi tambahan sudut pandang. Bahwa yang namanya doa itu menurut Pak Toto artinya menyapa. Bukan meminta dengan ngotot karena lama-lama kita akan jadi terjebak mau “meneror” tuhan. Bagaimana manusia mau meneror Sang Maha Teror?
Karena cukup berpengalaman dalam beragam strategi pergerakan, Pak Toto juga menambahkan. Bahwa yang namanya terorisme adalah salah satu pilihan strategi. Yang caranya adalah dengan menebarkan rasa terancam pada hati manusia. Maka itu, ketika orang mulai berbondong-bondong men-share berita terorisme, bahkan dengan embel-embel ketidaksetujuan, hujatan dan sejenisnya, sesungguhnya di situlah titik keberhasilan terorisme sendiri.
Bahkan sebenarnya tagar-tagar ketidaksetujuan seperti #kamitidaktatut atau #KamiTidakKalut dan sejenisnya, hanya menambah keberhasilan strategi terorisme. Masuk akal kan, memang kita tidak pernah berpikir untuk apa gerakan terorisme seperti ISIS misalnya, harus punya kantor berita Amaq?
Saya juga jadi teringat pernah membaca sebuah artikel yang melukiskan kondisi, kalau tidak salah di Israel. Menurut artikel tersebut, negeri itu tidak pernah sepi dari aksi terorisme di ruang-ruang publiknya. Namun yang dilakukan oleh negara adalah begitu terjadi tindakan terorisme, TKP langsung dibereskan. Sehingga bahkan orang yang lewat tempat itu dua jam setelahnya tidak akan menyadari bahwa baru saja ada kejadian yang memakan korban di situ. Penyelidikan kemudian, dilakukan dalam senyap. Ini tentu agak sulit kita aplikasikan sekarang ini, tapi kita bisa belajar bagaimana menjaga aurat informasi.
Pak Toto melanjutkan, bahwa orang kemudian melakukan tindakan konyol terorisme tidak melulu berkaitan dengan apa ajaran yang dia anut. Tapi ini soal jangkep atau tidaknya dia berpikir. Aksi bom misalnya, bila dihitung secara rasional, justru tidak menghasilkan apa-apa selain rasa kemenangan sesaat. Dan justru kesulitan hidup bagi orang lain. Di satu sisi, secara naluriah, negara yang merasa eksistensinya mulai lemah (tanpa perlu adanya kasus serupa sebenarnya), akan menampilkan wajah yang menggarang dan mengeras.
Di sini kita bisa lihat RUU Terorisme yang berpotensi menyusahkan. Pembacaan pribadi saya, selain akan menyusahkan, RUU ini juga tidak begitu efektif untuk menangkal strategi-strategi terorisme yang kekinian. Jadi, RUU ini rasanya cuma untuk menyenangkan beberapa pihak saja. Alias hanya pasokan pangan tambahan. Tapi minim gizi untuk ternak pemilih dalam pilu-pilu pemilu. Itu adalah reaksi wajar sebelum negara mulai luntur memang dan tidak hanya terjadi di negeri bernama NKRI itu. Tapi NKRI, sudahlah.