Jendela Hati Buat Prajurit Sejati
Bukan Jabatan, Melainkan Jiwa
Menjadi tentara tidak sama dengan menjadi Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Tentara itu jiwa, Presiden itu jabatan. Jabatan Presiden akan ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya, sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.
Jabatan sangat disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi sangat bisa jadi jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya. Tetapi jiwa ketentaraan adalah cinta dan kebanggaan yang menangis jika manusianya mengkhianatinya, dan manusia yang mengkhianati jiwa ketentaraan itu tidak memiliki kemungkinan lain kecuali terjerembab ke jurang kehancuran.
Orang dengan jabatan akan mengalami post power syndrome, tetapi orang dengan jiwa ketentaraan tidak mengenal kata “post”, tidak mengenal “bekas” atau mantan. Tentara boleh tidak bertugas lagi, boleh menjadi veteran, tetapi itu hanya urusan administrasi dan birokrasi formal, sedangkan kepribadian ketentaraannya tidak bisa dikelupas dari manusianya meskipun oleh kematian.
Dengan pemahaman seperti itu, maka andalan utama Prajurit dalam bermasyarakat bukanlah jabatan dan kekuasaan, bukanlah kegagahan dan kekuatan, melainkan kesetiaan dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan.
Prajurit Pangkat dan Prajurit Kepribadian
Prajurit memiliki dua pemaknaan. Pertama makna jasad, kedua makna rohani. Dalam pemaknaan jasad, prajurit dibedakan dari perwira. Tetapi di dalam makna rohani, prajurit adalah rohani kepribadian. Kepribadian “Prajurit Sejati” tidak berkaitan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat kepangkatan. Seorang prajurit dalam arti kepangkatan tidak melogikakan makna bahwa ia kalah sejati keprajuritannya dibanding perwira. Seorang Jenderal bisa kalah sejati keprajuritannya dibanding seorang Kopral.
Kata Prajurit Sejati adalah gelar kepribadian, bukan mengindikasikan tinggi rendahnya pangkat. Bahkan sesungguhnya kata “Prajurit” tidak bisa dipisahkan atau malah mungkin tidak memerlukan kata “Sejati”, sebab kalau ia tidak sejati maka ia bukan prajurit. Seorang prajurit bukan hanya “sebaiknya” berkepribadian sejati, melainkan “harus” dan “pasti” sejati. Sebab keprajuritan adalah keteguhan mempertahankan prinsip, keberanian menegakkan keyakinan, serta “ketenangan jiwa” untuk meletakkan kematian pada harga yang tidak lebih mahal dibanding keyakinan akan kebenaran. Prajurit Sejati tidak menangis oleh kematian, ia hanya menderita oleh pengkhianatan dan ketidak-setiaan.
Dengan demikian bekal utama Prajurit dalam membaurkan dirinya ke tengah masyarakat bukanlah keunggulan dan kehebatan, melainkan keteladanannya dalam keteguhan memegang prinsip, keberaniannya menegakkan kebenaran, ketenangan jiwanya dalam membela nilai-nilai yang baik di antara sesama manusia.
Keperwiraan adalah Watak Prajurit
Bahkan sesungguhnya kata, idiom atau istilah “perwira”, “perwiro”, “keperwiraan”, diambil dari tradisi watak prajurit. Ada kata lain dari bahasa lain yang mengindikasikan watak itu, misalnya gentle, gentleness. Bahasa Indonesia belum menemukan padanan popular dari kata “keperwiraan”, sering orang menggunakan idiom “kejantanan” —tetapi secara budaya kata ini kurang adil, karena “jantan” indikatif terhadap lelaki. “Jantan” terpaksa diantonimkan dengan kata “betina”. Hal ini menumbuhkan subjektivisme bahwa keperwiraan seolah-olah hanya milik kaum lelaki, sehingga segala yang tidak perwira disebut “betina”.
Pada kenyataannya tidak sedikit kaum wanita yang berwatak “jantan” dan banyak juga kaum lelaki yang “betina”. Maka Bahasa Indonesia sebaiknya meminjam kata “perwira” saja dari peradaban bahasa yang lebih tua. Keperwiraan, watak prajurit itu, sesungguhnya menjelma dalam berbagai bidang kehidupan atau wilayah sosial. Keperwiraan berpangkal pada kejujuran dan berujung pada keadilan.
Di dalam wilayah hukum, perwira disebut adil. Di wilayah moral, perwira disebut jujur. Di wilayah olahraga, perwira disebut sportif. Di wilayah budaya, perwira adalah kerendahan hati. Di wilayah ilmu, perwira disebut obyektif. Di wilayah cinta, perwira disebut setia. Di wilayah ketuhanan, perwira adalah kepatuhan.
Maka kehadiran utama Prajurit di tengah masyarakat adalah kepeloporannya di dalam menegakkan watak adil, jujur, sportif, rendah hati, obyektif, setia dan patuh kepada nilai-nilai sejati.
