Jihadis Cinta dan Kemesraan Memarkirkan Diri di Maiyah
Menarik juga mungkin kalau ada sedulur-sedulur JM yang berniat menggali, meneliti atau paling tidak sekadar mengamati pengelolaan parkir di sekitar lokasi acara Mocopat Syafaat. Banyak yang bisa digali dari situ, soal pembagian tugasnya dan pengalaman-pengalaman para penjaga lahan parkir.
Di luar, di semesta kesadaran yang berbeda dari Maiyah, lahan parkir selalu jadi lahan ekonomi sekaligus rentan berpotensi konflik. Bahkan rentetan perebutan tahta di keraton kekuasaan, bisa saja berimplikasi langsung pada siapa penguasa lahan parkir di wilayah mana.
Tapi kita tidak sedang membahas itu. Pikiran soal parkir ini muncul ketika saya sampai di lokasi majelis kemesraan dan ilmu, Mocopat Syafaat, di TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul pada tanggal 17 April 2018 Masehi. Tanggal 17 rutin setiap bulan seperti sudah mentradisi dan menjadi seperti hari raya bagi para Jannatul Maiyah di Yogya karena dia adalah kesempatan untuk bertemu, bersapa tatap muka dengan yang satu frekuensi dengan gelombang jalan sunyinya masin-masing.
Setelah sehari-hari digempur hiruk-pikuk melelahkan, polusi negara, kolesterol politik-ekonomi pemerintah, surealisme spiritualitas, zat adiktif medsos, racun medmas, hijab kesadaran ormas bin parpol dan lain sebagainya yang berisik mengusik. Tanggal 17 di tempat ini adalah refresh tauhid penghidupan. Mereka para JM menurut saya adalah jihadis cinta dan kemesraan, pejuang militan dalam pencarian, wali nikah kutub-kutub peradaban, radikalis silaturrohim dan ksatria nasionalisme paling anarkis dan sebaliknya, ksatria anarkisme paling nasionalis.
Parkiran agak penuh, saya memang berangkat sangat terlambat dari kediaman saya di jalan Kaliurang KM 20. Rumah mertua. Saya cuma berkontribusi menikahi anak gadisnya saja. Ngomong-ngomong soal nikah, saya mau menyelipkan ucapan dan doa selamat menikah buat Bung Angga penggerak Diskusi Martabat. Perjuangan dimulai Bung, hidup akan menyebalkan dan penuh tuntutan. Godaan akan berlipat-lipat. Mengutip kata-kata Monica Geller dalam serial Friends, “Welcome to the real world! It sucks! you’re gonna love it!“.
Kembali ke soal parkiran, saya baru menyadari bahwa sejak awal aktif Maiyahan ada beberapa perubahan dalam kultur parkir. Tidak benar-benar substansial mungkin, tapi cukup mencolok. Dulu nomor parkir diikatkan dengan karet gelang di motor, lalu ganti jadi kartu parkir yang dipegang dan disakuin, dan malam itu wujud kartunya sudah selebaran kertas. Sementara pengolah parkirnya yang dulu kebanyakan Bapak-bapak dan Mbah-mbah, sekarang mulai didominasi kaum pemuda.
Dulu, sempat saya sedikit merasa yang mengolah parkir agak kurang pengalaman. Sekitar tahun 2010 kalau saya tidak salah mobilnya Dede, kawan kuliah saya yang satu SMA dengan Bung Angga tidak bisa keluar karena mobil di depannya menghalangi dengan posisi direm tangan. Kasus seperti ini saya tidak pernah mendengar lagi, banyak kemungkinannya. Apakah dulu emang sedang apes saja? Atau memang ada proses pembelajaran dari kasus-kasus serupa? Atau, saya yang kurang update dalam dunia parkiran? Entah, saya melangkah menuju lokasi acara.
Kenapa memperhatikan parkiran? Sebenarnya tidak harus parkiran juga. Angkringan dan warung-warung juga menarik. Ada angkringan yang dulu langganan saya, tapi beberapa tahun ini tidak pernah buka lagi, itu juga bikin penasaran. Kemudian, sejak kapan muncul bocah-bocah yang menjajakan alas duduk? Dulu itu belum ada. Banyak yang menarik, kita semua bisa ikut menggali tentang apapun serta siapapun dzat-dzat hingga molekul yang ikut menyusun bangunan nuansa Maiyah ini. Kalau ada yang bisa melihat makhkuk kasat mata juga boleh digali, tapi tidak perlu terlalu didramatiskan.