CakNun.com

Jihadis Cinta dan Kemesraan Memarkirkan Diri di Maiyah

Reportase Majelis Ilmu Maiyah Mocopat Syafaat, 17 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Segalanya Carangan dalam Negeri Fiksi

Srawungan para seniman senior, sahabat-sahabat Mbah Nun di atas panggung jelas saja sangat cair dan mesra. Kelebihan karya seni yang digarap kolektif, biasanya dia sigap dengan spontanitas dan improvisasi. Mbah Eko Tunas mempersembahkan monoplay berjudul “Yang Terhormat Rakyat”. Dari judulnya mengingatkan pada “Yang Terhormat Namaku”.

Menurut Mbah Eko Tunas, karyanya disutradarai oleh Mbah Nun tanpa bertatap jasad dengan Mbah Nun. Seperti Bambang Ekalaya mungkin, yang berguru pada Dangyang Drona dalam imajinasinya. Fiksi? Bisa saja fiksi, memangnya fiksi tidak lahir dari yang nyata? Hanya yang berada pada tataran realita yang bisa melahirkan fiksi.

Sebaliknya, fiksi bisa disepakati menjadi kenyataan yang layak diperjuangkan, dibela hingga mati-matian biar konyol sekalipun. Liat saja di socmed dan media-media massa yang juga fiksi itu, Mas Eko Nuryono membabarkan analisanya mengenai perkembangan teknologi informasi dan keriuh-ributan dalam situasi sosial kita. Pak Jemek, siapa tak kenal? Sang maestro pantomime kemudian juga sempat menyumbangkan pantomime karyanya, sayangnya keterbatasan sudut-jarak-sisi pandang membuat saya kurang bisa menyaksikan dengan komplit.

Mbah Nun menerangkan, bahwa selain Allah dan Rasullullah baiknya kita anggap semuanya hanyalah lakon carangan saja. Carangan itu padanan yang mirip ya fiksi. Apa sih yang diributkan di luar sana yang bukan fiksi? Yang kita sama-sama tidak bermaslahat membelanya, tidak juga bathi menghancurkannya. Malah rugi hilang kemesraan dan kelumrahan. Kebersamaan dalam Maiyah terlalu nyata, untuk dijajah oleh karut-marut (harut wa marut?) NKRI harga fiksi. Untunglah utangnya nyata jadi repotnya beneran. Minimal, negeri sebrang itu tidak sepenuhnya carangan.

Ikhtiar Berkelanjutan Membangun Nahniyah Menghadapi Fir’aunisme

Tidak selalu mudah mengikhtiari silaturrohim, srawung, kekompakan; kekitaan. Salah-salah hanya jadi jargon murahan “Presiden adalah kita”. Kata “kita” dalam kultur jargonistik macam itu hanyalah deretan kalkulasi angka, data statistik yang pembacaannya mandek, tidak dijadikan jembatan untuk memahami individu, orang hanyalah massa. Membangun “kita” menjadi makin sulit karena selalu ada yang merusaknya seperti jargon semacam itu. Kata “Kita” dibatasi dan dirusak sekadar untuk golek bolo untuk nawur “kita” lain yang bukan kita. Rusak persatuan kita.

Tapi rusak bisa jadi indah kalau itu puisi rusak-rusakan Pak Musthofa W Hasyim. Yang kesulitan tentu Pakdhe Herman yang diminta menembangkan karya Mbah Mus. Sama susahnya, tapi kesusahan macam begini menyenangkan penuh tawa di semesta Maiyah.

Segalanya bisa di-DAUR, asal ditaruh pada tempatnya yang pas. Kesalahan konsep kita selama ini adalah kita “membuang sampah, bukan menaruh sampah”. Begitu tuturan Mas Eko Winardi, yang mendaulat diri sebagai Imam Jamaah Islamiyah, maksudnya jadi imam saat sholat berjamaah dengan isitrinya yang bernama Islamiyah. Bahwa robbana maa kholaqta haadza bathila, dimaknai betul sebagai upaya untuk membersamai apa-apa yang disebut sampah itu agak ditaruh pada tempatnya, bukan dibuang. Jadi bisa dimanfaatkan kembali. Mubazir pada satu sisi pandang, bukanlah sesuatu jadi sia-sia belaka. Mubazir adalah ketika kesadaran manusia mandek tidak lagi bisa mengkhalifahi kemanfaatan suatu hal. Akhirnya kita malah membuang-buang hal yang masih bisa di-DAUR dan malah men-default-kan sesuatu yang tidak abadi.

Senang rasanya, beberapa Mocopat Syafaat terakhir ini Kang Muhtasib kembali aktif bertanya. Awal-awal saya ber-Maiyah dulu pertanyaan-pertanyaan Kang Muhtasib selalu ditunggu. Bahkan saya pernah membuat tulisan sendiri hasil dari mengelaborasi salah satu pertanyaan beliau di sebuah kesempatan. Tapi saya lupa, itu tulisan saya kasih ke Redaktur Maiyah atau saya simpan sendiri. Baiknya kita perbanyak tulisan mengenai Maiyah. Niatkan sebagai shodaqoh data untuk generasi mendatang. Masa iya sih ndak dapat pahala? Bagus lagi kalau bisa memperkaya dokumen data di Redaktur Maiyah. Tidak semua tulisan perlu untuk diterbitkan, jadi bank dokumen kan juga bisa.

Kang Muhtasib bertanya dan terdengar sedikit menuntut. Bahwa dulu nabi Musa As diperintah menghadap ke Fir’aun dan menyampaikan kebenaran, lantas kenapa Mbah Nun tidak menggruduk istana dan memperbaiki karut-marut? Apakah pemerintahan yang sekarang memang tidak separah Fir’aun? Saya pribadi sih mau bilang, ya ndak sepadan dong Kang Tasib. Jauh bagus Fir’aun, dhzolim tapi ngerti dirinya dhzolim. Sekarang kan enggak.

Kiai Muzammil yang jelang mantu perdana yang menjawab dengan kelengkapan ayat dan kitab-kitab. Mbah Nun menyingkap sedikit lapisan, bahwa beliau bukan Musa As. Dan kedua, Musa hanya diperintah menghadap dan menyampaikan kesalahan Fir’aun yang menuhankan diri sendiri. Intinya, Musa As diperintah jadi haters-nya pemerintah.

Lainnya

Exit mobile version