Sarjana Utama, Pendekar, Empu
Jika seseorang berhasil mencapai watak perwira, atau jika seorang perwira sukses mempertahankan kesejatian keprajuritannya, ia adalah Sarjana Kehidupan. Jika prajurit yang perwira diuji digembleng dihajar oleh pengalaman-pengalaman khusus, sehingga ia layak berada di dalam barisan Pasukan Khusus: ia adalah Sarjana Utama Kehidupan. Ia seorang Doktor Pengalaman.
Kesarjanaan dan ke-Doktor-annya tidak terlalu substansial kaitannya dengan pangkat, terlebih lagi dengan jabatan. Kesarjanaan Prajurit dengan keperwiraannya bukan suatu benda yang menempel di badan atau pakaiannya, bukan pula ditandakan oleh kursi yang didudukinya: melainkan watak, karakter, jiwa, yang sudah menyatu dengan aliran darahnya, denyut nadinya, tarikan nafasnya, ekspresi wajah dan sorot matanya, serta dengan seluruh tata nilai dan pola perilaku kehidupannya.
Jika seorang Prajurit dengan kadar keperwiraannya diletakkan pada suatu tingkat kepangkatan, maka pangkat itu tidak menambah kesejatian keprajuritan serta keperwiraannya, melainkan pangkat itu menguji keprajuritan dan keperwiraannya.
Jika seorang Prajurit dengan wibawa keperwiraannya dijunjung di atas kursi jabatan, maka jabatan itu tidak punya potensi untuk membuat keprajuritan dan keperwiraannya menjadi lebih terpuji, karena justru jabatan adalah medan uji bagi keprajuritan dan keperwiraannya.
Maka seorang prajurit, seorang Perwira, yang adalah Sarjana Utama, Doktor, Empu Kehidupan: jika menempati suatu jabatan, ia tidak tergiur oleh jabatan itu, karena keprajuritan dan keperwiraan jauh lebih mahal dari jabatan setinggi apapun. Ia menjalankan tugas jabatannya tidak untuk membanggakannya, melainkan untuk membuktikan kesetiaan keprajuritannya dan kesejatian keperwiraannya bagi manfaat yang seluas-luasnya bagi bangsa, Negara dan masyarakatnya.
Jika seorang Prajurit dengan keperwiraannya memperoleh kesempatan hidup untuk memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, maka limpahan harta itu tidak menambah apapun atas kesejatian keprajuritan dan keperwiraannya, kecuali jika harta itu ia dayagunakan untuk keperluan-keperluan kemasyarakatan yang luas.
Maka kebanggaan Prajurit di dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah pangkatnya, jabatan dan atau kekayaannya, melainkan bukti-bukti kesejatian keprajuritannya dan praktek-praktek keteguhan keperwiraannya.
Bias Dikotomi Sipil-Militer
Masyarakat prajurit sampai sejauh ini masih dirugikan atau menjadi korban dari bias subyektif dikotomi pengertian antara Sipil dengan Militer. Terdapat pandangan umum yang berlaku tidak hanya di masyarakat umum namun juga di peta wacana kaum intelektual dan aktivis yang paling modern pun, yang merupakan salah kaprah berkepanjangan. Semacam stigma psikologis dengan pemaknaan yang tidak sportif, di mana Sipil selalu dianggap positif sementara Militer selalu diindikasikan negatif.
Idiom cita-cita besar bangsa Indonesia “Masyarakat Madani” dengan sangat simplifikatif diterjemahkan atau disinonimkan dengan “Masyarakat Sipil”, merekrut wacana dari luar negeri tentang Civilian Society. Akronimnya sudah pasti “Masyarakat Militer”, atau lebih ekstrim lagi: Masyarakat yang militeristik.
Bias ini lebih parah ketika menjadi pandangan umum bahwa orang sipil itu tidak memiliki sifat militeristik, sementara prajurit atau tentara dianggap pasti berwatak militeristik. Orang sipil itu “baik”, militer itu “jahat”. Sipil diidentikkan dengan kedamaian dan kelembutan, militer diasosiasikan dengan kebrutalan dan kekerasan.
Pandangan umum memahami Sipil dan Militer sebagai identitas dan tidak sebagai substansi. Seorang prajurit bisa justru sangat berperilaku sipil dalam kehidupan nyata di masyarakat, dan pada saat yang sama sangat mungkin dan sangat banyak contoh manusia sipil justru berwatak militeristik.
