Jagrag Aji dan Keranjang Sampah
Mati Kekenyangan
Semua orang perlu tahu dan mengakui bahwa yang berkokok itu ayam dan kalau anjing itu menggonggong. Tidak karena ayam dan anjing butuh pengakuan bahwa mereka berkokok dan menggonggong, melainkan supaya manusia belajar bersikap cerdas, jujur dan bijaksana terhadap kenyataan hidup.
Kalau ayam berkokok itu diganti menjadi, misalnya, sejarah dunia, sejarah Ummat Islam atau sejarah bangsa Indonesia dan sejarah manusia Jawa–maka kecerdasan, kejujuran dan kebijaksanaan untuk mempelajarinya: akan mengubah mungkin di atas 50 persen wajah dan langkah perjalanan kita semua di Nusantara ini.
Kalau anak-anak cucu-cucuku Maiyah menjadikan kokok ayam dan gonggong anjing sebagai pintu gerbang untuk memasuki keluasan, kedalaman dan ketinggian–maka mereka akan siap menjadi pelaku sejarah dengan membawa ummat manusia dan bangsa Indonesia ke masa depan yang lebih indah dan bahagia.
Kalau Maiyah adalah kebun beribu buah, para petani Maiyah tidak boleh mati kekenyangan karena terlalu banyak makan bermacam-macam buah sehingga kehilangan rasa nikmat terhadap ragam rasa bebuahan, kehilangan detail, spesifikasi dan unikum-unikum anugerah Tuhan di kebun itu.
Kalau Maiyah adalah lumbung padi, maka anak cucu Maiyah jangan sampai menjadi tikus mati di lumbung padi. Mereka harus menghindar dari “mental pesta”, “jiwa lalai” dan “budaya foya-foya”. Mereka membangun rasa tentang rentang waktu dari belakang ke depan, kesadaran ruang dari kesempitan hingga keluasan. Mereka merumuskan keterukuran, keterbatasan yang sehat, serta dzikir bahwa padi itu berasal dari tetumbuhan di sawah, sawah itu tanah, tanah itu bumi, bumi itu langit, langit itu padatan cahaya, cahaya itu “Allahu nurus-samawati wal ardl”.
Klilipen
Anak cucu Maiyah tidak batal kemaiyahannya sepanjang mereka memelihara kemenyeluruhan kesadaran dan rasa itu di setiap tidur dan jaganya. Penduduk Negeri Maiyah bukan sekadar pemakan buah dan pelahap makanan minuman yang terhampar gratis di kebun-kebun Maiyah. Warga Maiyah adalah justru terutama pensyukur anugerah kebun, pembelajar pepohonan pada seluruh rentang sangkan parannya.
Misalnya para “penyinau bareng” Maiyah membuka lembar sejarah: bahwa Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, Kadipiro dan Maiyah adalah evolusi Jagrag Aji sekaligus Keranjang Sampah buangan-buangan kerusakan Indonesia. Orang Maiyah tidak bisa menggenggam pasir, karena memfokuskan diri pada segenggam pasir akan ditolak oleh kesadaran padang pasir. Tidak ada segenggam pasir.
Tidak ada sebutir pasir dan sebutir debu. Yang ada adalah alam semesta tak terhingga yang di telapak tangan para Malaikat hanyalah sebutir pasir, dan di “yadullah” seluruh jagat raya itu lebih kecil dari seper-triliun debu, bahkan lebih kecil lagi. Semono ugo, Allah “la yastahyi an yadlriba matsalan ma ba’udlotan”–toh Allah tidak malu membikin perumpamaan dengan menyebut seekor nyamuk. Bahkan “fama fauqaha”, yang jauh lebih kecil lagi.
Tatkala muncul kontroversi lokal yang berasal dari poster pementasan teater “Mantra#2019”, di mana Rumah Maiyah Kadipiro tertulis sebagai penyelenggara yang mempersembahkannya. Sehingga semua pihak menyimpulkan bahwa sumber idenya adalah Kadipiro dan Maiyah, baik naskahnya, pementasannya maupun poster sosialisasinya. Itu semua menjadi “klilip” cukup besar di Yogya, tetapi warga Negeri Maiyah tidak akan “klilipen” karena spektrum rasa dan kesadaran yang terurai di atas.
