Jihadis Jalan Sunyi, Berlaksa-laksa Cahaya di Ruang Rindu
1 Ramadhan tahun ini, jatuh tepat pada Kamis tanggal 17 Mei 2018 miturut penanggalan Masehi. Sedang kita tahu, tiap tanggal 17 malam itulah para jihadis sejati merayakan cinta dan kemesraan. Merayakan gairah hidup dengan dentum gairah kebersamaan. Serta stamina penggalian ilmu yang tanpa henti. Para mujahid yang tak pernah berhenti menjadi mujtahid. Pelestari sekaligus mujtahid pembaharu.
Di Tamantirto, Kasihan, Bantul tepatnya di sekitar TKIT Alhamdulillah, berlaksa-laksa cahaya merapatkan barisan perjuangan setiap bulannya. Perjuangan menuju penyatuan, tauhid dari beragam serpih-serpih hidup keseharian. Perjuangan mengutuhkan, menjangkepkan, melengkapi segala yang tercerai-berai dikepung pendangkalan demi pendangkalan.
Jamaah Maiyah, Jannatul Maiyah, Syuhada Maiyah, Jihadis Jalan Sunyi. Apapun dan bagaimanapun sebutannya. Merekalah radikalis sejati di tengah arus zaman kegelapan ini. Tak ada yang bisa menderadikalisasi mereka.
Walau beberapa hari terakhir, negara tetangga bernama NKRI sedang digemparkan oleh berbagai peristiwa yang membuat hati manusianya tak aman. Namun pada Mocopat Syafaat ini tak dirasa perlu adanya pengamanan khusus. Sebab di sini setiap orang berikrar masing-masing untuk beriman. Bersikap mukmin yang sudah aman dirinya dan bersikap mengamankan sekelilingnya.
Hanya mereka yang tidak merasa amanlah yang akan memilih sikap mengancam dan merasa terancam oleh golongan lain. Di Maiyah kita merdeka dari rasa terancam oleh siapapun dan apapun. Kita juga tidak berniat mengancam-ancam.
Di negeri tetangga kita, NKRI, beberapa hari sebelumnya terjadi kontak senjata di Mako BRIMOB. Disusul kasus-kasus peledakan bom bunuh diri. Biarpun kita telah mengambil jarak dari apapun, yang terjadi pada negeri itu namun kekonyolan, kebodohan dan kedangkalan. Yang dilakukan oleh segolongan orang pada orang lain tetaplah sesuatu yang membuat kita miris. Dan rupanya, hal ini juga kena bahas di Mocopat Syafaat kali ini.
Saat saya tiba di lokasi Mocopat Syafaat agak terlambat bukan karena bom. Melainkan karena harus menyelesaikan latihan teater lebih dulu. Bahasan mengenai doa dan konsep jihad sudah mendominasi. Yang saya tangkap begini: Bahwa hampir setiap hari kita memanjatkan doa untuk muslimin dan muslimat. Tapi kenapa sampai sekarang tidak ada tanda-tanda perbaikan dalam kehidupan kita sesama muslimin dan muslimat? Apakah ada yang salah dengan cara kita berdoa?
Saya urun komentar dalam hati. Bahwa memang Tuhan tidak menuntut hasil pada kita. Namun ketika kesalahan terus berulang, tidakkah kita sebagai manusia yang mesti bermuhasabah?
Berabad-abad kita menjalani ritual sholawatan, menanamkan cinta pada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tapi apakah estafet peradaban yang difondasikan oleh beliau telah menjadi lambaran utama pandangan kita? Sementara suara batin lain di seberang sana berkata, “Apakah Maiyah ini bukanlah jawaban atas tumpukan laku, doa, ritual, sholawatan yang telah dijalani berabad-abad oleh sekian jumlahnya manusia?”. Entah siapa yang membatin begitu. Susunan kata-katanya sih mirip cara saya menyusun tulisan. Mungkin suara batin saya. Hanya saya ndak sadar saja.
Ini kemudian dielaborasi oleh Mas Harianto. Menurutnya selama ini kita memahami agama dan kitab sucinya kebanyakan hanyalah sebagai kumpulan nilai. Kita jarang berpikir bahwa agama atau dien itu adalah kumpulan strategi. Sebagai kumpulan strategi, maka ada klasifikasi bidangnya. Kapan dan di mana strategi tertentu efekfif untuk diterapkan.
Tepat di sini, kalau boleh saya tambahkan berarti setelah sekian abad Islam turun, jangan-jangan mayoritas kita masih memahami Dien al-Islam semata-mata sama seperti agama-agama pra-Islam memahami apa itu agama. Sehingga kata “dien” tidak dikontekstualisasi dalam hidup kita masing-masing.