CakNun.com

Jihadis Cinta dan Kemesraan Memarkirkan Diri di Maiyah

Reportase Majelis Ilmu Maiyah Mocopat Syafaat, 17 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Khotmil Qur’an Zaratustra, Filsafat “Ah itu kan perasaan adek saja”

Intinya kita semua ikut jadi bagian dalam Maiyah ini. Perhatikan ketika di panggung KiaiKanjeng melantunkan nomor Khotmil Qur`an, liriknya terdengar persis seperti yang dulu dilantunkan di pondok tempat saya tinggal dan belajar dulu. Sebenarnya hanya berbeda sedikit dari Khotmil Qur`an yang belakangan saya dengar di masjid-masjid sekitar rumah. KiaiKanjeng memakai versi dengan kata “na” (jamak). Versi lain memakai kata “nii” (tunggal). KiaiKanjeng: “Allahummarhamna bil Qur’an“. Versi lain: “Allahumarhamni bil Qur`an.”

Ini juga bukan memperbesar perbedaan kecil, toh artinya tetap sama dan tiap versi kalau mau dicarikan baiknya pasti tetap dapat juga. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa pada banyak hal, Maiyah selalu lebih nyaman merujuk pada kekitaan atau nahniyah daripada keakuan atau ananiyah.

Mungkin karena itu ketika ada pertanyaan pada Mbah Nun dengan mengutip Nietzsche, gelombang batin JM agak kurang beresonansi dengan pertanyaan tersebut. Nietzsche memang memesona bagi kelas-kelas awal filsafat. Saya termasuk pengagumnya dan sedih kalau kutipan “Got un tott” melulu yang digaung-gaungkan dari si palu godam zamannya itu. Segalanya perlu diletakkan pada panggonan konteks. Zarathustra, Beyond Good And Evil, Birth of Tragedy, Senjakala Berhala hingga Ecce Homo semua adalah kontemplasi pribadi Nietzsche pada situasi sekitar dan zamannya. “Tuhan telah mati, kita semua telah membunuhnya” oleh Mbah Nun diberi jawaban yang sederhana saja: “Ah itu cuma perasaan adek saja”.

Filsafat itu santai saja memang, seperti yang dicontohkan Mbah Nun. Era orang jadi (merasa) gila karena kebanyakan tidak terima kahanan dunia, merasa lahir terlalu cepat dari zamannya dan semacam-macam itu saya sebut sindrom Jim Morrison, mestinya sudah selesai pada dekade 70an. Faktanya, jarang yang sekeren Jim Morrison juga sih para pelahap kitab-kitab filsafat ini.

Kadang saya malah sering teringat bait dalam Thus Spoke Zarathustra tiap mendengar Mbah Nun menyarankan agar jangan begitu saja percaya pada kata-kata Mbah Nun sendiri. Bukankah bersabdalah Zarathustra: “Sungguh terlalu sering kaki-kaki kebenaran itu diikuti…”

Pada beberapa hal, Mbah Nun dan Maiyah sendiri, seperti palu godam zaman juga. Ada peran perombakan dan pendobrakan pemahaman lama. Nietzsche sudah lewat, tiap zaman mesti lahir pembaharu-pembaharu. Saya menemukan banyak hal begini di Maiyah. Ada satu hal yang dimiliki oleh Maiyah tapi tidak ada di wacana kebaruan dan pembaruan lain. Apa itu? Sederhananya, Maiyah tidak dramatis sama wacana-wacana. Wajar, lumrah. Santai. Jangan-jangan, kesimpulan saya bahwa gelombang batin JM kurang beresonansi dengan Nietzsche juga bisa di jawab dengan, “Ah itu kan perasaan adek saja”.

Mocopat Syafaat, dan berbagai lingkar Maiyah, memang yang selalu dijunjung adalah “kekitaan” nahniyah, dari “kita” kemudian menuju kedaulatan masing-masing menuju tauhid.

Fragmen “Kelahiran” yang ditampilkan di panggung malam itu, tampak menjunjung semangat kebersamaan itu. Rasa-rasanya konsep tik-tak, ping-pong dialog dibangun dengan keterlibatan tokoh serta tempo sahut-sahutan obrolan sehari-hari di angkringan, tentu ada pengaturan penyutradaraan. Penilaian sekilas saya, sutradaranya lihai. Bisa saja kita mereka-reka bagaimana blocking dan gerak para aktor di atas panggung, tapi lebih baik kita tonton saja bersama nanti pada malam tanggal 22 April 2018 Masehi di Societet, TBY.

Lainnya

Exit mobile version