Penduduk Negeri Maiyah sudah terbiasa sinau bareng. Maka mereka mendata “Jagrag Aji” Maiyah itu apa saja, kapan, soal apa, konteks dan pemetaannya bagaimana dari era ke era. Tulisan ini membatasi diri untuk tidak mengungkapkan deretan-deretan fakta sejarah tentang itu, karena akan merugikan otentisitas pembelajaran warga Maiyah. Juga tidak didaftari “Keranjang Sampah” apa saja dari komplikasi masalah rakyat Indonesia dan Ummat Islam sejak Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan dan Kadipiro. Sebab makna sejarahnya tidak terletak pada “informasi data”-nya, melainkan pada ruang pembelajaran para subjek Maiyah.
Khatam Budaya
Klilip gambar Poster Mantra-2019 muncul dari persangkaan jumeneng Raja di singgasana keraton tapi berwajah Batara Kala. Sedang ada keretakan, benturan, peminggiran dan berbagai adegan lagi di sebuah lokal bumi bagian selatan. Terangnya matahari adalah rezeki dan pahlawan bagi keluarga yang perlu menjemur pakaian, tetapi merupakan siksaan bagi anak-anak manja zaman yang membuat mereka berlindung di ruangan ber-AC.
Ada bagian dari manusia, berdasarkan posisinya, yang merasa panas oleh kebenaran, sementara lainnya merasa memperoleh pembelaan dan harapan oleh kebenaran. Ada suatu keadaan di dalam diri manusia maupun di antara manusia-manusia yang siap terhadap kebenaran atau justru tidak siap oleh pernyataan kebenaran. Ada situasi sosial, politik dan kebudayaan yang membuat kawicaksanan bersabda: “Sembunyikan kebenaran”, kalau terbukti tidak membawa kemaslahatan.
Kemudian Batara Kala jumeneng diganti dengan Semar bertangan empat. Bisa jadi ini kontroversi yang lebih besar dan parah. Tetapi sepanjang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan pragmatis manusia atau sejumlah orang, maka tidak akan menjadi masalah. Namun andaikan menjadi masalah: apa masalahnya?
Mau berapa ratus argumentasi dan hujjah? Ini dunia ijtihad. Ini dinamika kreativitas. Ini simulasi dan imajinasi. Ini eksperimentasi. Ini carangan. Hidup adalah carangan. Hidup adalah upaya membikin sesuatu yang sebelumnya tidak ada, karena suatu kebutuhan ke depan yang lebih baik dan nyaman. Sejarah manusia tidak bersedia membiarkan dirinya mandek di Era Batu.
Kalau mau materiil “yuridis” pun tak apa. Sesepuh para Dewa Panembahan Ismaya tangannya dua. Ki Lurah Semar Bodronoyo Karang Kedempel tangannya juga dua. Dua plus dua sama dengan empat. “Mereka” berdua tangannya empat. Apakah maqam Semar sama dengan Nabi Isa yang diqadla-qadar Allah berusia (sementara) 32 tahun atau Nabi Sulaiman 61 tahun padahal Nabi Nuh hampir seribu tahun? Apakah stratum aji Semar sama dengan Al-Fatihah yang tak boleh diubah sehuruf pun, ditambahi atau dikurangi se-harakat pun?
Bahkan di epic Mahabharata atau Ramayana tak ada Punakawan, tak ada Semar Gareng Petruk Bagong, kemudian dibangun darinya kelengkapan nilai dan kesempurnaan sejarah dengan menambahkan mereka berempat. Kemudian apa pula salahnya Batara Kala yang “sial”? Batara Guru (atau Syiwa pada versi sebelumnya) tak bisa menahan nafsu, spermanya merasuk rahim Dewi Uma: lahirnya si Kala.
Lahirlah sang Waktu. Siapapun saja yang sedang berada dalam situasi perang dingin di Yogya, akan memperoleh jawabannya dari Sang Waktu. Ngayogyakartahadiningrat adalah Negeri Bangsa Jawa yang teguh setia pada paugeran: mereka bukan Jengis Khan, bukan Timur Leng. Bahkan bukan seperti Ken Arok nenek moyangnya sendiri. Mereka manusia “khatam budaya”: sekti tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake…
Yogya, 13 Maret 2018