Masyarakat umum maupun kaum intelektual belum berhasil memahami ilmu yang paling sederhana: bahwa tulang itu keras, harus keras maka ia bernama tulang, dan kerasnya tulang tidak bisa diterjemahkan menjadi “tulang adalah pro kekerasan”. Bahwa daging harus lembut, bahwa darah harus cair, bahwa udara tak bisa ditusuk atau ditembah. Manusia dan kehidupan memerlukan sekaligus tulang, daging, darah dan nafas, dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Demikianlah juga Negara memerlukan Kaum Sipil dan watak sipil, serta membutuhkan Kaum Militer dan watak militer, pada porsi, proporsi dan fungsinya masing-masing. Darah jangan anti tulang, tulang jangan anti daging, daging jangan anti nafas, nafas jangan anti tulang.
Di tengah bias umum bahwa Sipil adalah “Malaikat” dan Militer adalah “Iblis”, ada kemungkinan sebaiknya kata “Militer” tak usah dipakai saja. Sebab kalau kata militer diteruskan menjadi “militerisme”, maka maknanya sangatlah negatif. Sementara kalau kata perwira diteruskan menjadi “perwiraisme” maka maknanya sangat positif.
Maka salah satu nilai yang paling harus dibuktikan oleh setiap Prajurit kepada masyarakatnya adalah bahwa kaum prajurit tidak kalah lembut dibanding manusia sipil, bahwa keprajuritan bukanlah militerisme, bahwa ketentaraan bukanlah kekerasan kepada manusia dan masyarakat, serta bahwa pelatihan-pelatihan keras kaum prajurit hanyalah diperuntukkan bagi fungsi menjadi Benteng Negara, pelindung masyarakat, pagar keamanan dan dinding penjaga ketenteraman. Benteng, pagar dan dinding tidak boleh lembut atau lembek, ketika berfungsi sebagai benteng, pagar dan dinding.
Antara Nasionalisme dan Kesejahteraan
Tema yang saya tulis dengan air mata adalah dilema pelik yang dialami oleh Prajurit Indonesia antara kewajiban kepeloporan Nasionalisme dengan kenyataan kesejahteraan bagi institusi ketentaraan maupun bagi keluarga-keluarga para Prajurit. Namun tema ini tidak mungkin bisa saya tuliskan dengan baik melalui susunan kata dan kalimat seperti apapun-sebab Kaum Prajurit bukan hanya jauh lebih mengetahui dan sangat mengerti persoalan ini, namun mereka mengalaminya dengan jiwa nelangsa di setiap siang dan malam, di setiap pagi dan sore, di setiap bulan dan tahun, bahkan di setiap menit dan detik, bersama keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Saya tidak berada pada posisi dan luang waktu untuk mengkritik siapapun dan pihak manapun dalam persoalan ini. Saya tidak akan melirik Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan hanya Presiden tapi juga seorang Jenderal. Saya tidak akan menuding mereka di Majlis Rakyat atau Dewan Rakyat, juga tidak saya kecam siapapun dan institusi apapun dalam skala nasional maupun internasional yang selama menanam saham penderitaan di kalangan Kaum Prajurit Indonesia. Karena jika ada sesuatu yang bisa menolong keadaan ini, saya tidak akan mengatakannya, melainkan akan mengerjakannya.
Yang pagi hari ini bisa saya bisikkan kepada para Prajurit Negeri dan Tanah Air bangsa Indonesia adalah kebanggaan saya kepada tingkat kesabaran dan ketabahan yang luar biasa di dalam jiwa Para Prajurit. Penghormatan saya kepada ketenteraman hati mereka untuk terus menerus menahan amarah, kepada keluasan jiwa mereka yang membuat mereka tidak mengamuk, serta ketangguhan mental mereka yang mampu memelihara kuda-kuda nasional mereka sebagai Prajurit-prajurit Sejati.
Saya mohon ampun kepada Tuhan dan minta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa tahun-tahun terakhir ini sangat membuktikan di depan mata semua orang di negeri ini bahwa yang lebih suka marah-marah adalah kaum sipil, bahwa yang lebih sering tawur adalah masyarakat sipil, yang lebih suka berpecah belah dan bertengkar adalah golongan-golongan masyarakat yang bukan tentara.
Tentara Indonesia, para Prajurit, adalah manusia puasa, di sisi rekannya yang tiap hari menjadi manusia kenduri. Makhluk yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah manusia yang berpuasa. Puasa manusia adalah hidangan paling lezat yang disantap oleh Tuhan. Dan sesungguhnya hanya manusia puasalah yang mengerti nikmatnya berbuka puasa. Mereka yang profesinya kenduri tiap hari tak akan pernah merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh orang berpuasa yang berbuka meskipun sekedar semangkuk kolak ketela.
Hanya kata-kata terakhir itulah jendela hati yang mampu kubukakan bagi para Prajurit Sejati yang aku cintai.
Casablanca, Jakarta, 8 April 2008
**Tulisan ini disampaikan Cak Nun dalam rangkaian acara Ulang Tahun Kopassus ke-56 (16 April 2008) di Balai Komando Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur, 9 April 2008. Juga telah diterbitkan dalam buku “Demokrasi La Roiba Fiih” tahun 2009.