Jihadis Cinta dan Kemesraan Memarkirkan Diri di Maiyah
Melacak Jejak Umbu, Membaca Manusia Murni nan Otentik
Kalau saya membuat catatan reportase ini dengan benar, maka semestinya ada tiga nama Eko yang muncul. Saya tidak membuat list-nya, tapi semoga pembaca yang budiman bisa melacak jejak dalam tulisan ini. Sedulur-sedulur JM sejauh yang saya perhatikan, seringkali punya kemampuan membaca jejak-jejak pemaknaan dengan sangat detail. Itu kemampuan yang berguna dalam banyak hal, walaupun terlalu detail bisa kehilangan objektifitas jadi “devil is in the detil“. Membaca data statistik, profiling, gejala sosial hingga memecahkan kasus kriminal dan banyak bidang lain sebenarnya adalah kemampuan begini. Iqro’ yang aplikatif.
Yang bukan Eko adalah Mas Seno. Tampil mengabarkan perkembangan lingkar Maiyah di Bali yang diinisiasi oleh Umbu sendiri. Umbu menamainya MaSuISaNi atau Maiyah Sumur Ilmu Sawah Nilai. Sumur dan sawah, ilmu dan nilai, itu saja kita Iqro` sebenarnya tampak jelas perangkuman dari banyak hal.
Mbah Nun kemudian mengalirkan kisah-kisah pengalaman beliau bersama Umbu Landu Paranggi. Pengalaman bersama manusia yang otentik selalu adalah pengalaman yang penuh hikmah. Mbah Nun justru menanyakan kabar dan keterlibatan Weldo di Maiyah Bali. Mas Seno menjawab bahwa Weldo sangat suportif hanya tidak bergabung secara formal.
Saya menggaris bawahi perhatian Mbah Nun pada Weldo. Weldo orang biasa saja, hanya seluruh tubuhnya penuh tato dan tindikan. Busananya khas dan agak sukar dijelaskan. Foto yang dipampang di Instagramnya kadang saat berpose kainnya menyibak sehingga dalamannya ke mana-mana. Pemikiran Weldo setahu saya tidak jauh dari wacana pluralisme dan spiritual new age pada umumnya dan dengan latar belakang Bali, itu sangat wajar. Apa yang istimewa dari Weldo? Saya perhatikan, baik Umbu maupun Mbah Nun punya kesamaan soal cara melihat manusia.
Beliau berdua tidak menilai orang dari yang tampak saja atau bagaimana pemikirannya, atau se-gimana tingkat kecerdasan intelektualnya. Beliau berdua bisa langsung klik dengan orang-orang yang otentik, yang murni. Kalau Weldo memang otentiknya seperti itu. Perihal pemikirannya ya kan Gusti Allah yang menjodohkan manusia dengan ide dan pemikiran yang dia temui.
Manusia murni yang otentik, semakin sedikit belakangan ini, tapi yang sedikit itu ada di mana-mana. Dari yang paling liberal sampai yang paling konservatif. Mbah Nun dan Umbu saya rasa karena beliau berdua juga sangat murni dan otentik sehingga sinyal batinnya langsung nyambung dengan orang-orang seperti Weldo.
Ini tidak aneh. Otak manusia punya gelombang, dan cenderung bertemu sapa dengan yang satu frekuensi. Ingat film The Heat yang dibintangi Al Pacino? Itu ada digambarkan bagaimana seorang polisi dan seorang kriminal yang satu frekuensi memiliki keterikatan walau berada pada kubu yang bertempur. Maka masuk akal kalau mereka yang murni dan otentik akan cenderung ngeklik dengan yang (minimal hampir) selevel tingkat otentisitasnya.
Maiyah adalah lahan parkir di mana segala hiasan-hiasan dunia, kendaraan pribadi baik berupa ragam keilmuan, tingkat intelegensi, jubah keagamaan dan lain sebagainya kita taruh dulu. Kita parkirkan. Lalu kita keluar dari kendaraan, kemudian nyemplung ke lingkaran telaga cahaya. Karena nanti di akhirat, next level dari kehidupan ini toh itu semua akan kita tinggalkan. Maka memang di Maiyah kita latihan untuk jadi penduduk sorga. (MZ Fadil)